1 BAB 01- Sebuah Rahasia

"Kita mulai. Kamu hanya perlu memberikan jawaban singkat, tanpa koreksi." Sang calon Psikolog segera mulai sesi wawancaranya dengan Kania.

"Mmm … baiklah … tapi jangan terlalu cepat. Biar aku memikirkannya dulu pertanyaan yang kau ajukan," jawab kania pada seseorang yang ada di hadapannya.

"Akan aku usahakan. Sebenarnya, ni hanya pertanyaan standar saja untuk melengkapi data awal agar dapat kulaporkan pada seniorku," jawab sang calon Psikolog magang yang sedang mengejar gelar profesinya.

"Iya, baiklah … aku siap."

"Ingat, jawab hanya dengan kata 'Ya' atau 'Tidak'."

"Ya …"

---

"Anda seorang wanita berusia 24 tahun?"

"Ya."

"Anda berstatus single?"

"Ya."

"Apa Anda memilki siklus haid yang normal?"

"Ya."

"Anda bekerja?"

"Ya."

"Apa prestasi Anda dalam pekerjaan baik?"

"Ya."

"Anda memiliki banyak teman pria?"

"Ya."

"Anda memiliki seorang teman dekat yang berjenis kelamin pria?"

"Ya."

"Sudah menuju pada hubungan serius?"

"Ya."

"Setia?"

"Ya."

"Pernah melakukan aktifitas intim dengan pacar?"

"Maksudnya?"

"Aku ganti pertanyaannya. Pernah bersentuhan secara romantis dan intim bersama pacar?"

"Ya."

"Pernah berhubungan intim?"

"Tidak."

"Apakah aktifitas itu Anda dilakukan secara rutin?"

"Aktifitas?"

"Maksudnya, interaksi kamu bersama pacar dengan cara sentuhan yang menjurus pada keintiman."

"Oh, tidak rutin."

"Apakah aktifitas keintiman yang Anda lakukan cukup memuaskan?"

"Tidak."

"Apakah Anda menginginkannya setiap saat?"

"Ya."

"Apakah Anda menginginkan aktifitas itu dilakukkan dengan setiap orang yang Anda jumpai?"

"Tidak."

"Apakah anda menginginkan hanya dengan satu orang?"

"Ya dan Tidak."

"Apakah Anda ingin melakukannya dengan orang yang anda kenal?"

"Ya dan Tidak."

"Apakah anda ingin melakukkannya dengan orang yang dekat secara fisik?"

"Ya dan tidak."

"Apakah anda ingin melakukkannya dengan orang yang dekat secara batin?"

"Ya."

"Apakah anda ingin melakukannya hanya dengan lawan jenis?"

"Ya dan Tidak."

"Apakah anda selalu ingin melakukannya di manapun dan kapanpun?"

"Tidak."

"Apakah hasrat dan gairah anda mudah terbangkitkan?"

"Ya."

"Mudah bangkit dengan hanya sentuhan fisik dari siapapun?"

"Tidak."

"Mudah bangkit dengan sentuhan fisik orang-orang tertentu?"

"Ya."

"Mudah bangkit dengan menonton film atau mendengar suara erotis?"

"Ya dan Tidak."

"Mudah bangkit saat Anda membayangkan sesuatu yang romantis?"

"Ya."

"Mudah bangkit saat Anda membayangkan sesuatu yang erotis?"

"Ya."

"Pernah melakukan aktifitas merangsang diri sendiri?"

"Ya."

"Sering?"

"Ya."

---

Sesi tanya jawab itu berlangsung beberapa waktu. Dan nampaknya, semakin lama pertanyaan yang diajukan telah saja jadi menyinggung hal-hal tersembunyi dalam kehidupan pribadi Kania. Dimana tiap kali gadis itu menjawab, sang calon psikolog terlihat mengetik dan memasukkan data dalam laptopnya.

"Oke, datanya udah aku input ke data klinik dan tinggal nunggu hasil analisanya saja. Memang masih merupakan hasil hipotesis awal, Nya. Untuk hasil yang lebih tepat dan akurat, kita bisa melakukannya dalam terapi lanjutan. Sambil jalan, kita observasi dan wawancara lagi. Hal seperti ini memang enggak bisa langsung keluar hasilnya, aku harap kamu tidak bosan dan capek."

"Ah, aku justru berterima kasih banget sama kamu. Udah mau bantu. Thank you."

Sarah terlihat mengangguk, seraya melempar senyum pada Kania dalam tatap mata bersimpati. Karena pada saat itu, dengan nyata ia melihat betapa semakin rapuhnya sang sahabat setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia berikan.

Mengerti jika ia harus memberikan dukungannya, Sarah menyingkirkan laptop miliknya diatas meja kecil disamping sofa. Lalu tanpa perlu mengatakan apapun, ia merengkuh tubuh Kania untuk menunjukkan simpatinya.

Gadis itu pun menyambut pelukan sahabatnya dengan penuh kepasrahan, karena memang tidak ada hal lain lagi yang ia butuhkan kecuali pelukan dari seseorang yang telah mau mengerti dirinya. Sebab saat itu, Kania memang benar-benar merasa rapuh dan seperti tengah dikupas tuntas sepenuhnya.

