25 kenyataan

"Eh nggak, anu kita pulang sekarang aja gimana?  Mbak sudah telat ini," ucap Ratih gugup mengalihkan perhatian ketika Pihu tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang mereka.

"Kamu udah pas sama yang itu?"

"Iya Mbak, Pihu ambil yang ini saja. Gaunnya cantik," ucapnya tersenyum kecil, namun hati kecilnya tak demikian.

Raihan hanya mematung di sebelah Ratih, mengamati dengan takut apa yang sedang dua wanita itu perbincangkan. Jauh didalam hatinya ia menyimpan takut, gelisah tak henti mendera.

Mereka segera bergegas keluar menuju mobil yang terparkir di halaman butik, tepat ketika Pihu hendak menyentuh pintu mobil netranya jatuh pada sosok lelaki tegap yang sedang berbincang dengan wanita yang mereka temui tadi.

DAMN !

Disana Adam tampak sedang bersenda gurau dengan perempuan itu, mereka duduk berhadapan di resto yang terletak tak jauh dari butik yang mereka kunjungi.

Perih. Sungguh, teramat perih rasanya. Matanya sudah berair, hanya tinggal menunggu komando untuk segera ditumpahkan. Dadanya sesak melihat Adam tertawa bahagia bersama wanita itu, sedangkan dirinya? Bahkan Adam hanya melempar tatapan dingin padanya tadi pagi.

Inikah yang Adam rasakan ketika ia bersama Raihan? Oh tuhan, sakit sekali. Tangannya meremas kuat baju tunik yang sedang ia kenakan, apa ketidaksengajaan nya menerima pinangan Raihan harus Adam balas dengan begini? Secepat inikah?

Ia berjalan cepat, membuang mukanya dan segera memasuki mobil dengan Raihan dan Ratih yang sudah duduk nyaman disana. Air matanya menetes deras, sepanjang perjalanan ia bahkan tak sudi menatap kedepan dimana Raihan sedari tadi berusaha mencuri pandang kearahnya, ia hanya sibuk menepis butir demi butir yang terus saja jatuh ke pangkuan.

Diluar jendela sana gerimis mulai turun, cuaca panas namun hari sebentar lagi hendak hujan. Persis sama dengan keadaan hatinya saat ini, kacau balau tak terelakkan. Lelah, ia lelah berpura-pura baik-baik saja.

CKKKIIITTT

Mendadak santri yang menjadi supir mereka itu menginjak pedal rem dengan cepat.

"Kenapa Han?"

"Anu Mbak, Ihan baru dapet kabar kalo salah satu santri Abah baru saja kecelakaan," ucapnya dengan ekspresi serius.

"Inalillahi wa innailaihi roji'un, yasudah kamu cepet liat keadaannya sekarang, semoga gak parahnya Pemprov."

"Tapi Mbak gimana?"

"Gampang, Mbak bisa minta Adam jemput kesini sama Pihu."

"Yaudah Ihan pergi dulu Mbak," ucapnya tergesa setelah Ratih dan Pihu turun dari mobil.

"Kamu pulang sama Mbak Ratih ya," sambungnya lagi menatap Pihu cemas, yang dibalas anggukan oleh Pihu.

"Hati-hati Mas."

"Kamu juga."

____

"Hallo Dam, kamu dimana?"

"_"

"Bisa jemput Mbak kesini? Tadi Ihan harus pergi kerumah sakit jadi Mbak turun disini sama Pihu."

"_"

"Yaudah cepet, Mbak tunggu."

"_"

"Di depan salon beauty itu lho."

"_"

"Yaudah, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

____

Mereka sedang duduk di sebuah kursi panjang yang terletak tak jauh dari salon milik seorang wanita muda, menunggu Adam yang akan segera menjemput. Lama sudah mereka duduk disana dengan cuaca yang masih lumayan panas, akhirnya Adam tiba.

