1 Tamu tak terduga

Masih terlalu pagi, tapi pintu kantor sudah diketuk dari luar. Kalau bukan tamu penting, Selvi tidak akan berani mengganggu sarapan boss-nya.

"Masuk!" sahut Bara, sambil meraih tissue untuk membersihkan tangannya.

Sekretaris cantik berbody seksi yang sudah menjadi asisten pribadi selama lima tahun terakhir itu pun melenggang masuk. Dahi Bara agak berkerut saat melihat seorang pria berjalan di belakang Selvi. Wajah yang tidak asing, tapi ia lupa pernah ketemu di mana.

"Bara! Hai, Brooo!" sapanya dengan suara yang sedikit membuatnya terkejut.

"Ya. Siapa?" jawabnya, tidak langsung berdiri untuk menyambut uluran tangan pria itu.

Selvi hanya tersenyum manis melihat tampang bingung Bara. Setelah meletakkan map di meja, wanita itu sedikit membungkuk, lalu berjalan keluar.

"Aku Reno, Bar. Lupa?"

Bara terdiam, mencoba mengingat untuk beberapa saat hingga akhirnya gegas berdiri untuk memeluk pria bertubuh tegap itu.

"Reno! Apa kabar, Sobat? Sorry, baru inget," ucapnya.

Mereka sempat berteman dan tinggal bersama saat di Surabaya, tapi tak sampai dua tahun. Karena kemudian Bara mendapat tawaran pekerjaan di tempat lain. Sempat bertukar kontak, sebelum akhirnya kehilangan kabar sama sekali.

"Udah sukses kamu sekarang, Bar. Keren," ucapnya, sembari memperhatikan ruangan itu dengan mata berbinar.

"Duduk, Ren!" Bara berjalan lebih dulu, sembari mempersilakan temannya duduk di sofa. Tempat ia biasa menerima tamu jika berada di kantor.

"Lumayan susah juga ketemu kamu, Bar. Nggak nyangka, sudah jadi orang penting sekarang," ucapnya, masih saja menyanjung sahabatnya itu.

"Biasa saja, Ren. Kebetulan aja aku lagi banyak kerjaan, makanya musti cari waktu kosong dulu. Biasanya Selvi itu nggak sembarangan terima tamu, loh."

"Ah! Itu masalah kecil," kelitnya, seraya mengibaskan tangan. "Kamu kan tahu keahlianku, Bar!" sambungnya lagi, seraya menaikkan sebelah alis.

"Dasar kau!" timpal lelaki bercambang itu, tergelak kecil. Sejak dulu, Reno memang jago mengambil hati lawan jenis. Hal itu yang tidak dimiliki oleh Bara, pikirnya. "Kamu, kapan datang?"

Raut wajah Reno mendadak datar saat mendengar pertanyaan itu. Tetapi bukan Reno namanya kalau langsung to the point dan menyatakan maksud kedatangannya yang tidak terduga. Lelaki yang pandai berkelakar itu masih sama seperti dulu di mata Bara, kharismatik. Casanova pengobral cinta dengan deretan wanita yang begitu menggilainya.

"Dua hari yang lalu," jawabnya singkat.

"Oh! Sama siapa? Istri?"

"Iya. Kami sementara ini masih tinggal di kost-an. Ya ... tahu sendiri, nggak mudah cari tempat tinggal di sini. Apa lagi aku masih menganggur," jawabnya.

Bara hanya mengangguk-angguk. Dulu, setahu Bara, Reno adalah pekerja yang cukup kompeten, punya banyak skill dan sangat mudah bergaul. Pasti ada alasan lain yang masih disembunyikan oleh sahabatnya itu hingga sampai muncul di depannya.

"Jangan bilang kamu datang untuk minta kerjaan?" ucap Bara, berkelakar.

Reno tergelak, lalu menyalakan sebatang rokok dari bungkusan kotak berwarna putih di dalam saku kemeja. Bara pun melakukan hal yang sama saat disodori kawannya. Asap putih mulai mengepul tipis, lalu menguar di sekitar mereka.

"Aku serius, Bar. Uang tabunganku sudah hampir habis, nih."

"Jangan bercanda," timpal Bara, masih belum percaya.

"Beneran, sumpah! Kasih aku pekerjaan. Please!" pungkasnya.

Bara terdiam, lalu menyandar pada punggung sofa dan menatap Reno dengan sorot yang penuh selidik. Ia berharap pria tampan itu sedang mengerjainya dan hanya berpura-pura.

"Apa yang terjadi?" tanya Bara.

"Aku dipecat. Ya ... ada masalah besar di tempat kerjaku. Begitulah. Hampir setahun aku luntang-lantung di jalan dan berakhir di sini. Kalau masih nggak dapet juga, mungkin aku akan merampok," gumamnya.

"Merampok gundulmu!" sahut Bara cepat.

