1 Prolog

Prolog

Semenjak kematian orang tua, aku sudah menderita, tapi lebih menderita lagi saat harus menjadi istri dari orang yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri. Yang selalu menjaga, ketika orang tuaku meninggal. Mungkin kalian pikir dia baik padaku. Nyatanya tidak.

Semenjak orang yang kuanggap kakak kehilangan orang tua, sisi paranoidnya semakin memuncak, dan di situlah penderitaanku dimulai. Kisahku sangat rumit, bahkan melebihi rumitnya benang saat digulung acak. Di mana disiksa seperti hewan.

Tapi, di sisi lain dia juga sayang padaku. Iya! Sayang! Sayang dan memperlakukan dengan baik ketika aku mau mati saat disiksanya. BAIK KAN? Baik atau tidak, kita lihat saja kisahku. Semua ada di tangannya.

****

Sialan bagaimana ini? Dia masih mengejar. Apa aku harus berteriak supaya dia berhenti mengejarku? Tapi, jika itu gagal aku pasti mati. Dilakukan atau tidak, setelah tertangkap dipastikan aku bakal mati mengenaskan, setidaknya berusaha dulu, siapa tahu ada yang menolongku nanti.

"Tolong ... tolong!" Aku berteriak kencang sambil berlari dengan sekuat tenaga berharap ada yang mendengar suaraku di tengah malam ini.

"Berhenti!" Dengan suara lantang dia mengagetkanku dan masih saja terus mengejarku dengan keinginan yang sangat membara, entah apa tujuannya melakukan itu padahal aku sudah 15 tahun bersamanya. Apa dia tidak bosan memperlakukanku seperti seekor hewan?

Bruk ....

"Mau lari ke mana?" Sialan dia berhasil menangkapku, aku harus membuat alasan supaya dia tidak membunuhku.

"Maafkan aku Tuan, aku tadi cuman pergi beli nasi goreng saja kok." Dengan suara serak-serak basah dan wajah yang super imut, aku hampir setengah mati melakukannya tapi dia hanya menatapku dengan wajah yang sangat menyeramkan melebihi wajah setan.

"Nasi goreng! Jika perkataanmu benar mengapa kau harus lari dari rumah melewati pintu belakang dan bukan melewati pintu depan," ucapnya sambil mencengkeram mulutku. Sepertinya sifat asli orang ini sudah keluar. Aku akan mendapatkan hukuman mati setelah ini.

Alasan apa yang cocok untuk mengelabuinya?

"E--eh ... itu ... Tuan tadi di pintu depan ada anjing jadi aku tidak berani lewat dari situ." Alasan yang tidak masuk akal, tapi mau bagaimana lagi yang penting ada alasan untuk membela diri dan mungkin juga mengurangi hukuman yang akan kudapat.

"Anjing! Aku tidak pernah tahu kalau di pekarangan rumah kita ada anjing, buatlah alasan yang cukup bagus sayang.

Ok, persiapkan tubuhmu untuk mendapatkan hukuman yang sangat nikmat." Dengan santainya mengatakan hukuman yang sangat nikmat, dikiranya mau makan ya makanya nikmat, atau otaknya lagi rusak.

***

Sesampainya di rumah, bisa dibilang dia memaksaku untuk masuk ke kamar, bukan hanya dipaksa saja sih. Dia juga melemparku ke lantai bukan ke kasur, bayangkan rasa sakitnya itu seperti apa?

"Kau mau dikuliti atau dicincang?" tanyanya sambil meniup-niup pisau kecil yang baru saja dikeluarkan dari saku celana.

"Eh ... itu, aku pilih atau Tuan," jawabku yang masih saja ingin mengajaknya bercanda padahal dia sudah emosi, setidaknya aku bisa meredakan sedikit amarahnya itu.

Mendengar jawabanku dia tersenyum bahagia, entah apa yang ada dipikirkannya yang pasti sesuatu yang sangat mengerikan dan aku harus waspada.

"Ok, berarti kau memilih keduanya."