Dia membuka sedikit kaca mobil, mengisyaratkan agar mereka lekas masuk kesana tanpa sepatah katapun. Ratih yang mengerti situasi hanya bisa beralibi, mendekati Adam kemudian membisikkan sesuatu di telinganya yang hanya di balas tatapan dingin oleh sang empunya.

"Pi, kamu pulang duluan sama Adam ya ... Mbak lupa tadi kalo harus beli beberapa perlengkapan dulu," bohongnya.

"Lho Mbak, katanya tadi buru-buru mau ngajar sore?"

"Gampang, kan bisa malem lagi. Kalo gak kamu saja gantikan Mbak kalo sudah sampai, gimana?"

"Eummm tapi ... "

"Udah sana masuk, keburu sore nanti." Mendorong paksa Pihu agar segera masuk ke kursi penumpang disebelah Adam.

Pihu hanya meneguk salivanya hambar, wajahnya pucat seketika menahan rasa yang sudah bercampur aduk. Bukan seperti yang kalian bayangkan, dia hanya merasa tidak nyaman saat ini, berbeda sekali ketika Adam yang menjemputnya setiap pulang kuliah, Adam yang berada di sebelahnya adalah orang lain, sangat berbeda.

Dia duduk dengan gelisah di kursinya, sedangkan Adam hanya fokus pada jalanan di depan. Tak sedikitpun Adam menyapa, bahkan mungkin Adam menganggapnya tidak ada.

"Mas," ucap Pihu berusaha memecah kesunyian.

Namun yang di panggil hanya mematung, sesekali mengumpat pengemudi yang menyerobot jalur seenaknya.

"Pihu minta maaf Mas," ucapnya lagi, ia sungguh merasa gelisah. Menundukkan kepalanya dalam, setetes air mata kembali menghiasi pipi gembul miliknya.

Sontak Adam memberhentikan mobil yang sedang mereka kendarai, menepikannya di pinggir jalan dimana tak jauh dari sana terdapat sebuah taman kecil namun begitu penuh oleh tanaman bunga yang beragam, tak lupa beberapa macam kupu-kupu yang tampak asyik terbang melintang di sekitar bebungaan.

Wajahnya masih menatap dingin pada jalanan yang mulai sunyi, lampu-lampu jalan satu persatu mulai di hidupkan mencipta siluet dari satu dua orang  yang masih hendak berlalu lalang.

Ia menghembuskan nafas berat, diliriknya gadis yang sangat ia cintai kini tengah tersedu di sebelahnya. Oh ayolah, sangat menyakitkan melihat orang yang kita sayangi. Ia memukul pelan setir kemudi yang sedari tadi di genggamnya dengan frustasi, mengusap wajahnya kasar kemudian meneguk sebotol air mineral hingga hampir tandas.

Di tatapnya kembali wajah sembab itu, masih tampak begitu anggun.

"Hey," ucapnya parau dengan suara gemetar menahan segala rasa yang bergejolak.

"Kenapa nangis hm? Gimana tadi, kamu suka gaunnya?" Tanyanya sembari tersenyum getir, terasa lucu ketika sesuatu yang ia pesan khusus untuk gadis tercintanya malah akan ia gunakan bersama lelaki lain, yang tak lain adalah kakaknya.

Pihu menatap dalam kedua mata Adam yang saat ini tengah menatapnya serius, tatapan itu begitu dalam menusuk. Membuat sesuatu di dada kirinya kembali berdenyut nyeri.

"Kenapa Mas? Kenapa Bukan Mas?" Tanyanya terisak tak terima, sekian lama ia hanya diam menahan segala rasa sakit yang setiap detiknya begitu menyiksa, tanpa seorangpun yang mau menjelaskan dengan sudi padanya.

"Kenapa Mas?" Tanyanya lagi dengan suara yang hampir tak terdengar, air matanya sudah berjatuhan membanjiri setiap inci wajah manisnya yang kini tampak keruh.

