webnovel

Setulus Cinta Khadijah

"Khadijah, menikahlah denganku! Kau akan memiliki segala yang kupunya, termasuk anak yang paling kucintai, yang sudah terlalu dekat dengamu," ucap lelaki yang beberapa bulan ini menjadi majikannya. Deg! Khadijah yang sebelumnya tak tahu kenapa dia bisa dipanggil ke ruang kerja lelaki yang usianya sudah hampir mencapai kepala empat itu, akhirnya terkejut bukan main. Baru beberapa hari yang lalu ibunya menyuruh agar dia mendekati duda beranak satu itu, kini malah lelaki itu sendiri yang meminta untuk menikah dengannya. Apakah ini sebuah kebetulan, atau ... sebelumnya memang sudah direncanakan? Entahlah. "Ma-maaf, Tuan, tapi saya belum siap untuk menikah," tolaknya dengan halus. "Aku tak pernah menyuruhmu menjawab siap atau belum, tapi berilah jawaban iya atau setuju!" datar lelaki itu. Khadijah melebarkan matanya. 'Apa?! Iya atau setuju. Bukankah itu sama saja?' batinnya. Baiklah. Mungkin kali ini Khadijah tak bisa menolak. Karena menolaknya, sama saja dengan melepaskan diri dari lubang buaya, tetapi kemudian memasuki sarang singa. Itu lebih membahayakan keluarganya. Khadijah mengambil napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Mencoba mengatakannya dengan setenang mungkin. "Baik, saya akan menyetujuinya. Tapi dengan dua syarat, Tuan," ucap Khadijah, mencoba menatap lelaki yang tengah duduk dengan gagah di depannya itu. Lelaki itu menautkan kedua alisnya. 'Demi apa aku harus menerima dua syarat dari bocah ini? Padahal, di luar sana banyak sekali wanita yang mengantri untuk kunikahi. Tapi ... baiklah, demi putraku satu-satunya, aku akan mengikuti permainannya,' gumamnya dalam hati. "Katakan, apa syaratnya?" "Bersucilah dan ucaplah dua kalimat syahadat!" Deg! ***EA***

Erisna_Aisyah · Teen
Not enough ratings
4 Chs

BAB 1. Jatuh Pingsan

Pagi ini mendung begitu pekat di langit sana. Suara guntur menggelegar sejak usai Subuh tadi. Seorang gadis berhijab biru itu tengah mondar-mandir di teras rumahnya. Dia hendak pergi ke apotek, tetapi rintik gerimis itu menghalangi niatnya.

Ingin sekali dirinya menembus rerintikan itu, tetapi rasa menggigil dalam tubuhnya belum hilang sampai detik ini, padahal semalam dia sudah minum obat. Ingin membawa payung, tetapi payung itu akan dibawa adiknya ke sekolah. Sedangkan mantel hujan, dia tak punya.

Ah, malang sekali nasibnya.

"Khadijah, cepat balikan obat untuk ayahmu! Batuknya semakin parah!" seru sang ibu dari dalam, mengagetkan dirinya yang sedari tadi tengah melamun.

Ah, ayah ... hanya dialah satu-satunya orang yang selalu menyayangi dirinya. Tak pernah berkata kasar, walau sekali pun dia melakukan kesalahan.

"I-iya, Bu," sahutnya, lalu segera berlari menembus rintik gerimis itu. Tak peduli dengan rasa nyeri dan dingin pada tubuhnya.

Jarak dari rumahnya menuju apotek lumayan jauh. Jarak tempuhnya memakan waktu sepuluh menit untuk sampai di tempat itu dengan jalan kaki setengah berlari.

Sampai di depan apotek, rasanya tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Begitu lemas dan kepalanya juga terasa pusing. Dia berjalan dengan perlahan, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Langkahnya pun sudah tak bisa secepat tadi. Hanya bisa mengandalkan sisa-sisa tenaga yang ada.

"Mbak, be-beli obat batuk," lirihnya, menatap seorang apoteker yang tengah berdiri di depan deretan obat yang tersusun rapi di dalam etalase.