"Lha ... dari pada nggak ada pemasukan? Mau kasih istri dan anakku makan apa?" celetuknya dengan acuh.

Kelemahan Bara adalah tidak bisa menolak permintaan seseorang, apalagi sahabat sendiri. Hal inilah yang akhirnya sering merugikan dirinya sendiri.

"Berapa anakmu?"

"Satu. Tahun kemarin harusnya sudah masuk TK, tapi--" Reno diam, terlihat enggan untuk melanjutkan ucapannya dan memilih untuk kembali menghisap rokok di sela jarinya.

Bara melirik arloji di pergelangan kirinya. Saat yang sama, terdengar suara ketukan, disusul Selvi yang melongok dari pintu.

"Meeting lima menit lagi, Pak!" ucapnya.

"Iya. Aku ke sana," sahut Bara, sembari berdiri dan mengancing jasnya.

Reno buru-buru mematikan rokok ke dalam asbak, lalu bergegas mengikuti Bara yang berjalan menuju pintu. "Kalau gitu, aku pamit, ya. Tolong kabari kalau kamu punya info atau lowongan," gumam Reno.

Reflek, langkah Bara berhenti, lalu berbalik hingga mereka berdiri berhadapan. Lagi-lagi tatapan mata sahabatnya itu seolah meyakinkan dirinya untuk percaya.

"Gini, deh." Bara diam sebentar, lalu kembali melanjutkan ucapannya meski terdengar sedikit ragu. "Datanglah ke rumah. Nanti minta saja alamatku sama Selvi. Kita bicarakan lagi sambil ngopi."

"Kamu serius, Bar?"

"Ya, serius, lah! Gila aja! Masa aku biarin kamu ngasih makan anak istri dari hasil ngerampok!" selorohnya, yang langsung dibalas oleh gelak tawa dari Reno.

"Oke, Bar. Aku datang besok. Thank you banget, Bro!" ucapnya bersemangat.

"Sip! Aku sudah ditunggu di ruang meeting," pamitnya.

"Oke. Siap, Bos!"

Bara terbahak mendengarnya, kemudian bergegas pergi menuju ruang meeting. Sementara Reno mulai berbincang kecil dengan salah seorang karyawan wanita.

--

Sonya adalah istri paling sempurna dan hampir tak bercela. Selain cantik, ia juga pintar dalam mengatur rumah dan keuangan. Beberapa orang bilang, istri pembawa hoky.

"Ini tehnya, Pa." Terdengar suara denting saat cangkir diletakkan di meja.

"Makasih, Sayang," sahut Bara tanpa menoleh.

"Lagi sibuk apa, sih?" Sonya mendekat lalu melihat ke layar laptop. "Mama 'kan sudah bilang, jangan bawa pekerjaan kantor ke rumah, Pa. Kebiasaan!" gerutunya.

Bara tersenyum, lalu menoleh ke arah wanita cantik yang sudah dua dekade mendampinginya itu. Merengut, duduk melipat tangan dengan tatapan lurus ke arah televisi berukuran besar di depan mereka.

"Mama cantik kalau marah."

"Nggak lucu!" sungutnya.

"Iya, iya. Papa minta maaf," ucapnya, seraya melipat laptop dan menjauhkannya ke sudut meja.

"Harusnya kalau masih mau kerja, nggak usah pulang! Papa nginep saja di kantor!" Sonya mulai menggerutu.

"Iya, maaf. Riki ke mana? Dari tadi nggak kelihatan?" tanya Bara, sembari melongok ke lantai atas.

"Mmh ... tadi pergi main sama temannya, Pa. Sudah izin sama mama kok," jawab Sonya, tampak sedikit gugup.

Bara tahu istrinya sedang berbohong. Ini bukan kali pertama Sonya melindungi kenakalan putra mereka. Riki sudah beranjak dewasa, dan belakangan ini anak itu sering pulang larut malam.

"Oh, iya, Pa. Tadi teman Papa nelepon, katanya besok mau ke sini." Tiba-tiba Sonya mengalihkan topik pembicaraan dan mengambilkan cangkir teh yang tadi ia bawakan pada sang suami.

"Baguslah," gumamnya, lalu menyesap teh hangat itu dengan perlahan.

"Dia bilang, dulu kalian pernah satu kerjaan waktu di Surabaya."

"Iya. Sudah seperti adik gitulah, Ma. Tinggal bareng, makan, mandi juga kadang bareng. Pas papa sakit, dia juga yang jagain," sahutnya, sambil tersenyum getir saat mengenang masa-masa dulu.

"Ngapain dia datang ke sini?"

"Minta kerjaan, Ma. Papa bingung, mau kasih dia kerja apa? Mana mereka cuma tinggal di kost-an," gumamnya pelan.

"Rumah kita yang sebelah 'kan kosong, Pa. Kenapa tidak kita minta mereka untuk tinggal di sana?"

--

avataravatar
Next chapter