webnovel

42 Ngedate?

Sejak pagi tadi gerimis memang melanda kota ini. Hingga sore ini pun rintik hujan tak kunjung reda meskipun tidak deras. Tapi untung saja saat menjelang maghrib hujan telah berhenti turun. Karena sekitar jam 7 malam nanti aku ada janji dengan seseorang mengingat hari ini adalah malam minggu jadi aku mengiyakan ajakannya.

Setelah beberapa menit yang lalu aku bersiap-siap, sekarang dari balik jendela kamarku terlihat sebuah mobil terparkir didepan gerbang rumah. Sepertinya aku sudah dijemput. Dengan sedikit bergegas aku turun ke bawah. Belum juga keluar rumah panggilan seseorang menginterupsiku.

"Kamu mau kemana malam-malam begini?" Entah ada angin apa Mama tiba-tiba muncul dan ingin tahu aku pergi kemana. Biasanya juga tidak peduli bukan tentang apa yang aku lakukan dan kemana aku pergi? Ditanya seperti ini rasanya... agak aneh aja.

"Mau keluar sama temen," jawabku singkat. Karena memang begitulah adanya. Aku tidak mau repot-repot menjelaskan banyak hal ke Mama.

"Malam-malam begini?" tanya Mama lagi. Ah iya! Aku lupa, bisa dibilang aku jarang sekali keluar malam-malam apalagi malam minggu seperti ini dan seingatku hampir tidak pernah. Mungkin Mama heran melihatku. Tapi aku hanya mengangguk saja sebagai jawaban kemudian segera pamit keluar tanpa basa-basi lagi.

Dibalik kaca mobil yang setengah terbuka nampak pria yang tersenyum ke arahku. Aku sedikit berlari sambil membalas senyum kepadanya.

"Cantik," gumamnya yang sangat lirih tapi masih terdengar oleh inderaku. Aku sedikit tersipu mendengarnya dan hanya bisa ternyum canggung tanpa mengatakan apapun. Pasalnya baru pertama kali ini aku pergi berdua saja dengan seorang laki-laki selain kak Genta di malam minggu seperti ini.

Beberapa saat kemudian, dia sudah melajukan mobilnya ditengah kota. Aku terus menatap keluar jendala untuk menghilangkan rasa gugupku. Entah kenapa sejak keluar dari rumah tadi rasanya jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Berulang kali aku menarik napas dalam kemudian menghembuskannya, berharap detaknya kembali normal. Tapi itu tidak berhasil.

"Ehem!" Dia berdehem yang membuatku membenarkan posisi dudukku menghadap kedepan. Mataku sedikit melirik ke arahnya.

"Ka- emm maksudku eh gue- lo-" ucapnya rancau.

"Hah?" kataku dongo. Kenapa rasanya bisa secanggung ini sih? Tanganku sampai panas dingin seperti ini. Aku paling benci terjebak dalam situasi seperti ini. Kenapa juga tadi aku mengiyakan ajakannya. Dishaaa Dishaa... sekarang kamu menyesalkan? Lebih baik tiduran dirumah aja sambil nonton drakor pasti labih seru.

"Maksud gue, lo gak mau nanya gitu kita bakal kemana?" ucapnya. Nadanya sudah kembali normal. Tapi tidak denganku, dengan dungunya aku berkata, "Hah?"

"Kalo gak mau nanya ya udah gak papa, lagian gak bakal gue jawab juga." Spontan aku tertawa lirih mendengarnya.

"Kalo gitu kenapa kamu tanya?" kataku bingung dan mencoba sesantai mungkin seperti biasanya.

"Basa-basi aja sih, lagian dari tadi lo diem mulu, gue jadi bingung," ujarnya. Sebelah tangannya mengusap rambut belakangnya dan matanya masih fokus melihat ke depan.

"M- maaf," ucapku lirih merasa tidak enak. Dari ekor mataku aku bisa melihatnya menoleh sebentar ke arahku.

"Emangnya lo salah apa?"