"Ya, Mbak, mau beli yang mana? Ada beberapa pilihan di sini," sahut sang apoteker, menunjukkan beberapa merek obat batuk yang tersedia.

"Sa-saya mau be-beli yang itu, Mbak," tunjuknya pada obat batuk sirup dengan kemasan berwarna biru.

Saat ini tubuhnya sudah tidak karuan lagi. Kepalanya terasa begitu berat, tubuhnya begitu menggigil, karena pakaian basah yang dia pakai.

Sang apoteker segera mengambil obat yang dia tunjuk, lalu menaruhnya ke dalam kantung kresek dan segera memberikannya pada Khadijah. Namun, saat tangannya terulur hendak meraih plastik itu, tiba-tiba ....

Gubrak!

Khadijah terjatuh dan tak sadarkan diri.

Sang apoteker yang sebelumnya tengah menyerahkan kantong plastik itu pun terkejut bukan main.

"Ya ampun, Mbak! Mbak, bangun! Astagfirullahal'adziim ...." Dia berlari keluar, menghampiri tubuh Khadijah yang lemah tak berdaya.

"Ya ampun, pantas saja dia pingsan, ternyata badannya panas sekali," gumamnya, setelah mengecek suhu tubuh gadis yang baru saja pingsan itu.

"Duh, aku harus gimana ini? Mana nggak ada orang lewat lagi." Apoteker itu tampak kebingungan.

Dia sempat mondar-mandir, bingung harus melakukan apa. Akhirnya teringat satu hal, minyak kayu putih. Ya, mungkin dengan minyak kayu putih, gadis itu bisa segera siuman.

Apoteker itu buru-buru masuk ke dalam, mengambil sebotol minyak kayu putih. Baru saja dia sampai di depan pintu, tiba-tiba dari seberang jalan terlihat seorang lelaki berlari menuju arahnya.

"Subhanallah ... Khadijah!" teriak lelaki itu, lalu segera menghampiri gadis yang tergeletak di teras apotek.

Sang apoteker yang tadinya sempat bengong, akhirnya langsung menghampiri. "Mas kenal dengan gadis ini?" tanyanya.

Lelaki yang tengah berjongkok sembari memeriksa denyut nadi Khadijah, kini menoleh ke arahnya. "Iya, Mbak, dia tetangga saya," jawabnya.

"Alhamdulillah, akhirnya ketemu sama tetangganyap," gumam sang apoteker.

"Ini kenapa dia bisa pingsan, Mbak?" tanya lelaki itu.

"Jadi begini, Mas. Tadi Mbak ini mau beli obat batuk. Waktu saya mau ambilin obatnya, dia kelihatan menggigil gitu. Nah, waktu saya mau ngasih dia obat, eh malah dianya jatuh pingsan. Tadi saya bingung banget harus menghubungi siapa. Dia tidak bawa ponsel maupun identitas, alhamdulillah sekali jika Mas memang tetangganya," terang apoteker itu.

"Ya sudah, Mbak, saya bawa dia pulang dulu, ya. Tadi, mana obatnya? Apa dia sudah bayar?" ucap lelaki itu.

"Ini obatnya, Mas, tadi dia belum sempat bayar," jawab sang apoteker.

Lelaki itu segera mengambil selembar uang kertas dari dalam sakunya, lalu mengulurkannya pada apoteker itu setelah menerima obatnya. "Ini, Mbak, ambil saja kembaliannya. Saya permisi dulu," ucapnya.

"Alhamdulillah ... terima kasih, Mas," ucap sang apoteker dengan mata berbinar.

Lelaki itu segera menggendong tubuh lemah Khadijah, menembus rerintikan hujan yang masih berjatuhan menuju mobilnya.

***EA***

Hujan sudah reda sejak tadi. Langit pun sudah terlihat cerah, dengan sinar matahari yang mulai terlihat menyapa para tumbuhan yang tadi sempat basah.

Sejak Khadijah diantar ke rumahnya beberapa menit yang lalu, sampai sekarang dirinya belum sadarkan diri juga. Tadinya Ilham --lelaki yang menolongnya-- ingin mengantar Khadijah ke rumah sakit, tetapi dilarang oleh ibu Khadijah.

