1 Senyum Terakhir Di Dermaga

"Kalau aku pulang nanti, kita langsung menikah," demikian ucapannya.

"Aku tidak sabar menunggumu, Mas," hanya jawaban itu yang bisa kukeluarkan dari bibirku.

Ia tersenyum mendengarku, menatapku dengan penuh kasih, lalu mendekapku. Saat Ia melepaskan pelukannya, jarak di antara kami dengan begitu cepat menjauh. Ia bergabung dengan barisan yang kemudian satu persatu memasuki kapal pesiar raksasa di depan sana.

Dari kejauhan aku melihat Ia melambaikan tangan padaku, senyumnya masih bisa kurasakan dan seketika dadaku berdesir. Selama beberapa bulan ke depan kami akan melewati masa-masa ujian yang cukup berat, terutama bagiku. Mas Gara berangkat tugas berlayar untuk yang pertama kalinya. Aku bersyukur karena akhirnya Mas Gara diterima bekerja di sebuah kapal pesiar. Cita-citanya untuk mendapat pekerjaan yang linier dengan bidangnya akhirnya tercapai.

Hari-hari kulewati dengan bahagia meski terkadang hatiku tetap merasa ada yang kurang. Aku dan Mas Gara hanya bisa terhubung dengan telepon, pesan, atau panggilan video. Sore hari yang biasanya kami habiskan bersama di tepi pantai atau muara sungai untuk memancing ikan, kini tidak ada lagi.

"Liana... Liana," Alda meneriakkan namaku dari balkon rumahnya.

Jarak rumah kami sangat dekat dan berhadap-hadapan sehingga biasanya kami hanya berteriak dari rumah masing-masing jika ingin membicarakan sesuatu. Aku membuka pintu lantai dua yang langsung terhubung dengan balkon rumahku.

"Apa, Da?" tanggapku sembari masih mengucek mata.

Setelah Mas Gara berangkat satu bulan lalu, aku kembali bermalas-malasan dan tidak pernah bangun pagi kecuali jika ada kelas di jam pertama.

"Liana, lihat story instagramnya Mas Gara. Kau sudah melihatnya?" ucap Alda dengan menggebu-gebu, jika sudah begitu aku tahu bahwa Alda tidak ingin dibantah.

"Belum," jawabku sembari mulai mengutak-atik layar handphone. Aku tidak menemukan apapun di story instagramnya Mas Gara.

"Story apa, Da? Nggak ada story apa-apa," gumamku.

"Apa jangan-jangan akunmu di-hide ya?" ujar Alda.

"Mungkin," rasanya tidak mungkin, masa Mas Gara hide story dari aku.

Alda menghela napas kemudian menggelengkan kepala, Ia menatapku dengan pandangan tidak percaya.

"Ya udah kita turun, lihat lewat akunku saja," ujarnya.

Aku bagai tersambar petir di pagi yang cerah melihat apa yang Alda tunjukkan. Mas Gara habis ijab kabul? Ia menikah? Bukankah Ia sudah berjanji akan menikahiku saat Ia pulang dua bulan lagi?

Tubuhku gemetar menyangkal apa yang baru saja kudapatkan. Rasanya sangat tidak mungkin.

Tayangan yang ada di layar handphone Alda cuma bohongan, 'kan? Mas Gara tidak mungkin menikah dengan gadis lain! Kami sudah menjalin hubungan kekasih selama hampir lima tahun lamanya. Ia memang belum resmi melamarku, tapi setelah pulang nanti, Ia pasti akan melamarku dan kami langsung menikah.

"Da, aku nggak nyangka. Ini nggak nyata, 'kan?" aku mengguncang bahu Alda.

"Ssst, jangan panik dulu. Siapa tahu itu cuma main-main. Posisinya di kapal lho, bukan di KUA," ucap Alda meyakinkanku.

"Hhh," aku mengembuskan napas kasar. Aku tahu Alda hanya berusaha menyangkal seperti halnya diriku.

"Da, apa yang harus aku lakuin kalau begitu?" ucapku. Hatiku memohon supaya apa yang tengah kurasakan hanya salah sangka. Semoga Mas Gara hanya sedang bermain-main dengan teman-temannya, empat bulan mengapung di tengah samudera pasti butuh hiburan.

"Telpon Mas Gara sekarang, tanya langsung saja. Kalau itu cuma nikah bohongan, Ia pasti tidak menghindarimu," ucapnya dengan yakin.