Sisi lain terdalam dalam kehidupannya yang selama ini sedemikian rapat Ia sembunyikan, selapis demi selapis dibuka oleh pertanyaan yang diajukan oleh Sarah. Menyadari betapa telanjang dirinya dihadapan sahabat yang merupakan calon Psikolog itu, tanpa disadari airmata Kania pun menetes membasahi kedua pipi, seiring pelukannya yang semakin erat memagut sahabatnya.

"Menangislah jika itu akan melegakanmu," bisik Sarah lembut.

Mendengar suara sahabatnya yang penuh kelembutan, hati Kania semakin terasa teriris. Hingga airmatanya semakin deras menetes yang lalu saja diiringi isak tertahan. Tak tahu harus bagaimana, Kania membalikkan badannya membelakangi Sarah sambil meraih tangan yang memeluknya itu seakan mencari pegangan.

"Aku malu sama kamu," bisik Kania perlahan. Posisi gadis tersebut, kini nampak berada didepan Sarah sambil dirinya memengangi lengan yang masih erat memeluknya dari belakang.

"Tak ada alasan yang untuk membuatmu malu. Aku sahabatmu, dan kamu sudah tahu pasti bahwa semua yang kamu ceritakan adalah rahasia. Catatan tentang dirimu dilindungi kode etik profesi, rahasiamu aman." Kembali Sarah berbisik untuk memberi penghiburan pada Kania.

"Tapi kamu jadi tahu semua rahasiaku."

"Its oke, Nia ... Apakah kamu lupa kalau aku adalah sahabatmu?"

"Tapi aku malu...."

"Ssstttt..." Kembali Sarah berbisik menenangkan sambi semakin erat memeluk gadis itu dari belakang.

---

Suasana bertambah hening saat kedua sahabat itu terdiam. Sarah nampak masih tetap memeluk Kania dari belakang, dengan dekapan yang sedemikian intim penuh rasa kasih. Keduanya sama-sama menyandarkan bahu kiri dan kepala mereka ke sandaran sofa, dengan saling diam dan terhanyut dalam keheningan. Dalam alunan suara musik lembut masih mengalun tenang, sepasang sahabat dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Aku sayang kamu, Nya ..." Sayup dan lembut suara itu masuk dalam lamunan Kania, seolah suara itu datang entah darimana di kejauhan sana.

Pelukan dari belakangnya yang semakin erat merengkuh pada Kania, terasa sedemikian membuat nyaman gadis itu. Sementara, bibir yang berada dibelakang telinganya terdengar terus membisikkan kata lembut dan membujuk untuk menenangkan.

Namun entah bagaimana, kata-kata penuh kelembutan dibelakangnya itu malah dengan serta merta telah saja membuat seluruh tubuh merinding. Sehingga tanpa ia kehendaki, bulu halus diseluruh tubuhnya berdiri dan menimbulkan gelenyar rasa yang tak dapat dilukiskannya.

Bujukan serta rayuan itu semakin membuat Kania terlena, hingga serasa jiwanya terbang meninggalkan raga dan tempat ia berpijak saat itu. Kemudian, kesadarannya pun bagai menghilang sepenuhnya. Karena yang didengarnya kini, hanyalah suara gemericik air sungai yang mengalir di antara bebatuan.

Hilangnya kesadaran karena kerapuhan jiwanya, kini telah saja membawa angan Kania terbawa larut dalam dunia yang berbeda. Dimana saat itu ia seolah tengah berada pada masa lalu, dalam suara gemericik air seiring rintik hujan yang menetes menimpa gubuk jerami ditepian sungai.

Jauh diluar kesadaran, Kania merasakan bisikan itu berhenti dan digantikan dengan sentuhan hangat bibir yang basah pada daun telinga. Hingga seketika, gadis itu langsung saja menggigil saat merasakan kecupan hangat pada bagian tubuhnya.

Sentuhan bibir itu begitu meruntuhkan semua pertahanan diri, hingga tubuhnya bergetar hebat dan lunglai bagai tak bertulang. Lalu saat ia semakin dalam terhanyut, semuanya telah saja menjadi terasa ringan bagai diri melayang tinggi diterbangkan suatu rasa asing yang belum pernah dijumpainya. Sebuah rasa yang aneh, tetapi membuatnya tidak ingin berhenti untuk mengecapnya.

Bibir basah itu bergeser kebawah dan mengecup samping leher kirinya, lalu perlahan turun dan kemudian naik menyusur urat nadi dan berputar disekeliling area itu. Seakan, ia tak ingin menyisakan sedikitpun kulit halus itu untuk dikecup dan dibasahi bibir dan lidahnya.

Dengan penuh kelembutan, ujung lidah itu bergerak mengikuti bibir dan terus bergeser dari kebelakang menuju tengkuk putih mulus yang dipenuhi rambut-rambut halus. Dan seketika saja, bulu-bulu tengkuknya jadi meremang saat merasakan hawa hangat terhembus disana. Sehingga, kulit lembut itu merinding bersamaan dengan semua pori yang merapat menjadi seperti bintik halus diatas kulitnya

Kania mendesah lembut sambil merapatkan kedua kakinya, seolah menahan rasa ingin buang air karena menahan sensasi geli dan nikmat yang begitu asing tapi begitu memabukkan. Dengan erat, tangannya mencengkeram lengan yang memeluk dirinya saat kecupan dan usapan lidah itu semakin gencar mencumbu tengkuk. Terlebih, saat sensasi basah itu juga bergeser kearah leher samping kanannya hingga seakan tanpa ampun menggelitik dan menebar rasa geli bercampur nikmat.

***

avataravatar
Next chapter