27 Malam pertunangan

Pukul tujuh lewat tiga puluh para tamu sudah mulai berdatangan, hanya saudara dan kerabat juga beberapa wali santri yang juga sudah hadir sejak magrib tadi. Tentu mereka ingin ikut andil dalam kebahagiaan putra putri mereka yang sudah dengan penuh kerja keras mewujudkan mimpi orang tuanya.

Halaman itu kini tampak ramai dengan beberapa lampu LED yang sengaja dipasang di pohon-pohon yang berjejer rapi disana guna menerangi pelataran yang luas itu. Sedangkan di sudut ruangan kamar Pihu tampak sedang duduk diatas kursi sembari menghadap cermin.

Sedari tadi Aisyah tampak ripuh dengan segala tingkahnya, perihal malam ini yang akan menjadi malam yang berbeda untuk Pihu sahabatnya. Pantas saja Abah menginginkan malam ini berbeda, ternyata agar sekaligus menjadi malam pertunangan antara Raihan dan Pihu.

Sungguh Pihu begitu terkejut bukan main ketika Ustadzah Ratih menyampaikan berita yang begitu tiba-tiba ini, bukankah niat awalnya hanya untuk sekedar muhadoroh seperti minggu-minggu biasa dan melakukan doa bersama untuk para santri yang baru menyelesaikan setor hafalan mereka? Pantas Abah terlihat sangat antusias begitu juga Raihan, ternyata untuk ini.

Pihu duduk menghadap cermin besar di hadapannya, ia sedang berada di kamar milik Ustadzah Ratih Sekarang bersama Aisyah. Ustdazah Ratih yang baru saja selesai merias wajahnya izin pamit keluar untuk mengurus beberapa persiapan di depan.

Hati Pihu berdebar tak menentu, ia sungguh tidak merasa bahagia dengan semua ini. Wajah Adam dengan segala petuah yang tadi sore di katakannya kembali menari-nari di pelupuk matanya, sukses membuat hatinya mencelos pedih. Oh, pandangan sendu milik Adam kala mengikhlaskannya untuk menjadi pendamping dari kakak tirinya semakin menoreh perih yang tak berkesudahan.

Setitik air mata terlihat basah diujung sana, segera di lapnya dengan tissu yang sedari tadi ia pegang. Hanya berjaga-jaga jika ia akan merasa iba lalu menangis nanti, nyatanya kertas tissu itupun sudah terpakai saat ini pula.

Wajahnya hanya melirik iba pada cincin yang masih setia ia kenakan, enggan rasanya untuk ia lepas. Namun mau tak mau ia tetap harus melepasnya dan menggantikan posisi itu dengan cincin pemberian Raihan nanti, miris sekali hidupnya.

Di tatapnya sekali lagi benda bundar itu di sentuhnya perlahan, baru ia akan melepas cincin itu seseorang di sebrang sana memanggil namanya. Ya, itu Ummi yang sudah tampil cantik dengan abaya Syar'i berwarna putih yang sangat anggun. Tak lupa jilbab yang senantiasa menutupi kepalanya berwarna senada pula.

"Apa Pihu bahagia Nak?" Tanya Ummi setelah Pihu mencium punggung tangannya takdzim.

Pihu hanya mengangguk pelan, sedikit tersenyum palsu untuk menutupi segala luka batinnya yang ternyata di tangkap oleh kedua netra indah yang sudah tampak menua di hadapannya itu.

Ummi hanya tersenyum hangat, kecil hampir tak terlihat di sudut bibirnya. Ia menatap lekat putri yang selama ini ia sayangi seperti anaknya sendiri itu, di elusnya perlahan lengan punggung Pihu yang sedikit dingin karena berkeringat.

"Kamu anak baik cah ayuk, jika Nak Pihu tidak bersedia untuk menikah dengan putra ummi tidak apa-apa. Jangan membohongi perasaanmu sendiri, percayalah itu tidak akan berakhir baik," ucapnya lembut keibuan seraya netranya masih menjelajah manik cantik milik Pihu, berharap menemukan sesuatu yang ia cari didalam sana.

Namun sayang, netra Pihu begitu lekat. Tak terselami oleh orang-orang biasa saja, hanya beberapa orang yang mampu memahami segala yang sebenarnya terlukis jelas disana, Adam salah satunya.

"Kamu sudah siap?"

"Insyaallah Ummi,"balasnya pelan seraya membenarkan setelan gamis peach yang begitu menawan ketika ia kenakan.

"Yasudah, ayok kita turun. Semuanya sudah menunggu." Pihu mengangguk kemudian disana Ustadzah Ratih dan Aisyah sudah menanti untuk menjadi pengiringnya malam ini, terasa aneh.

Dihari yang semua orang nanti, Pihu malah seperti tersesat di labirin yang telah ia buat sendiri. Diujung sana, dua mata setajam elang tengah memperhatikannya dalam. Senyum indah tercipta jelas di sudut bibir tipisnya, ketika kaki jenjang yang terbalut gamis itu mulai menapaki anak tangga satu persatu, Kecantikan Pihu memang tiada habisnya sampai kapanpun.