"Mas tidak bisa berbuat apa-apa Pihu, Mas fikir Abah akan dengan baik hati meminangmu untuk Mas jadikan istri ... Tapi nyatanya ..." Ucapnya menunduk dengan seulas senyum yang menyiratkan banyak luka.

"Apa Mas?" Tanyanya mendongakkan wajahnya, meminta penjelasan.

"Nyatanya Abah lebih memilih putra kandungnya untuk memilikimu," ucapnya pelan, memandang lemah mentari yang sudah mulai meredup sinarnya diatas sana.

"Mas juga putranya, kenapa Mas tidak meminta keadilan? Mengapa Mas tidak berjuang?" Lirihnya pelan, berusaha sekuat mungkin menahan rasa tidak terimanya.

Berharap Adam yang saat ini tengah duduk dihadapannya luluh, dan bisa memahami bagaimana keadaan hatinya.

"Mas hanya seorang anak tiri, Mas bisa apa? Mas tidak punya hak disana," jawabnya lelah, menyunggingkan seulas senyumnya dengan wajah pasrah.

Sedangkan Pihu, ia hanya menatap iba pada Adam yang kini tengah tergugu dengan mata yang sudah memerah. Ia tahu benar, betapa Adam merasa tak berdaya melawan segala yang bukan diatas kehendaknya.

"Mau memaafkan Mas?" Tanyanya kemudian, berusaha tersenyum tenang namun gagal.

Yang ditanya hanya mengangguk perih, kedua matanya sudah basah oleh benih-benih kepiluan yang setitik demi setitik mulai berjatuhan. Ditatapnya wajah Adam sekali lagi, ia tampak lebih teduh dari jalanan pesantren yang dihiasi pohon beringin di sepanjang jalannya.

"Mas."

"Ya?"

"Tidak," jawabnya pelan kemudian menunduk, ia hanya ingin menatap wajah Adam dalam radius sedekat ini untuk yang terakhir kali. Adam hanya terkekeh pelan melihat Pihu yang tetap menggemaskan bahkan ketika sedang bersedih, namun sesaat kemudian ia kembali menundukkan kepalanya menyeka air yang sedikit menggenang di ujung mata sana.

"Dek."

"Iya Mas."

"Hmm gak jadi," ucapnya ragu.

Mereka beradu pandang sebentar, kemudian tertawa bersama seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka.

Namun pada detik yang sama mereka kembali bungkam, tersenyum ketir mengingat mereka tak mungkin lagi bersama. Mimpi, keinginan untuk saling melengkapi hanyalah fatamorgana. Terdengar klise, namun itu semua adalah nyata adanya.

Kembali Adam melajukan mobil hitam itu, menembus jalanan panjang dengan langit yang mulai tampak menggelap. Diliriknya Pihu yang kini tampak bungkam dengan raut wajah yang sulit diartikan, kemudian matanya kembali fokus kedepan. Memacu mobilnya sedikit lebih cepat sebelum Abah mengerahkan seluruh santrinya karena menganggap mereka berdua hilang.

Di tempat lain, Ratih tampak termenung sendiri didalam kamarnya. Sebenarnya ia berbohong ketika beralasan untuk membeli beberapa keperluan, dia hanya ingin memberi mereka kesempatan untuk sedikit berbincang. Ia begitu tahu, Adam yang kecewa dan Pihu yang sama sedang terluka.

Diliriknya mobil yang baru saja terparkir di halaman, ia tersenyum kecut kala dua insan yang tampak serasi itu turun secara bersamaan. Tak ada sapaan hangat, yang ada hanya tatapan tak berdaya yang terpaksa mereka bungkam bersama. Di tutupnya kembali gorden yang ia sibak tadi, ia tak sanggup melihat adegan selanjutnya. Ia hanya berdoa, semoga esok atau lusa semua ini akan kembali baik-baik saja,

Tapi apa mungkin?

____

avataravatar
Next chapter