"Karna aku bingung mau ngomong apa," tukasku sedikit malu mengatakannya.

"Santai aja Dis, gak usah tegang gitu, gue cuma bercanda."

"Hmmm iya, karna ini pertama kalinya aku jadi gak tahu harus bersikap yang kayak gimana."

"Ngedate?" Aku menoleh seketika. Dan lagi-lagi mulutku menganga bingung.

"Nge? Nge-date?"

"Iya, ini pertama kalinya lo ngedate?"

"Hah?" Pertanyaan Dave sedikit aneh terdengar ditelingaku.

"E- emangnya kita sekarang lagi nge- date?" tanyaku hati-hati sekaligus bingung.

"Hmmm anggap aja seperti itu, lagian biasanya ngedate tuh buat orang yang lagi pacaran."

"Ohh, tapi kan kita gak pacaran Dave, berarti bukan ngedate namanya."

"Haha kalo gitu apaan dong?"

Aku berpikir sejenak. "Hmm... jalan bareng? mungkin?"

"Haha yaudah kalo gitu anggap aja ini simulasi, biar nanti kalo ngedate beneran udah gak canggung lagi." Aku ikut tertawa dan mengangguk karna bingung mau merespon yang bagaimana.

Eh bentar, tadi Dave bilangnya apa sih? Kok aku jadi bingung sendiri. Ah sudahlah! Beberapa menit berada dijalan akhirnya mobil Dave berhenti di sebuah cafe. Kami lalu turun kemudian masuk kedalam.

"Kamu mau pesen apa?"

"Samain aja Dave."

"Yakin?"

"Iya." Dave mengangguk kemudian langsung mengatakan pesanannya ke pelayan cafe ini. Setelah itu hening, kami sama-sama diam. Aku pun bingung pembicaraan seperti apa yang harus aku katakan. Aku tidak pandai berkomunikasi dengan seseorang.

"Emm Dave?" Akhirnya suara keluar dari mulutku.

"Hmm?"

"Nanti kita pulang jam berapa Dave?"

"Kenapa? Baru aja kita nyampai Dis masa lo udah mikirin pulang, lo gak suka ya gue ajak jalan?" tanya Dave yang membuatku merasa tidak enak.

"Eh enggak, bukan gitu Dave, aku cuma takut kemaleman aja."

"Lo gak usah khawatir, nanti gue balikin sebelum jam 10 Dis, gimana?" Aku tersenyum lalu mengangguk. Aku lega mendengarnya, karena walau bagaimanapun juga ini pertama kalinya aku keluar malam. Dan aku juga tidak biasa pulang hingga larut malam.

Beberapa menit kemudian pesanan kami datang. Aku memakan makananku dalam diam.

"Dis!" panggil Dave yang membuatku mendongak menatapnya.

"Iya?"

"Seandainya ada cowok yang suka sama lo gimana?"

"Hah?"

"Iya seumpama ada cowok yang nyatain perasaannya sama lo gimana?" Pertanyaan Dave yang tiba-tiba membuatku bingung harus menjawab apa.

"Hmmm kenapa memangnya?"

"Ya gak papa gue cuma mau tau doang, reaksi lo bakal kayak gimana?"

"A-aku gak tau, lagi pula aku belum pernah dalam posisi seperti itu jadi aku gak bisa jawab pertanyaan kamu Dave." Memang begitulah adanya, selama ini aku selalu tertutup apalagi soal cowok jadi mana mungkin ada cowok yang suka sama aku. Kalo dipikir-pikir sepertinya aku belum pernah merasakan apa itu jatuh cinta.

"Gitu ya." Dave tersenyum kemudian kembali melanjutkan makan. Disela-sela makan aku mendengar seseorang memanggil namaku.

"Disha!" Aku mendongak ke arah sumber suara. Kak Genta berdiri dengan pandangan bertanya dan sama terkejutnya denganku.

"Kakak!" ucapku spontan.

"Kamu ngapain disini?"

"Kakak ngapain disini?"

