1 Prolog

Rufus sang penyihir tertidur lelap di atas sofa. Ia mengigau tak jelas dan mengibas-ibaskan tangannya ke udara kosong. Ia tak sadar sepasang mata perak tengah memandanginya di sudut ruangan, tepat disamping jendela yang terbuka.

Mata perak itu mulai menyisir setiap inci kantor Rufus. Tepat di bawah sofa dimana  Rufus tertidur, tergeletak sebuah botol rum yang sebagian isinya tumpah ke atas karpet beludru. Piring-piring kotor menumpuk di dekat pintu menunggu pelayan membawanya ke dapur. Pakaian kotor tergeletak begitu saja di sembarang tempat. Meja kerjanyapun tak luput dari sentuhan kotor Rufus, buku-buku dan kertas menumpuk di sana. Pemilik mata perak itu hanya mendesah pendek. Ia tak berubah, gumamnya.

Dia beranjak dari tempatnya. Sosoknya semakin jelas di balik remang-remang cahaya lilin. Dia berambut perak, tidak, seluruh tubuhnya berwarna perak dan transparan. Dia wanita yang cantik dengan rambut panjang dan gaun sederhana melekat di tubuhnya yang ramping. Dia adalah Vennesa, sang roh. Penyihir dari zaman dulu dan mendapat kehormatan menjadi roh, hantu penjaga. 

Vennesa melayang rendah dan mendarat dengan anggun di sisi Rufus. Dia menyibakkan rambut coklat yang menutupi wajah Rufus. Rufus pria yang urakan dan benci dengan keteraturan. Wajahnya dihiasi dengan berewok tebal. Entah sudah berapa lama ia tak mandi karena bau tubuhnya sangat menyengat dan bercampur alcohol. Beruntung bagi Vennesa karena ia telah terbiasa dengan semua ini.

Vennesa meniupkan angin ke wajah Rufus beberapa kali agar ia terbangun. "Rufus…Rufus….."panggilnya lembut, lebih mirip seperti sebuah desahan. 

Vennesa mundur beberapa langkah.

Rufus mulai terusik tidurnya. Ia berguling ke kanan, kiri, lalu terjermbab jatuh dari atas sofanya. Dia berusaha duduk dengan meraba-raba meja kaca dan sofa. Rufu duduk kembali di sofanya. Dia mengerjapkan matanya, menelisik ke setiap sudut dan mendapati sosok vennesa di hadapannya.

"Owh, aku tak tahu kau datang!"seru Rufus. "Teh?!"

"Aku datang membawa pesan," kata Vannesa dengan lembut. 

"kau tak suka basa-basi, hah?!" Rufus bangkit, tapi tubuhnya limbung dan kembali jatuh terduduk di sofanya. "Kau tak perlu membantuku!" seru Rufus dan kembali berdiri. Dia membetulkan jubahnya.

"Menjijikkan." Komentar Vennesa pelan.

"Aku mendengarnya…." dendang Rufus.

Rufus berjalan menembus tubuh Vennesa menuju ke sebuah pintu di belakangnya. "Tak bisakah kau memutar?!" protes Vennesa.

"Kau itu … Bagaimana aku menyebutnya? Ah, iya! Kau itu roh! Ingat, kan?!" jawab Rufus sambil lalu ke balik pintu. 

Selang beberapa lama, Rufus kembali dengan penampilan berbeda. Tak ada lagi rambut kasar di wajahnya yang oval, rambut coklatnya disisir kebelakang dengan rapih, dan ia mengenakan pakaian kebanggaannya, setelan biru kelam, sabuk ular berwarna ungu dan blezer ungu cerah–penampilan yang agak unik dalam arti lain. Meski begitu, lingkaran hitam masih nampak jelas di matanya yang berwarna hijau terang itu.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Rufus seraya memutarkan badannya. Sebelum Vennesa hendak berkata-kata Rufus cepat-cepat menambahkan, "Kau tak perlu menjawabnya! Aku tahu kau pasti sangat terpesona denganku!"

Rufus berjalan ke arah jendela dan menutupnya. Cara jalannya sedikit gontai. Bukan karena pengaruh dari 5 botol rum yang dia minum semalam, tapi karena seperti itulah Rufus, sang penyihir gila. Dan jelas Vennesa pun sama gilanya karena berharap orang gila ini bisa membantunya.

Rufus duduk di atas meja kerjanya. "Jadi, apa kabar dengan dewan Roh? Maksudku Raa."

"Penyihir baru telah lahir," jawab Vennesa dengan nada misterius.

Rufus tertawa. "Kau bercanda. Aku…aku adalah penyhir yang tersisa dari kaumku. Satu-satunya penyihir lain yang hidup adalah Sein. Dan ia berkhianat pada kita. Kita semua" 

Namun, wajah Vennesa tampak serius dan itu artinya semua itu adalah benar. Senyuman Rufus pun pudar diterkam kerut kesedihan. "Ka….kau bercanda! Ya, kan?!" Dia mencoba tersenyum dan hasilnya agak menyramkan, senyuman lebar yang aneh.

"Dia adalh penyihir dari keturunan manusia, putri dari kesatria Adfort," lanjut Vennesa tanpa memperdulikan reaksi rufus. "Dia akan berusia dua tahun malam ini dan mendapatkan sihirnya. Aku ingin—"

"TUNGGU!" potong rufus. Dia nampak tegang dan mulai mondar-mandir di depan meja dengan kepala tertunduk dan tanganya merangkul dadanya.

"Dia perempuan?! Keturunan manusia?! Kesatria Adfort?! Lelucon apa yang kau perdengarkan?!" seru rufus tak percaya.

"I..ini gila! KAU DENGAR?! INI GILA!" umpat rufus, lau suaranya hilang. Dia berdiri mematung, tatapannya mulai kosong dan kembali ia berceloteh dengan nada parau. "Aku….aku adalah penyihir terakhir dari kaumku. Aku…aku ditakdirkan untuk menghentikan perang ini dan aku akan membunuh Sein."celotehnya berulang-ulang kali.

"Rufus!" panggil Vennesa, tapi tak dihiraukan. Rufus terus saja berceloteh. "RUFUS!" teriak Vennesa akhirnya.

Segera Rufus kembali mendapatkan kesadarannya. "Owh! Maaf, Vennesa! Aku hanya…" Rufus tak melanjutkan kat-katanya dan jatuh terduduk di lantai. Dia memegangi kepalanya erat-erat seolah ada seseorang di sana yang akan memenggal kepalanya.

"Aku yakin kau tahu apa yang harus kau lakukan." Ujar Vennesa dengan lembut. Dia lalu duduk di samping Rufus. Dengan penuh kasih dia merangkul tubuh Rufus. Sesaat Rufus merinding merasakan tubuh transparan Vennesa yang dingin menyelimuti tubuhnya. Tapi, ia menikmatinya.

Rufus berdiri. "Aku akan pergi. Takkan ku biarkan gadis kecil ini membuat kekacauan sebelum waktunya!"

Rufus mengambil mantel abu-abu bepergiannya yang tergantung di sandaran sofa. Ia lantas berjalan ke ambang pntu dan memberikan senyuman tipis pada Vennesa sebelum akhirnya ia menghilang dari sana.

"Aku mengandalkanmu, Rufus!" bisik Vennesa dan lenyap.

*****

avataravatar