22 Episode 22

Bujuk rayu gue pada Mustika enggak sia-sia. Dan, gue pun sekalian menjelaskan sama dia untuk tidak cemburu kalau gue terlalu dekat dengan bang Adi. Jadi, enggak sabar gue memberitahukan kabar bahagia ini sama dia. Pasti dia akan senang banget dengarnya.

Jam kerja gue sudah selesai, gue harus segera sampai kampus sebelum dosen kesayangan datang lalu memberika ceramah gratis di rumah. Karena hari ini yang mengajar adalah Andra tetangga yang paling menyebalkan.

Tiba-tiba saja teleponku berdering lalu gue mencipit dengan membaca nama si penelepon itu. Kalau yang nelepon adalah nomor yang enggak gue kenal, saat itu juga matikan sebab jika penting dia akan chat, kalau enggak berarti hanya orang iseng atau penipu yang sering berkeliaran mencari korban.

'Hallo, ada apa ya, bang?' tanyaku sudah tersambung dengan dia.

'Lo sekarang ada di mana? Gue mau cerita nih sama lo.' jawab bang Adi terburu-buru.

'Bisa apa enggak ceritanya besok saja, Bang? Saya harus segera masuk kelas, Bang.' dari tadi gue fokus menatap kelas, teman-teman sudah pada masuk kelas, hanya Andra yang masih berada entah di mana.

'Ouh iya gue lupa kalau lo ada kelas. Iya sudah gua nanti akan telepon lo balik.'

Hanya ada suara tut-tut, gue semakin penasaran apa yang akan disampaikan oleh bang Adi. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sampai dia lupa kalau gue ada kuliah siang.

Setelah panggilan terputus gue memasukkan ponsel ke dalam tas diskau yang paling depan agar gue mudah mengambilnya. Kalau di belakang gue harus membuka resleting dulu dan sedikit memakan waktu.

"Ngapain kamu masih ada di sini?" tanya seseorang yang sudah gue hapal bau parfumnya.

Gue menoleh ke belakang. "eh, itu, Pak Andra, saya tadi ada urusan sebentar." kilahku lagi males debat sama Andra.

"Urusan penting yang seperti apa sampai kamu tega meninggalkan kelas saya?" tanyanya tegas. Gue berasa sedang diintrogasi sama dia.

"Iya namanya juga urusan anak muda, bermacam-macam jenisnya, Pak." elaku lagi.

"Kamu tuh ya kalau saya kasih tahu selalu ngeyel. Bukannya mengiyakan dan patuh dengan ucapan saya." omel Andra sampai lupa kalau kami sedang ada di kampus bukan di rumah.

"Iya gimana lagi, Pak? Saya juga enggak tahu kalau kejadiannya begini, Pak." jelasku berusaha memperbaiki nama gue agar tidak dicela oleh Andra.

Kenapa sih, Andra, pakai kagetin gue di tempat umum seperti ini? Gimana kalau, Mustika, tahu lalu menuduhku tanpa ada buktinya. Gue mana bisa membuktikan kalau enggak ada bukti yang kuat.

"Kenapa wajahnya kesal begitu? Kamu enggak suka saya nasihati?" nada Andra sedikit meninggi. Gue sampai malu ditatap oleh teman-teman yang lain.

"S-suka kok, Pak. M-maaf saya permisi mau masuk ke kelas dulu, Pak." gue membungkukkan tubuh lalu melewati Andra yang masih berkacak pinggang.

Awas saja tuh orang kalau sudah sampai rumah, gue akan ngadu sama tante Rika biar dia dimarahi sama mamahnya.

Gue heran banget kenapa sikap Andra di rumah dengan di kampus berbeda banget. Ya gue tahu di kampus dia memang menjaga wibawanya tetapi enggak harus membuat nyaliku sampai ciut dong. Modelan manusia yang begini kok disukai sama bunda.

***

Kelas sudah sangat sepi bukan karena gue enggak masuk kelas tetapi memang sudah enggak ada mata kuliah lagi. Rencananya hari ini gue mau balik lagi ke butik, enggak enak banget kalau datang cuma setengah-setengah.

"Jalan yuk, Lay." ajak Gita.

"Maaf, Git, gue harus balik lagi ke butik. Enggak enak banget kalau gue pulang ke rumah." tolakku.

"Yach ... Sayang banget ya, Lay. Padahal hari ini gue mau ngajak lo ketemu bang Lutfi."

"Ngapain ketemu kak Lutfi, Git? Gue kan sudah enggak ada hubungan apa-apa sama kak Lutfi. Lo enggak lupa kan?"

Ini Gita beneran lupa atau pura-pura lupa ya? Gue kan sudah putus sama abangnya, ngapain juga diajak ketemu. Nanti yang ada gue semakin enggak bisa move on dari dia.

"Iya gue ingat kok, Lay. Masalahnya hari ini tuh gue mau buat kue yang sangat besar, dan gue tahu lo paling pintar kalau urusan kue." Gita tersenyum lebar.

Gue menghembuskan napas. "ouh begitu, iya sudah nanti malam saja gue buatin. Karena gue harus balik lagi ke butik, enggak apa-apa kan?"