"Tidak usah, Nak Ilham, ibu bisa merawatnya sendiri. Nanti dia sebentar lagi juga siuman. Lagian dana untuk biaya rumah sakitnya nanti dari mana? Untuk makan sehari-hari saja kami masih kekurangan. Apalagi ayahnya sedang sakit keras, beliau membutuhkan biaya yang lebih besar untuk membeli obat," ujar wanita separuh baya itu.

Ilham yang waktu itu masih harus mengurus skripsi kuliahnya pun tak bisa membantu lebih. Orangtuanya yang cenderung tak menyukai keluarga Khadijah juga menjadi penyebab utama dia tak bisa menolong lebih banyak lagi.

"Ya sudah, Bu, kalau memang seperti itu, saya permisi dulu," pamitnya kemudian.

Ibu Khadijah tersenyum dan mengangguk, setelah sebelumnya mengucapkan banyak terima kasih. Beberapa saat setelah Ilham pergi, wanita itu segera masuk ke kamar Khadijah.

"Dasar anak nggak tahu diuntung! Setiap hari kerjanya hanya merepotkan saja!" serunya, dengan wajah kesal dan penuh kebencian.

Khadijah yang masih belum sadarkan diri pun tetap bergeming, tak mendengar makian yang ibunya berikan. Beberapa saat setelah itu, terdengar suara batuk sang suami terdengar lebih parah dari sebelumnya. Buru-buru dia berlari menghampirinya, membawa obat batuk yang Ilham berikan tadi.

"Ini, Yah, diminum obatnya dulu," ucapnya, memegang sendok yang berisi cairan obat.

"Su-sudah, Bu. A-ayah su-dah ti-dak kuat la-gi. Se-ben-tar la-gi a-kan ada yang men-jem-put a-yah. To-long ja-ga Kha-di-jah ya, Bu, sa-ya-ngi dia se-per-ti put-ri-mu sen-di-ri," ujar sang suami dengan suara yang begitu lemah dan terbata.

Air matanya terus mengalir, melewati kulitnya yang mulai keriput. Dia sudah merasakan, bahwa dirinya sudah dekat dengan ajalnya.

"Ayah jangan berkata seperti itu! Ayah pasti sembuh. Minum obatnya sekarang, ya, nanti siang kita berobat ke rumah sakit," bujuk sang istri, matanya sudah berkaca-kaca sejak tadi.

"Ja-ga di-ri-mu ba-ik-ba-ik, ya, ja-ga a-nak-a-nak ki-ta. A-ku ti-dak me-la-rang-mu un-tuk me-ni-kah la-gi. Ta-pi to-long, ja-ga put-ri-ku ju-ga," pesan sang suami lagi.

Kali ini sang istri tak menjawab. Dia hanya bisa menggeleng dan terus saja mengusap air matanya, sembari sesekali mengucapkan kalimat syahadat di depan telinga suaminya.

Beberapa saat kemudian, sang suami terlihat seperti tengah merasakan sesak napas yang begitu hebat. Dia tahu, kejadian semacam ini berarti Sang Pencipta tengah menjemputnya kembali ke alam yang abadi.

Air matanya terus mengalir deras, tak henti-hentinya mebisikkan kalimat tauhid, syahadat, istighfar dan lainnya. Berharap sang suami bisa khusnul khatimah. Detik demi detik terus berlalu, kini sang suami telah mengembuskan napas terakhirnya.

Dia tersungkur, menatap tubuh sang suami yang sudah tak bernapas lagi. Kedua anaknya sudah berangkat ke sekolah sejak tadi, sedangkan Khadijah masih belum sadarkan diri.

Dia bingung harus berbuat apa. Hatinya benar-benar hancur, ditinggal oleh suami yang dicintainya dengan sepenuh hati. Akhirnya dia hanya bisa berteriak sembari berurai air mata, mencoba melepaskan beban dan penat dalam hatinya.

"Ayaaahhh!!!"

***EA***

Next