webnovel

ciuman panas

Pukul tiga dinihari

"Nih, buat lu beli es cendol."

Aku melemparkan lembaran uang merah berjumlah dua puluh, ke arah wanita cantik di sebelahku, yang tubuhnya hanya tertutupi separuh oleh selimut. Kusawer dia dengan uang-uang tersebut, dia terlihat senang.

Kunyalakan rokok, lalu bersandar ke bantal, sambil memperhatikan wanita itu. Dia sekarang sibuk memunguti uang yang berserak di sekitar tubuhnya.

Dengan wajah bahagia, membuatku tersenyum tipis. Padahal, uang segitu menurutku secuil.

Rokokku sudah memendek, sisa beberapa senti. Aku tidak mau nekat menghisapnya, atau bibir dan kumisku akan terbakar. Jadi kubuang di asbak. Eh, aku tidak punya kumis dih, sudah kucukur.

Aku tidak berniat untuk mandi, meskipun tubuhku rasanya tidak nyaman. Tapi ini pukul tiga pagi, apakah tidak dingin jika mandi? Belum lagi rasa kantuk yang menyerang. Membuatku malas untuk mandi.

Namun, dengan terpaksa, aku pun tetap mandi akhirnya.

Tapi aku salah menduga, air yang tadinya kukira akan terasa dingin, malah terasa menyegarkan saat mengenai tubuhku. Mungkin karena aku berkeringat saat ini. Segera kupakai kembali pakaian, usai mandi. Dan menyisir rambut pendek yang basah, di depan cermin. Lihat, bahkan aku tetap terlihat keren meski belum berganti busana dan sehabis main ranjang. Luar biasa.

"Kamu mau pulang sekarang?"

Wanita di belakang punggung itu melingkarkan kedua tangannya dengan manja, pada pinggangku.

Dagu halusnya dia taruh di salah satu bahuku.

"Iya. Ada urusan nanti siang soalnya."

Kulepas tangannya dari pinggangku.

"Gua pulang dulu. Kalau mau pakek lagi, entar gua call lu lagi."

Kuraih jaket yang masih tergeletak di atas kasur.

Lalu berjalan ke pintu. Wanita itu melambaikan satu tangan padaku.

Di parkiran, kulihat Erwin, teman terbaikku, sedang duduk di atap mobilku. Oh iya, meskipun dia menyebalkan dan terkadang rese, tapi dia adalah teman terbaik, daripada teman-temanku yang lain, yang kebanyakan adalah bangsat.

Dia telah berjanji menjemputku pukul tiga tepat.

"Jangan naik-naik! Mobil gua satu milyar, bego."

Cowok sialan itu menyengir sambil melompat. Gayanya sudah seperti karakter Spider-man saja.

"Gua aja yang nyetir deh,"

Aku berucap asal, tanpa berpikir. Sontak Erwin mengerutkan kening.

"Lah, terus ngapain gua ke sini? Udah, lu molor aja di belakang. Kalau lu yang nyetir, entar kita mampus. Lu ngantuk gitu,"

Tangannya mendorong tubuhku ke pintu belakang mobil. Lantas dia duduk di kursi kemudi dan mobil segera melesat kencang di jalanan yang tidak ramai. Ini pukul tiga, kebanyakan orang masih terlelap dalam mimpi indah mereka masing-masing. Hanya satu dua mobil yang berseliweran.

"Tempur berapa jam lu?"

Erwin melirikku sekilas dari balik kaca mobil.

"Dua."

"Gila lu, ya. Pake apaan bisa tahan dua jam? Dasar hyper,"

Aku segera memejamkan mata, untuk sekadar terlelap sebentar. Kuabaikan ocehan Erwin yang sudah mirip ibu mertua. Tapi, sayangnya aku belum punya mertua, menikah saja belum pernah.

Pacar?

Enggak ada juga. Aku memang pernah pacaran dengan beberapa wanita cantik dengan tubuh sempurna, namun itu semua tidak pernah bertahan lama. Kalau tidak ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, aku diselingkuhi. Padahal, aku selalu memberikan apa yang mereka mau. Uang, belanja dan kemewahan. Tapi itu tetap tak bisa membuat mereka setia kepadaku. Jadilah, aku bosan. Enggan lagi berpacaran dengan siapapun.

Sakit hati ini, sakit. Sudahlah. Lebih baik aku melajang entah sampai kapan. Tapi soal seks, aku tetap menginginkannya. Itu sudah menjadi kebutuhan tersendiri, sejak usiaku menginjak dua puluh satu. Aku banyak uang, jadi bisa membayar puluhan wanita untuk tidur memuaskanku.

Setidaknya satu atau dua minggu sekali, aku akan memesan mereka untuk satu malam atau beberapa jam saja.