"Maaf bang, saya Dave temennya Disha, saya yang ngajak Disha kesini." Dave tiba-tiba menyela pembicaraan kami. Kak Genta memperhatikan Dave dari atas sampai bawah. Kalau gak salah kak Genta baru pertama kali ini bertemu sama Dave.

Kak Genta hanya mengangguk sekilas ke Dave. Dan terlihat sekali kecanggungan Dave. Aku jadi penasaran apa yang dipikirkan oleh kak Genta. Apa kak Genta kelihatan galak ya?

"Kamu sudah ijin mama Ta?" tanya kak Genta beralih ke arahku.

"Iya udah kok, Kakak sendiri ngapain disini?" tanyaku lagi.

"Kepo kamu!" ujar kak Genta seraya mengacak-ngacak rambutku.

"Isshh!" Aku hanya bisa mendesis sebagai bentuk protesku.

"Yaudah baik-baik kalo gitu, kakak pergi dulu. Dan buat kamu-" Kakak menoleh ke Dave yang membuat Dave seperti siaga.

"Iya bang?"

"Jaga Disha baik-baik dan jangan malam-malam pulangnya." Dave tampak mengangguk mengiyakan ucapan kak Genta. Aku hanya bisa menghela napas, kenapa juga sih kak Genta harus bilang seperti itu ke Dave? Aku kan jadi merasa tidak enak.

Akhirnya kak Genta berlalu juga. Aku tidak akan kepo tentang urusan kak Genta.

"Kakak lo perhatian banget ya Dis!"

"Emang iya ya?" tanyaku balik.

"Iya, masa lo gak ngerasain sih?"

"Emmm dikit, kak Genta tuh lebih banyak nyebelinnya. Dia suka banget jailin aku dan buat aku kesel, pokoknya nyebelin deh!" ujarku penuh semangat. Dave tertawa melihatku.

"Gue setuju sih sama kakak lo, lagian seru tahu jailin adek sendiri. Lo tahu gak? Jailnya seorang kakak itu adalah ungkapan sayangnya."

"Emmm gitu ya?" Dave mengangguk.

"Oh ya Dis, tadi gue denger kakak lo manggil lo 'Ta', gue yang salah denger atau gimana?"

"Ohh itu, waktu kecil aku emang lebih sering dipanggil Tata Dave, terus gara-gara namanya sama-sama 'Ta' kayak kak Genta jadinya seiring waktu panggilanku berubah deh jadi Disha, soalnya dulu tuh suka bingung kalau mama manggil 'Ta', aku sama kak Genta jadi kompak menyahuti mama," jelasku. Karna memang begitulah awalnya. Tak banyak yang tahu tentang ini karna memang bukan sesuatu yang penting juga lagi pula gak pernah ada yang bertanya juga.

"Ohh gitu ya, kalo gue manggil lo Tata emang boleh?"

"Ya boleh-boleh aja kok."

Setelah selesai dari cafe, Dave mengajakku lagi ke suatu tempat. Aku hanya menurut saja tanpa bertanya ataupun meminta banyak hal. Berkat kak Genta tadi jadi suasananya tidak terlalu canggung dan aku jadi mendapat topik pembahasan dengan Dave. Kalau tidak seperti itu mungkin aku tidak tahu harus berkata apa. Sudah aku bilang kan kalau aku ini tidak pandai mencari topik pembahasan.

"Ayo Ta!" Dave menarik tanganku. Aku agak aneh saat Dave memanggilku dengan sebutan 'Ta', aku kira Dave tidak sungguhan tadi.

Ternyata Dave membawaku ke tempat hiburan atau taman hiburan. Ah entahlah intinya itu.

"Gak papa kan gue ajak kesini?" tanya Dave.

"Iya Dave gak masalah kok."

"Lo mau main apa?" Ke tempat hiburan sudah jelas untuk bermain-main. Tapi aku merasa terlalu dewasa untuk memainkan permainan yang ada disini. Ada juga sih yang memang khusus buat orang dewasa tapi itu semua menguji adrenalin.

"Emm terserah kamu aja."

