28 Bukit Buritan

Adam pergi begitu saja, melenggangkan kakinya kemanapun langkah itu membawa. Di hempaskannya gelas yang masih ia pegang hingga hancur berkeping-keping, bahkan hatinya hancur lebih parah.

Kini ia tengah berdiri di sebuah tanah lapang yang tinggi, membuat beberapa rumah dibawah sana hanya tampak samar dengan siluet lampu yang menyala redup. Begitupun Al-Hikmah yang terlihat masih meriah dibawah sana, penuh dengan kegembiraan di dalamnya.

Ia menatap nanar siluet-siluet lampu yang berpendar terang di sudut sana, tersenyum kecil mengingat mungkin disana keluarganya sedang merayakan kebahagiaan tak terhingga. Sedangkan ia disini? Jiwanya kalut, terjebak dalam lubang yang dalam dan sangat sulit sekali untuk kembali naik ke permukaan.

Adam berteriak frustasi, suaranya menggema lantas hilang ditelan angin begitu saja. Berulangkali ia memekik sakit, di pukulnya dada yang begitu terasa nyeri itu cukup kencang. Air matanya sudah tak mampu ia bendung, menangis pilu bak anak kecil yang baru saja ditinggalkan seorang ibu.

Luka hatinya menganga dalam, perih yang berkepanjangan di sepanjang ingatan. Ia ambruk pada tanah merah yang tampak mengering itu, lemas. Rasanya tiada daya untuk melawan takdir dari sang maha pemberi skenario, kembali dadanya berdenyut nyeri. Mendetakkan luka yang kian lama kian menganga.

Diatas sana, rembulan baru saja muncul di sebalik awan. Mengintip sendu pada anak manusia yang kehilangan belahan jiwanya, Adam. Rintik gerimis menitik perlahan pada bumi yang terasa gersang, seakan telah lama merindukan sebuah siraman. Disana Adam hanya termangu, menatap pedih pada kegelapan yang hampa.

Kosong, tak ada tepukan riuh dari orang-orang yang sedang memberikan selamat atas pertunangan Raihan dan kekasihnya Pihu. Tak ada senyuman bahagia yang malah terasa menusuk kalbu kala para manusia disana dengan bangga memuji keserasian mereka, ini lebih baik, hanya kosong. Hampa, sunyi, sendu, luka, irama duka semuanya bernyanyi di kegelapan sana.

Sungguh tak ada yang bertanya sekalipun, apa Adam terluka? Apa ia baik-baik saja? Tak ada. Hanya diam, bungkam. Seberat inikah mengikhlaskan orang yang kita cintai membersamai orang lain? Pihu bak nadi yang mendetak merdu, sedangkan ia hanya separuh hati yang mati ketika nadi membawa hati yang berdetak itu pergi.

Mati, ia mati. Tenggelam dalam sunyi yang mengantarkan ribuan belati yang siap menghujamnya perlahan, sungguh ia hanya manusia biasa yang rapuh. Dibalik wajah tampannya, dibalik badan tegapnya ada hati yang terlalu rapuh bahkan untuk sekedar di sentuh.

Dia duduk termangu menatap langit, wajah tampannya kini tampak lusuh dengan air mata yang belum mengering. Di tepisnya dengan kasar benda sialan yang selalu sukses membuatnya runtuh perlahan, hingga tak ada setitikpun airmata di wajahnya.

"Hanyalah manusia yang bisa merasakan kepedihan karena memiliki sesuatu yang tak di butuhkannya, namun mendambakan sesuatu yang tak di milikinya."

Sebait alunan cinta milik Qays begitu saja melintas di benaknya, Adam hanya tertawa kecil bak seorang gila. Mengingat ia bernasib tak ubahnya Qays yang rela menjadi majnun karena begitu menginginkan Layla cintanya.

"Bukankah lucu sekali Qays, aku yang sekarang menjadi majnun mengikutimu. Aku yang hampir menjadi gila karena seorang wanita yang telah mengambil alih takhta yang begitu berharga, aku tak ubahnya seorang budak yang memohon untuk di bebaskan!" teriaknya keras memekik pada kegelapan di sana.