Satu menit, mataku sudah hampir rapat dan kepalaku sudah hampir memasuki alam bawah sadar, sebelum terlelap. Namun sialnya, ada sesuatu yang mengganggu.

Erwin. Si Brengsek itu malah berbisik-bisik mengangguku.

Sambil mencolek-colek tanganku pula. Dia pikir aku sambel?

"Apaan sih?!"

Aku menyergah sebal, karena sangat mengantuk, dan terpaksa harus membuka mata yang sudah hampir rapat.

"Liatin itu, dongo!"

Si Erwin kekeuh mencubit tanganku. Sampai aku hampir berteriak.

Cubitannya itu menyakitkan, meskipun tidak semenyakitkan kelakuan para mantanku dulu.

Satu telunjuk Erwin mengarah pada bagian ujung kiri jalanan di depan, di persimpangan, dekat sebuah ruko yang agak gelap. Aku tadinya malas untuk melihat apa itu. Namun kurasa Si Erwin brengsek tidak akan berhenti mengganggu jika aku tidak menurutinya. Kukucek mata agar bisa melihat dengan jelas, selama beberapa detik.

Detik berikutnya aku diam bersama Erwin, memperhatikan. Yang ditunjuk Erwin adalah sepasang sejoli yang tengah berduaan.

Mataku mulai fokus, melihat apa yang sedang dilakukan dua orang di sana. Lihatlah, si lelaki dengan sangat bernafsu meremas dada wanitanya, sambil tak henti mengecup dan menggigiti bagian sekitar lehernya.

Mereka berciuman dengan sangat ganas. Dan membuatku benar-benar terdiam. Serasa nonton adegan film secara live.

"Aih!"

Erwin hampir berteriak.

Tetapi aku tidak. Kubilang, "Berisik. Lu kayak baru pertama liat begituan aja."

Dia menyengir, "Kenapa mereka gak sewa hotel aja yak? Daripada di pojokan gitu,"

Sambil menyalakan rokok, dan matanya tetap fokus melihat dua orang yang tengah berapi-api di sana.

"Terserah orang lah, emang lu mau bayarin hotelnya?" Timpalku.

Lihat itu, si pria sekarang meremas bokong wanitanya, sambil menaikkan busananya yang hanya berupa gaun pendek di atas lutut.

Aku dan Erwin semakin fokus menonton mereka. Seru.

Tetapi, satu menit kemudian, mata kami membelalak ngeri bercampur kaget. Karena bukan lagi adegan panas yang disaksikan, melainkan adegan menegangkan yang membuat punduk bergidik.

Tidak ada lagi cumbuan mesra penuh nafsu di antara dua orang di sana. Melainkan, si wanita yang mulai bertingkah kejam. Dari jauh, terlihat tangannya berubah menjadi agak aneh.

Kuku-kukunya memanjang drastis, berbeda dari beberapa menit yang lalu.

Tajam dan meruncing bak mata pisau. Tangan kirinya bergerak cepat mencekik leher si pria yang bahkan tak bisa sempat berteriak. Lalu, satu tangan lainnya, menghunjam perut pria itu.

Dalam hitungan sekian detik, perut pria itu ditarik dan terburai isinya.

Ini gila! Tangannya sudah seperti pedang. Aku hendak berteriak bersamaan dengan Erwin, namun tak jadi.

"Win, cepetan puter balik! Cepet!"

Kataku, sambil menepuk kencang bahu Erwin.

Daripada teriak tidak jelas dan menonton adegan gila di sana, lebih baik kami segera kabur. Takut hal yang tidak diinginkan terjadi.

Erwin pun dengan tergesa segera meraih kemudi dan memutar arah laju mobil.

Satu menit kemudian, mobil sudah menjauhi lokasi dua orang tadi. Aku dan Erwin saling diam selama beberapa menit lamanya. Masih sibuk dengan kekagetan masing-masing.

Dua orang yang bercumbu tadi, sungguh membuat aku dan juga mungkin Erwin, syok. Karena baru pertama kali aku dan Erwin juga, melihat hal yang seperti tadi.

Segera aku mengambil air mineral di dekat kaki, yang selalu kusediakan di dalam mobil. Lalu setelah itu, kunyalakan rokok. Bukan karena saat ini aku kedinginan atau sedang ingin merokok, namun karena aku berusaha untuk menenangkan diri dari kekagetan.

Kusodorkan juga botol air mineral pada Erwin, agar dia juga minum dan sedikit lebih tenang.

Erwin segera meraih botol itu, tanpa banyak bicara.

Lalu menenggak isinya. Sayangnya, saat itu, aku justru berteriak panik, ketika mobil yang kami tumpangi berhadapan terlalu dekat dengan sebuah bus yang berlawanan arah.

"Win awas! BELOKIN WIN!"

Next chapter