webnovel

Serendipty

"Umur bukanlah tolak ukur, antara dua orang yang saling mencintai." - Serendipty Bagaimana jika jadinya dua orang yang tak saling mengenal tiba-tiba dipertemukan oleh semesta dengan caranya. Membuat getaran rasa yang tumbuh sepihak atau malah membuat mereka berdua jatuh dalam pesona masing-masing? Langit Aldebaran, laki-laki yang lahir dari keluarga berada, dengan beribu barang mewah, tak membuatnya bahagia. Langit hanya mampu memeluk kelam menaruh warna hitam tanpa berniat memberikan warna terang. Yang ia tau, warnanya abu-abu. Hingga, sebuah rasa memberinya warna utuh yang mampu membuat laki-laki itu jatuh dalam pesona Rinai Hujan. Jangan lupa tinggalkan jejak ya

Mitha_14 · Teen
Not enough ratings
218 Chs

Earphone

Rinai menatap tumpukan kertas diatas meja belajarnya. Besok adalah deadline dari essay nasional yang gadis itu ikuti.

Note berwarna-warni tertempel ditembok, masih ada beberapa tugas yang belum ia kerjakan. Untungnya bukan besok deadline dari tugas-tugas itu.

Rinai menatap jam disamping tempat tidurnya. Jam sudah menunjukan pukul satu malam. Tapi ia belum juga bisa terpejam. Ia ingin memakan sesuatu sebelum tidur, atau mungkin segelas susu hangat bisa membuatnya cepat terpejam.

"Saya nggak mau tau, kerugian itu harus secepatnya ditutup!" Rendra memijit pelipisnya dan duduk diatas kursi kerja dengan mata terpejam.

Suara yang masuk kedalam indra pendengarannya membuat Rinai menghentikan langkah kaki, didepan pintu ruang kerja Ayahnya. Helaan nafas kasar terdengar keluar. Rinai kembali melangkahkan kakinya.

Rinai memegang segelas susu dan kembali ke kamar. Lagi-lagi gadis itu berhenti didepan ruangan kerja Ayahnya kala tak mendengar suara Ayahnya.

Rinai memasuki ruangan itu dan melihat Ayahnya tertidur diatas kursi kerja dengan beberapa dokumen diatas tubuhnya. Ia menaruh dokumen-dokumen itu diatas meja, mengambil selimut dari dalam kamar Ayahnya dan memakaikan selimut itu untuk Rendra.

"Selamat malam Ayah, semoga mimpi indah. Rinai sayang Ayah." Rinai menutup pintu pelan. Dan kembali menaiki tangga.

Setelah menaruh segelas susu diatas meja dekat kamar tidurnya, ia mengambil buku bersampul bunga Anyelir dari dalam laci.

Rasa sayang yang tak akan pernah terganti oleh apapun. Bahkan harta sekalipun, bukan tentang berapa. Tapi bagaimana, rasa sayang itu bisa tersampaikan.

~Rinai Hujan

Rinai meminum segelas susu sampai habis dan mulai menarik selimut, semoga ia bisa bermimpi indah dan terbangun dengan rasa bahagia. Semoga.

***

"Pagi Pak, ini sarapan buat Bapak. Semangat kerjanya." Rinai menaruh seporsi nasi goreng di pos satpam.

"Haduh, Neng Rinai ini, baik banget setiap pagi Bapak disiapin sarapan." Rinai tersenyum begitu manis.

"Rinai berangkat dulu ya, Pak." Rinai membuka pagar rumahnya.

"Loh, Neng Rinai nggak diantar sopir?" Rinai menggeleng.

"Nggak Pak. Rinai mau menikmati udara pagi tanpa polusi." Rinai tersenyum.

"Hati-hati, Neng." Rinai mengangguk sopan.

Matahari masih belum mengeluarkan sinarnya, Rinai sudah berjalan keluar komples.

"Pagi Pak." Rinai menyapa Pak satpam penjaga pintu kompleks. Membuat Pak satpam tersenyum.

Siapa yang tak mengenal gadis berambut hitam panjang, pemilik kacamata yang melingkar dikedua matanya yang sipit. Hampir seluruh penghuni kompleks tau gadis itu. Gadis cantik dan baik hati yang selalu menolong orang lain, yang selalu membagi makanan dengan tetangganya bahkan satpam dan setiap sore gadis itu akan datang ke taman komples untuk bermain bersama anak-anak kecil atau sekedar membaca buku.

"Good morning." Rinai melihat kearah kanannya kala mendengar suara seseorang yang tak asing dipendengaran.

"Langit?" Rinai menautkan alis bingung melihat laki-laki itu berdiri disampingnya tanpa kendaraan kesayangannya.

"Gue nggak sengaja lewat sini, motor gue ada dibengkel." Langit menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Astaga! Langit berbohong hanya karena ingin lebih dekat dengan Rinai.

Semenjak insiden malam Minggu kemarin, Langit sudah mulai mengakui perasaannya meski belum langsung kepada Rinai. Semalam Rinai memberitahu Langit kalau ia akan menaiki transportasi umum untuk sampai disekolah. Hingga, pagi tadi Langit sengaja menitipkan motornya dibengkel langganan.

"Ayo, bus bentar lagi mau sampai." Rinai membuyarkan lamunan Langit.

"Eh- ayo." Langit berjalan disamping Rinai.