Ia bertingkah bak seorang pemabuk, menangis, merintih, terisak. ia terkekeh pelan begitu mengingat sore tadi begitu banyak ucapan indah yang ia berikan pada Pihu, bertingkah kuat layaknya manusia paling kuat yang tak merasakan sakit sedikitpun. Ia berteriak, lagi dan lagi hingga suaranya habis tak tersisa.

Tak di hiraukannya orang-orang yang mungkin sedang berteriak dibawah sana meneriakkan namanya, ia tak peduli. Ia hanya ingin membunuh rasa yang berkembang di hatinya itu sekarang juga, namun mustahil. Sekali lagi, cinta tetaplah cinta bukan meskipun tak mampu untuk memiliki?

Tanpa ia sadari, seseorang di belakang sana tengah menatapnya penuh iba. Kedua mata indahnya kini sudah penuh oleh deraian air mata, ikut merasakan pedih yang tengah Adam rasakan.

____

Wanita itu tengah menuangkan beberapa gelas jus ketika seorang pria muda berjalan cepat di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Lelah, penat, marah, sedih, kecewa, begitu tergambar jelas di pelupuk mata yang sudah memerah.

Segera di ikutinya langkah besar pria itu cepat, entah pria di hadapannya itu sedang tidak sadar atau tengah dalam keterpurukan hingga pria itu tak menghiraukan sekitarnya sama sekali. Ia bahkan tak sadar jika sedari tadi seorang perempuan mengikutinya dibelakang.

Semua pekerjaan yang sedari tadi masih dengan sibuk wanita itu kerjakan kini ia tinggal begitu saja, menitipkannya pada beberapa santri wati yang memang tengah membantunya.

Kedua alisnya tertaut Sempurna ketika langkah pria yang ia ikuti mengarah ke sebuah tanah lapang yang cukup tinggi, bukit buritan. Burit dalam bahasa sunda yang artinya sore. Dinamakan begitu karena disana akan sangat indah ketika sore menjelang dan tempat yang tepat jika ingin menyaksikan matahari terbenam.

Namun untuk malam hari? Hanya gelap dan sunyi, lantas untuk apa Pria itu kemari? semak belukar di sepanjang jalan yang tampak tajam di sisi-sisinya menggores lengannya beberapa kali namun pria itu tetap tak bergeming, sibuk mengikuti langkahnya menanjak.

Wanita itu hanya terus membuntuti, sesekali tangannya menepis rumput liar yang seolah akan merobek niqab yang sedang ia kenakan. Langkahnya kecil begitu hati-hati. Dan disana, pria yang tampak lusuh sedang berteriak frustasi pada kegelapan malam.

Di hempaskannya angin berkali-kali, namun itu tetaplah angin. Yang tak akan sanggup ia sentuh, hanya mampu di rasakan. Wanita itu seketika menegang, ketika Adam ambruk pada tanah merah kering yang sedang di pijaknya. Ya pria itu Adam, air matanya sontak saja menetes deras, membasahi niqab hitamnya.

Entah mengapa ia begitu perih melihat Adam begitu hancur disana, ia mengerti mengapa Adam berlari kemari. Disini sunyi, kosong, hampa, tiada siapapun yang akan melihat kelemahannya. Namun siapa sangka wanita bercadar itu ternyata melihat segalanya.

Ditatapnya pria yang jauh lebih muda darinya itu dengan penuh kepedihan, ingin sekali rasanya ia menceritakan segalanya. Memeluk putra putrinya agar mereka tak merasakan lagi ketakutan dan kekhawatiran, namun ia tak bisa. Ia tak ingin jika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.

Ia hendak pergi kembali ke pondok ketika Adam masih tampak termenung diatas sana, namun nahas kakinya malah menginjak ranting kering menimbulkan suara yang terdengar cukup gaduh di keheningan itu. Ia sontak membulatkan matanya tajam kebawah menatap kakinya yang terlihat gemetar, namun ketika ia mengangkat kembali wajahnya Adam sudah berdiri tegap didepan sana memandangnya dengan tatapan terkejut.

Angin mengusik kembali semak-semak yang tumbuh merimbun, gemerisik daun membuat hati seorang gadis paruh baya yang tetap tampak cantik meski dibalik cadar itu berdebar kencang. Ia sangat khawatir saat ini, apa yang akan ia jelaskan? Apalagi Adam sudah berdiri tepat dihadapannya dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Bu Nati?"

____

avataravatar
Next chapter