Namun senyumnya mendadak luntur, ketika netranya tak sengaja menangkap sosok Raihan yang tengah menatap kagum juga pada Pihu, Adam hanya tersenyum getir, mencoba mengikhlaskan sesuatu yang sudah teramat ingin untuk didapatkan bukanlah sesuatu hal yang mudah.

Ia kembali menundukkan kepalanya, hingga seorang wanita cantik dengan hijab maroon menyapanya lembut. Ya, itu adalah Adilla yang cantik dalam balutan dress muslimah yang tampak elegant, setidaknya Adam mampu mengalihkan perhatiannya dari Pihu dengan sedikit mengobrol bersama Adilla.

Adilla adalah sosok jelmaan bidadari jika menurut kebanyakan teman-temannya yang sudah mengenal Adilla selama mereka menimba ilmu bersama di Kairo, namun tidak begitu dengan Adam. Adilla bukanlah tipe wanita yang Adam idamkan,sosok Pihulah satu-satunya yang selalu berhasil membuat dada Adam berguncang hebat.

Ucapan kalimat salam dan berbagai formalitas membuka acara terdengar menggema di ruangan yang terbilang cukup besar itu, sontak membuat para hadirin yang sedari tadi asyik mengobrol mengalihkan pandangannya dan hening memperhatikan.

Entah sejak kapan Pihu sudah berdiri didepan sana, bersama Ummi dan di sebelahnya tentu saja Raihan yang sudah tampan dengan setelan resminya. Adam sangat benci mengakuinya, namun mau tidak mau Raihan dan Pihu memang tampak sangat serasi saat ini.

Ia hanya menggoyangkan gelas berisi jus orange yang sedari tadi di genggamnya, meneguknya sedikit dan tersenyum miris. Menatap nyalang pada Adilla yang berusaha merebut perhatiannya sedari tadi, sayang sekali Adilla masih jauh tertinggal dari Pihu yang sejak lama mengisi kediaman di hatinya.

Terdengar Abah yang memberi sambutan sekata dua kata didepan sana, Terpancar jelas jika beliau tengah amat berbahagia pula sekarang. Mungkin hanya Adam seorang yang kini tengah bergelung sendiri dalam duka hatinya. Ia tersenyum kecut.

Adam baru saja hendak pergi ketika suara MC membuatnya kembali ke tempatnya semula, sial sekali. Disana Pihu tampak sedang berhadapan dengan Raihan yang sudah menggenggam sebuah cincin mas dengan taburan berlian kecil di sepanjangnya. Namun sesuatu yang tak diduga terjadi, ketika hendak memasangkan cincin tersebut pada jari manis Pihu Raihan hanya diam mematung.

Pasalnya cincin pemberian Adam yang masih Pihu kenakan belum sempat ia lepas, Raihan hanya menatap heran pada Pihu yang kini tampak cemas. Mengapa ia bodoh sekali hingga lupa dengan hal penting ini.

Semua tamu hanya diam tak bergeming, menatap kedua pasangan itu dengan penuh tanda tanya. Bagaimana bisa wanitanya sudah mengenakan cincin sedangkan sang pria baru saja hendak memasangkannya?

"Dek, ini?" Tanya Raihan dengan raut wajah yang sulit diartikan meminta penjelasan.

"Eumm anu Mas, ini ... Ini pemberian seorang teman, iya pemberian teman," jawabnya sedikit terbata, diujung sana Adam menatapnya kecewa.

"Ohh yasudah Mas lepas dulu ya boleh? Nanti di pakai di jari lain saja," ucapnya singkat kemudian melepas cincin itu segera.

Adam yang menyaksikan semua itu hanya mematung, matanya sudah merah hendak meneteskan air mata namun masih mampu ditahannya. Tangannya terkepal kuat mencengkram erat gelas itu, perih sungguh perih.

Sungguh amat menyesakkan hati, batinnya mencelos ketika Raihan berhasil memasangkan cincin ke jari manis Pihu. Tuhan, sungguh sakit sekali menjadi Adam sekarang. Mimpinya porak poranda tak tersisa, dunianya terasa runtuh di depan mata, segala keinginan, asa, dan harapan telah hilang tak termaafkan.

Didepan sana Pihu memangdang Adam dengan mata berkaca-kaca, ingin sekali ia menghempaskan cincin yang baru saja Raihan sematkan dan pergi pada Adam. Namun sekali lagi, ia tak bisa.

Sorot mata mereka menyatu, tatapan iba penuh luka dengan segala asa yang mendadak kian menjadi hampa.

Langit malam menjadi saksi bisu, bahwa terdahulu mereka memang tak pernah salah tentang cinta. Bahwa cinta tetaplah cinta meski tak mampu saling memiliki, bahkan hingga Qays yang menjadi Majnun teruntuk Layla, bait-bait lantunan cintanya tetap tersampaikan, melegenda seantero jagad raya mengenang betapa hebatnya cinta mereka.

____

avataravatar
Next chapter