Mereka berdua duduk di Halte menunggu bus lewat. Rinai mengeluarkan earphone dari saku almamater nya dan menyambungkan benda itu kepada benda pipih ditangan kirinya

"Langit, mau dengerin gak?" Rinai memberikan satu earphone kearah Langit. Dengan senang hati laki-laki itu menerima.

Setelah memasang satu Earphone ditelinga nya. Suara milik dua orang muda-mudi yang menyanyikan lagu berjudul fall in love with you yang dipopulerkan oleh Elvy Prasley memasuki indra pendengaran keduanya.

Langit menatap Rinai lekat, hingga kedua bola mata coklat Rinai bersitatap dengan netra hitam segelap malam milik Langit. Dan detik itu, poros Langit hanya berpusat pada Rinai.

***

Rinai berjalan melewati lorong yang masih sepi. Netranya menatap tulisan diatas pintu yang membuat kedua sudut bibirnya tersenyum.

Rinai memasuki ruang perpustakaan, ia tersenyum kala melihat Bu Rafika penjaga perpustakaan tersenyum kearahnya.

"Pagi, Bu." Rinai berkata pelan.

Setelah menyapa penjaga perpustakaan. Gadis itu berjalan menuju rak buku pojok. Setelah sudah menemukan apa yang ia cari, Rinai berjalan menuju meja dan mencatat bahan referensi untuk PR nya.

Satu jam berlalu, Rinai masih asik dengan buku-buku referensi nya. Hingga suara dari speaker sekolah membuat ia menepuk jidatnya.

Untuk saudari bernama Rinai Hujan, ditunggu diruang BK sekarang.

Rinai berjalan menuju buku khusus untuk meminjam buku. Setelah selesai menuliskan buku yang ia pinjam, Rinai berjalan keluar perpustakaan dan menuju ruang BK.

***

Langit menendang bola kedalam gawang dan setelah masuk kedalam gawang Tritan melemparkan kembali bola kearah Langit, berulang kali seperti itu.

Regan menatap Langit tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Yang namanya perasaan, mau gimana pun lo menutupi semua, bakal keluar juga suatu saat nanti. Karena Lo bukan perempuan yang bisa dengan mudah mencintai diam-diam."

Langit menatap Regan, sahabatnya itu Paling mengerti perasaannya meski ia belum mengatakan apapun. Juga jangan lupakan, kalau Regan adalah orang paling tajam saat berbicara memberikan wejangan untuk sahabat-sahabatnya.

"Gue bingung." Langit mengacak-acak rambutnya kesal. Regan tertawa sinis.

"Ikutin aja alurnya, suatu saat lo bakal dapet jalan keluarnya." Regan berjalan menjauh dari Tritan dan Langit.

***

"Gue males banget kalau lo, lupa sama yang namanya makan." Yuira menyuapi roti bakar kesukaan Rinai.

"Tadi pagi, lupa belum makan." Rinai menampilkan deretan giginya, meski wajahnya pucat, gadis itu masih saja bisa terlihat baik-baik saja. Walaupun sebenernya ia tak ingin bertemu dengan Ayahnya.

Setelah mengumpulkan essay, Rinai tiba-tiba saja pingsan didepan ruang BK, membuat beberapa orang yang berlalu-lalang panik.

"Udah dua hari, Lo gak dianter sama supir. Kenapa?" Yuira memberikan air putih kearah Rinai. Gadis itu tau kalau sahabatnya ini ada masalah dengan Ayahnya.

Setelah meminum air putih Rinai berucap. "gapapa, aku emang pingin naik transportasi umum aja." Rinai tersenyum meyakinkan.

"Gue bisa aja nyuruh supir jemput lo, kerumah. Bahkan gue juga bisa bawa mobil dan jemput lo." Yuira menatap Rinai.

"Nggak usah Ra, aku baik-baik aja. Aku juga suka naik transportasi umum. Toh, nanti juga pasti aku balik lagi dianter supir." Yuira mengangguk. Benar juga, Rinai kan selalu dijaga oleh Ayahnya.

***

"Beneran gak mau bareng?" Yuira menatap Rinai yang berdiri didepan gerbang.

"Nggak usah, dia balik bareng gue." Langit berdiri disamping Rinai dengan wajah datar.

Yuira tertawa pelan. "pantes gak mau bareng."

"Rinai aman sama pawangnya, mah." Tritan merangkul Langit.

"Thanks, gue duluan ya." Yuira melambaikan tangan kearah Rinai.

Mobil Yuira berlalu meninggalkan mereka berempat yang masih asik berdiri didepan pagar sekolah.

"Gue balik ya," Tritan bertos ala mereka bertiga, diikuti Regan. Mereka berdua kembali kedalam sekolah mengambil kendaraan masing-masing. Tritan keluar dengan motor sport hijaunya dan Regan dengan mobil sport merah. Setelah mereka pergi, tinggal lah Rinai dan Langit

Mereka berdua berjalan menuju Halte, lima menit berlalu bus sampai didepan mereka. Rinai dan Langit masuk kedalam Bus.

"Tadi Lo udah minjemin gue earphone dan ngasih tau gue musik kesukaan lo, sekarang gantian." Langit menyumpal sebelah telinga Rinai.

Musik mulai mengalun membuat Rinai hanyut dalam nada yang ia dengarkan. Langit, laki-laki itu asik menatap Rinai, membuat mata dan fikirannya terekam memori tentang Rinai.

Dibawah langit senja yang mulai menimbulkan gradasi warna yang mampu membuat decak kagum yang melihat. Sekali lagi, seorang Langit Aldebaran jatuh kepada pesona Rinai Hujan.

••••