"Sekalian saja dibunuh lalu dibakar dipotong-potong habis itu dikasih sama buayamu, dasar setan!" tegasku tiba-tiba ketika dia mengeluarkan kata-kata barusan, pupil matanya membesar dan wajahnya sedikit kaget.

"Ok, bersiaplah! Apa dia serius dengan perkataannya. Aku kan hanya bercanda mengapa dia menganggap serius. Sepertinya dia sangat serius, raut wajahnya bahkan langkah kakinya yang hampir mendekatiku.

"Pipimu ini sungguh mulus sayang." kesannya saat dia memegang pipiku, tapi bukan hanya tangannya saja pisau yang di tangan sebelah itu pun ikut merasakan lembutnya pipiku.

"Maafkan aku Tuan, aku hanya bercanda saja jangan anggap serius." Kali ini aku tidak tahu aku akan selamat atau tidak. Berusaha kabur adalah ide bodoh yang kubayangkan setiap harinya dan pada akhirnya ide itu membuatku terjerumus ke dalam lubang hitam yang tak tahu di mana ujungnya.

"He, bagaimana kalau pisau ini menyayat pipimu, pasti aku akan menikmati setiap tetes darah yang mengalir dari pipimu?"

"Aku mohon Tuan Shui jangan lakukan itu hiks ...," ucapku sambil menangis, aku tidak berani lagi melawannya. Jika dia sedang kumat seperti ini, aku hanya pasrah seperti ayam yang akan dipotong. Mati atau tidak mati, semuanya terpukau pada dirinya.

"Tidak akan!" tolaknya sambil mendekatkan pisau kecil itu ke arahku, kali ini kulitku akan lecet. "Aku tidak sabar menunggu setiap tetes darahmu." Kini pisau itu sudah merekat erat di wajahku.

"Jangan Tuan Shui! Aku mohon ... hiks," mohonku.

"Mirai! Kau sudah melakukan kesalahan sekarang terima hukumanmu." Dia tidak menghiraukan tangisanku, dia menatapku geram seperti ingin membunuhku. Aku hanya bisa merasakan takut, tidak berani menyingkirkan wajah dari pisau. Jika itu kulakukan maka hukumannya akan bertambah atau semakin berat.

"Sudah tidak ada waktu," ucapnya sambil menyayat pipiku dengan santainya seperti memotong seekor ayam. Aku hanya merintis kesakitan memegangi pipi yang terluka, lalu menangis memohon ampun darinya. Tapi apa yang terjadi?

Dia hanya tertawa bahagia melihat diriku menderita, memperhatikan setiap tetes darahku yang mengalir. "Tuan maaf!" ucapku memohon ampun.

Dia hanya tersenyum dengan senyuman iblisnya, mengangkat daguku yang tertunduk lalu mulai menjilati pinggiran luka yang ada pipiku seperti seorang vampir.

"Akh, perih!" rintihku, rasanya wajahku seperti terbakar. Panas dan tidak tahu cara mengobatinya lagi.

"Tenang saja aku akan memberikan yang lebih nikmat dari sini," ucapnya sambil melepaskan tangan dari dagaku. Kemudian membersihkan pisau kesayangannya yang sudah berlumuran darah menggunakan bajuku.

"Ronde ke dua akan datang!" Dia menatapku seketika lalu mengasah pisau kecil itu.

"Jangan Tuan aku janji akan setia padamu, aku akan melakukan apa pun untuk Tuan," jawabku sambil menahan tangis, mungkin jika aku menangis air mata ini bisa saja mengenai pipi yang terluka dan akan membuatku kesakitan.

"Aku tidak percaya denganmu lagi!"

"Aku janji Tuan kali ini jika aku berbohong Anda bisa membunuh saya dengan cara mengenaskan." Mulai hari ini aku akan dikekang selamanya.

"Mengenaskan? Aku setuju!"

"Terima kasih Tuan," ucapku sambil melihatnya pergi meninggalkanku sendiri.

avataravatar
Next chapter