"Baiklah, Lay. Ulang tahunya juga masih besok kok, nanti kuenya bisa gue masukin ke kulkas dulu. Tapi apa lo sudah ada bahannya?" tanya Gita masih bermalas-malasan tidur di atas meja.

Gue berpikir sejenak. "tentu masih dong, Git. Iya sudah gue cabut dulu ya? kasihan teman-teman butik pasti kewalahan."

Sebenarnya gue enggak enak menolak ajakan, Gita, tetapi tuntutan pekerjaan membuat gue sadar ada hal yang harus gue utamakan. Dan, jalan dengan, Gita, bukan hal yang harus diutamakan.

Aish! Ini kenapa sih pakai acara ban bocor di tengah jalan begini, gue kan jadi harus mendorong motor sendirian. Mana tempat ini sangat sepi lagi, sebab gue sengaja ambil jalan tikus biar cepat sampai ke butik.

Kata orang sekitar tempat tambal ban masih jauh, gue sudah enggak sanggup mendorong motor sampai jauh. Apa sebaiknya gue minta bantuan saja ya? Namun siapa orang yang akan gue mintai bantuan ya? Bingung banget deh.

"Motornya kenapa?" tanya seseorang bersuara besar. Bulu kudukku berdiri, apa mungkin dia bermaksud jahat sama gue ya?

Gue mengangguk ragu. "b-ban motor saya bocor, Kak."

"Apa perlu bantuan? Kebetulan saya selalu bawa pompa kecil, memang sih enggak bisa menambal tapi kamu bisa bawa motor dengan keadaan masih ada anginnya, gimana?" tawarnya.

"B-boleh, Kak? Mohon bantuannya ya, Kak." gue enggak berani menatap wajahnya. Takut dia beneran punya niat jahat.

"Kamu dari dulu selalu ceroboh ya?" dengusnya kesal.

"Maksudnya gimana ya, Kak?" tanyaku enggak paham.

Orang ini berniat sok kenal atau gimana ya? Gue saja enggak kenal dia eh dia sok kenal banget sama gue.

"K-kak Lutfi, k-kenapa bisa ke sini?" tanyaku gugup.

Speechless. Gue masih bingung kenapa bisa kak Lutfi, orang yang sangat gue cintai dari dulu sampai sekarang, muncul tepat dihadapanku. Jalanan ini sepi dan gue tahu betul arah ke minimarketnya bukan di jalan ini.

"Tadi, sewaktu saya mau ke rumah teman, kedua mata saya enggak sengaja melihat kamu." Kak Lutfi fokus memompa ban motor. "dari jauh saya tahu ada yang enggak beres dengan ban motor kamu, makanya saya diam-diam ikuti kamu dari belakang."

"T-terima kasih ya, Kak, sudah mau membantu saya." Ucapku tulus.

Sebaiknya gue harus segera pergi dari sini sebelum perasaanku tak karuan setelah sekian lama enggak pernah bertatap sama dengan Kak Lutfi.

Kak Lutfi mengangguk. "tunggu sebentar!" perintahnya.

Rencana gue dan bang Adi harus segera direalisasikan agar gue pun tahu hati Kak Lutfi sekarang untuk siapa? Kalau memang sudah enggak ada harapan lagi, mungkin gue harus membuka hati buat orang lain.

"Apa kabar, Kak? Saya hampir lupa tanya kabar, Kakak."

"Baik. Kabar kamu gimana? Saya dengar kamu sekarang kerja di tempatnya tante Adel, benar begitu?" tanya Kak Lutfi seperti enggak suka gue kerja di sana.

"Betul sekali, Kak. Saya memang kerja di tempatnya tante Adel." jawabku malu-malu.

Memangnya kenapa kalau gue kerja di sana? Lagi pula uangnya halal dan gue kerja dengan sungguh-sungguh, tatapan Kak Lutfi sangat meremehkan gue. Dia memang enggak pernah berubah suka menatap orang dari kacamatanya sendiri.

"Kenapa kamu milih kerja di sana?" tanyanya lagi.

"Karena saya butuh uang buat biaya kuliah, Kak." jawabku menahan rasa kesal.

"Apa benar kamu ada hubungan sama Adi?" Andra melirikku lalu fokus dengan ponselnya.

"Kalau benar, apa Kak Lutfi keberatan saya punya hubungan dengan sepupu, Kakak, sendiri?" gue enggak sabar ingin tahu jawaban dari Kak Lutfi. Kemungkinan dia memang sudah punya calon yang lebih baik dari gue.

"Bukan gitu, Lay. Kamu salah paham ..."

"Tunggu sebentar Kak, saya mau telpon seseorang dulu." potongku.

Mencari nomor ponsel seseorang tanpa menunggu panggilan sudah tersambung.

'Assalamualaikum, Tante Adel, maaf saya mau mengabari bahwa saya mau resign.'

Gue pun menjelaskan semuanya, dan mulai sekarang gue ingin dipanggil dengan nama "Inna" saja.

avataravatar
Next chapter