Aku melakukan apa yang Alda sarankan. Tapi apa yang kudapatkan hanyalah tiga kali panggilanku tidak terjawab. Dengan hati berkecamuk, aku menunggu lima belas menit lagi sembari berbisik pada diri sendiri bahwa mungkin Mas Gara sedang sibuk. Setelah itu, aku berusaha menelponnya tetapi lagi-lagi hasilnya nihil.

"Oh, Tuhan," bibirku tak kuasa menahan keluh.

Semenjak hari itu aku tidak bisa lagi melihat postingan apapun milik Mas Gara, pesanku tidak dibalas, telponku juga tidak diangkat. Hubunganku dengannya seakan terputus tapi tak ada penjelasan apapun darinya. Hari demi hari aku menanti, aku kian yakin bahwa Ia memang benar-benar menikah dengan orang lain, bukan hanya candaan belaka.

Suatu hari saat aku berada di ambang kesintingan, aku sempat berpikiran bahwa mungkin saja handphone Mas Gara terjatuh di lautan sehingga Ia tidak bisa berkomunikasi denganku. Tapi setelah aku meminta Alda untuk meminjamkan akunnya untukku, story Instagram dan media sosial lainnya milik Mas Gara masih update.

Mungkin Mas Gara tidak menyadari bahwa Alda memfollow-nya, atau mungkin Ia sengaja membiarkan Alda melihatnya supaya aku bisa tahu apa yang tengah terjadi secara tidak langsung. Jika memang Mas Gara tidak berani memberitahuku secara langsung --melainkan dengan mendengar dari orang lain, menurutku itu cukup pengecut.

Aku menggeleng menertawakan diriku yang selama ini ternyata mencintai seorang lelaki pengecut. Mas Gara yang kukenal sebelumnya adalah lelaki supel, pemberani, saat kecil sudah dikenal sebagai jagoan karena Ia pintar bela diri. Tapi aku tidak menyangka bahwa ternyata aku belum mengenal dirinya sepenuhnya. Beruntung sekali Tuhan mengingatkanku sebelum terlambat, meskipun ini sangat terlalu dini.

Dua bulan berlalu, aku melewati hari-hariku dengan cukup berat. Segala hal kulakukan demi mengalihkan pikiranku dari Mas Gara. Aku kuliah dengan lebih rajin, tidur lebih banyak, dan pergi dari orang-orang yang hobi membicarakan perihal rumah tangga. Sampai akhirnya aku nyaris lupa bahwa hari ini jadwal kepulangan Mas Gara telah tiba.

Apa yang akan kami saling bicarakan? Apa yang akan keluarga kami saling bicarakan? Oh, bahkan aku tidak yakin bahwa akan terjadi pembicaraan lagi di antara kami.

Akhirnya saat itupun tiba. Orang-orang berbondong-bondong ke pelabuhan untuk menyambut kapal pesiar yang berlayar empat bulan lalu. Aku hanya melihat mereka dari balkon rumahku, riuh rendah terdengar di kejauhan sana. Para ibu menyambut putranya, para gadis menyambut calon pasangannya, para ibu muda menyambut pangerannya. Aku hanya berdiri di belakang pagar besi lantai dua sembari sesekali menghela napas.

Tak ada siapapun lagi yang mungkin kusambut karena lelaki yang dulu kuhantarkan ternyata sudah menjadi milik wanita lain. Sangat miris bukan, kami saling menjaga tetapi ketika aku membiarkannya pergi hanya empat bulan, Ia sudah menjadi milik wanita lain.

Tetapi mungkin aku yang berlebihan, aku terlalu berharap lebih pada Mas Gara. Dulu aku telah dicintai sehingga hari-hariku cukup menyenangkan. Mungkin, seharusnya aku sadar bahwa hari-hari itu telah melewati masa tenggang. Masaku bersama Mas Gara telah habis dan kini telah digantikan oleh wanita lain.

Ketika air laut mulai pasang dan rona keapian muncul di ufuk barat, kaki-kakiku pun melangkah menyusuri pasir pantai. Ingatanku tak bisa lari dari senyum di wajahnya saat sebelum mendekapku waktu itu. Tak kusangka ternyata senyumnya adalah senyum terakhir yang Ia berikan padaku.

"Liana..."

Aku terkesiap saat gendang telingaku menangkap suara berat dengan napas menderu, suara lelaki tak asing yang menyebut namaku. Di tengah udara senja yang dingin sampai kakiku terasa seperti tak menapak pasir lagi, aku menghentikan langkahku. Perlahan menoleh dan akupun tak percaya dengan apa yang kulihat.

"Mas Gara?!"

"Liana, sedang apa, Kau?" sapanya.