"Gimana kalo ke rumah hantu?"

"Rumah hantu?"

"Kenapa? Lo takut?"

"Emmm--" Aku bingung mau menjawab apa. Kalau boleh jujur aku memang agak takut sih sebenarnya tapi malu juga kalau mengatakan itu.

"Gak papa Dis gak usah takut, kan ada gue."

Pada akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Ayo Dis kamu pasti bisa. Terakhir kali aku ke rumah hantu waktu umur 6 tahun kalau gak salah. Waktu itu papa dan mama tidak sesibuk sekarang jadi ada waktu luang untuk membawaku dan dua kakakku ke taman bermain.

Setelah membeli tiket kami berdua mengantri untuk masuk. Sejak tadi aku sudah deg-degan. Aku berusaha mensugesti pikiranku bahwa semua yang ada didalam hanyalah bohongan bukan hantu sungguhan. Tapi tetap saja berbagai wajah hantu seolah memenuhi pikiranku.

"Ayo Dis!" Dave menarik tanganku begitu giliran kami tiba. Rasanya aku panas dingin.

"Tenang Dis gak usah takut, asal lo gak ngelepasin pegangan lo dari tangan gue, lo pasti aman," ujar Dave. Aku hanya mengangguk saja mengiyakan.

Sepanjang perjalanan aku tidak berani menoleh ke kanan kiri, aku hanya fokus melihat ke depan. Tanpa sadar aku memeluk lengan Dave. Rasanya keringat dingin bercucuran dikeningku. Kenapa disini gelap sekali sih?

"Dave!" panggilku karena merasa takut.

"Iya Dis, gue gak bakal ninggalin lo kok."

Tiba-tiba terdengar suara jeritan yang begitu keras ditambah ada boneka mirip hantu yang melayang tepat dihadapkanku. Spontan aku berteriak karna takut sekaligus terkejut.

"Tenang Dis, itu cuma buatan kok."

"Aku takut Dave." Tanganku semakin erat memeluk lengan Dave. Sedangkan Dave seperti mau melepas genggamannya dari tanganku.

"Bentar Dis gue mau ngambil sesuatu, gue gak bakal ninggalin lo kok," ujar Dave. Aku jadi merasa malu karena takut Dave bakal melepas tanganku.

Dave mengambil headset tanpa kabel dari saku jaketnya kemudian menghubungkannya dengan hp miliknya. Dia memakaikannya ditelingaku, kemudian terdengar suara lagu mengalun merdu dipendengaranku.

"Pakai ini biar lo gak denger suara-suara menakutkan lagi." Ternyata ini tujuannya. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan lagi menuju pintu keluar. Dave kembali memegang tanganku. Sepertinya efeknya cukup ampuh, karena setelah itu aku tidak mendengar suara-suara menakutkan lagi walaupun mata ku juga tidak bisa membohongi. Tapi setidaknya ini sedikit membantu.

Setelah beberapa menit akhirnya sampai juga di pintu keluar. Aku menarik napas lega. Ini benar-benar menegangkan menurutku. Rasanya aku gak mau lagi datang kesana. Cukup sekali ini saja aku pergi ke rumah hantu. Jantungku terus berdebar sejak tadi.

"Gimana Dis? Seru gak?" Dave bertanya dengan senyuman merekah diwajahnya. Seru apanya? Yang ada bikin jantungan. Tidak ada raut takut ataupun gelisah di wajah Dave.

"Serem," ujarku singkat dan malah membuat Dave tertawa.

"Lain kali kita ke rumah hantu lagi yuk Dis,"

"La- lagi?" Aku melongo tak percaya. Dengan santainya Dave berbicara seperti itu. Apa dia tidak lihat kalau aku ketakutan? Rasa tegang tadi aja belum sepenuhnya hilang tapi Dave malah mau lagi?

"Enggak Dave aku gak mau lagi, serem tau!" pekikku. Lagi-lagi Dave tertawa.

Setelah dari rumah hantu Dave membeli minuman untuk kami berdua. Kemudian lanjut lagi ke wahana-wahana lainnya. Dari tadi Dave mengajakku ke wahana-wahana yang menguji adrenalin, untung saja aku tidak punya riwayat penyakit jantung. Tapi kalau dipikir-pikir seru juga ternyata.

"Mau naik apa lagi Dis?" tawar Dave. Aku melihat ke sekeliling kira-kira wahana apa yang belum aku coba dan tidak menguji adrenalin. Akhirnya aku menemukan sesuatu yang seru.

"Gimana kalau itu Dave?" tunjukku ke salah satu wahana.

"Apa? Bianglala? Serius mau naik itu?" Aku mengangguk antusias.

"Ok, siapa takut!"

Dave pergi membeli tiket, terlihat ada beberapa pasangan remaja yang juga mau naik ke wahana ini. Kami berdua menunggu sampai mendapat interuksi untuk naik. Akhirnya aku bisa duduk santai setelah tadi beberapa kali bermain spot jantung.

"Lo seneng Dis?" tanya Dave tiba-tiba. Kami berdua duduk saling berhadapan. Bianglala sudah bergerak ke atas.

"Iya, makasih Dave."

"Syukur deh kalau lo seneng."

Aku menatap langit yang dipenuhi dengan bintang. Dan tepat saat itu kami berhenti tepat diatas karena menunggu penumpang lain untuk naik.

"Lo mikirin apa Dis?" Refleks aku menoleh ke arah Dave. Sejenak memang aku terdiam menatap langit.

"Enggak bukan apa-apa, cuma sedikit penasaran aja."

"Penasaran kenapa?"

"Emmm aku cuma lagi berfikir kenapa diluar angkasa itu gelap padahal ada matahari," ujarku yang membuat Dave terkekeh.

"Lo itu beneran gak tahu atau cuma pura-pura?" Aku menatap Dave bingung.

"Lo liat lampu yang ada disana gak?" Dave menunjuk sebuah lampu jalan yang terlihat dari atas sini.

"Iya, kenapa emang?"

"Ya matahari itu kayak lampu itu Dis kalau diluar angkasa, cahayanya gak mampu menembus ruang yang tanpa batas. Coba lo pikir kenapa lampu itu gak sampai menerangi jalan-jalan yang lainnya? ya karena itu tadi Dis cahayanya gak mampu menembus ruangan yang tanpa batas ini. Anggap saja luar angkasa itu lapangan yang sangat luas terus ada satu lampu doang disana, pasti ada bagian-bagian yang gelap dan yang terang cuma disekitar lampu itu aja kan, Nah konsepnya matahari diluar angkasa juga gitu Dis, luar angkasa memiliki ruang yang tidak terbatas makanya matahari tidak mampu menembusnya karna gak ada yang dipantulkan. Yaaah kurang lebih gitu deh."

Dave berbicara panjang lebar soal konsep matahari dan luar angkasa. Aku tidak percaya Dave bisa berbicara seperti orang jenius. Kenapa juga aku tidak berpikiran sampai sana ya?

"Ada apa?"

"Hah? Enggak, aku cuma- kagum," ujarku jujur.

"Kenapa emang? Gue kayak orang pinter ya?" Spontan aku mengangguk. Kemudian langsung menyadari tindakanku.

"Eh enggak bukan gitu Dave, maksud aku, aku gak nyangka aja ternyata pengetahuan kamu itu luas ya, aku bahkan gak kepikiran seperti itu Dave."

"Hahah kok gue berasa tersanjung ya, gak papalah sekali-kali gue kelihatan pinter dikit. Dulu adek gue juga pernah tanya kayak gitu ke papa Dis jadi gue tahu."

Tak terasa ternyata kami sudah sampai dibawah dan waktunya untuk turun.

Halo guys? Gimana kabar kalian? Aku mau ngucapin terimakasih banyak buat kalian yang masih setia menunggu kisah tentang Adisha ini.

Semoga kalian terhibur ya dengan cerita receh ini^^

Viaaf09creators' thoughts
Next chapter