Aku tidak menjawab, aku tidak mungkin lupa bahwa kondisi kami sekarang sudah berbeda. Meski situasi ini seharusnya menjadi salah satu momen romantis, tapi hatiku justru tercabik-cabik. Mengapa Mas Gara meski datang padahal aku hanya sedang ingin berjalan-jalan sendiri. Aku menatapnya, menggeleng, bibirku pun kelu untuk sekadar mengucapkan sepatah dua patah kata.

"Siapa perempuan itu?" akhirnya pertanyaan itulah yang keluar dari bibirku dari sekian banyak kumpulan benang kusut di otakku.

Mas Gara nampak terkejut, tapi Ia menyembunyikannya. Ia pun mendeham kecil sebelum menjawab.

"Ia mantan istri temanku."

"Lalu, Mas menikahinya karena mereka sudah bukan suami istri lagi? Mengapa memilih janda bekas teman sendiri dibanding aku, Mas? Mas keterlaluan! Apa lupa sama semua janji kita selama ini?!"

"Maaf Liana, aku terpaksa menikahinya karena mereka butuh muhalil," jawab Mas Gara dengan nada bicara yang datar tidak seperti biasanya, aku menyesal telah merajuk padanya seperti anak kecil.

"Muhalil? Mereka butuh muhalil? Dan Mas menyanggupinya? Memangnya tidak ada laki-laki lain selain Kau, Mas?" cukup Liana, cukup! Otakku memerintah tapi hati dan bibirku tak bisa kukendalikan.

"Sudahlah, Liana. Sudah terlanjur, kalau aku tahu takdir ini bakal terjadi. Aku tidak bakal menyanggupinya. Tapi manusia mana yang bisa membaca takdir, Liana?"

Detik itu juga air mataku tumpah. Mas Gara lebih memilih wanita lain. Aku berusaha keras menahan air mataku tetapi yang terjadi justru sebaliknya, aku menangis sesenggukan. Mas Gara merengkuhku tetapi aku mendorong dadanya kuat-kuat.

"Ran meninggal setelah kami ijab kabul karena hipotermia. Ia bersikeras tidak mau minum anggur dengan alasan bahwa itu minuman haram," gumam Mas Gara. Aku teringat bahwa Ran adalah teman baiknya di akademi, ternyata Ia duda yang telah mentalak tiga mantan istrinya.

"Lalu perempuan itu?" aku menggertakkan gigiku setelah pertanyaan itu terlempar.

"Masih jadi istriku," Ia mengangguk mengakui.

"Kau tega, Mas," suaraku terdengar mendesis.

"Maafkan aku, Liana. Aku mengerti Kau kecewa padaku. Kau berhak marah dan kecewa, tetapi aku akan bertanggung jawab atas ini semua," ujar Mas Gara.

Aku menghela napas. Kalimat yang Mas Gara lontarkan adalah kalimat basi yang biasa kudengar dari para pecundang. Tanggung jawab seperti apa yang Mas Gara maksud? Jika Ia memintaku untuk merelakannya bersama wanita itu maka aku akan sangat kecewa.

Tetapi tak ada pilihan lain kecuali merelakannya atau memilih untuk dimadu. Tanpa Mas Gara menjelaskannya padaku pun aku sudah bisa menebak.

"Tanggung jawab seperti apa yang Mas maksud?" tanyaku dengan dada yang terasa sesak.

"Aku membebaskanmu menentukan beberapa pilihan. Jika Kau ingin tetap bersamaku, maka aku menerimamu. Jika Kau menginginkan lelaki lain, aku merelakanmu," ucapnya.

"Aku ingin tetap bersamamu tanpa ada wanita itu di antara kita," jawabku.

"Itu tidak masuk dalam opsiku, Liana. Kalau Kau ingin tetap bersamaku, aku berjanji Kau dan Amira akan berada di rumah yang berbeda," ucapnya.

Aku berdecih, jadi perempuan itu bernama Amira.

"Terima kasih atas tawaranmu, Mas. Tapi mohon maaf aku memilih opsiku sendiri. Demi harga diriku, aku memutuskan bahwa kita tidak akan menikah," ucapku.

Usai sudah hubunganku dengan Mas Gara. Cintaku kandas karena Ia memilih perempuan lain. Meski Ia membelah bilik hatinya untukku juga, aku tidak akan mengambilnya. Aku tidak rela ada perempuan di sisi lelakiku. Bagiku lebih baik tidak sama sekali daripada diduakan.

Mas Gara masih mencoba memberiku pengertian tapi aku menggeleng. Petang itu kami pun berpisah di dermaga. Aku membawa pulang luka di hati entah sampai kapan.

***

avataravatar