1 Rangga

Namanya Rangga Dwi Sasongko. Ketua OSIS, langganan medali emas kompetisi Fisika antar Provinsi, kapten klub basket yang menjadi juara bertahan selama dua tahun, serta relawan di panti asuhan Cinta Ibu. Latar belakangnya cukup membuat orang terpana; datang dari keluarga terhormat, Ayahnya pengusaha, Ibunya dokter bedah jantung terbaik, Adiknya yang baru berusia dua belas tahun sedang berada di Wina untuk mengasah bakat berpianonya dan keluarganya adalah pemberi donasi terbesar bagi yayasan sekolah.

Tetapi bukan itu. Bukan keluarga ataupun prestasi yang ditorehkannya yang menggema dalam asaku. Melainkan senyum di wajahnya saat ia bercanda. Lesung pipi di pipi kanan yang muncul saat ia tertawa, bahkan butiran-butiran air yang jatuh dari helaian rambutnya saat ia mencuci muka, yang membuatku lupa bahwa dunia masih terus berputar. Pria itu telah menjadi sauhku sejak beberapa lama. Dan kehadirannya di sekitarku membuatku terus bergerak, meski aku yakin tak ada dari bagian hidupnya yang menyadari eksistensiku.

Aku menatapi punggung Rangga yang menjauh. Seragam basketnya ia lampirkan di pundak, tertawa bersama teman-temannya mengenai sesuatu sementara beberapa gadis yang berpapasan dengannya tak berhenti menatapnya sedetikpun. Berharap Rangga akan menyapa mereka.

Seperti aku.

Aku duduk di pinggir lapangan, menyaksikan kilauan punggung Rangga ketika ia berbelok dan menghilang dari pandanganku. Rasanya begitu indah namun tak terjangkau. Aku tak tahu berapa banyak gadis di sekolah ini yang terpikat padanya. Dengan ketampanan dan kesempurnaan yang ada padanya, tentu saja bukan hal yang mustahil jika bahkan guru-guru pun menyayanginya. Rangga itu istimewa. Ia seperti cahaya yang menerangi kami.

"Ra, ga balik ke kelas, nih?"

Ini Dea, teman sebangkuku yang entah kenapa begitu peduli pada kehidupanku.

Kuanggukkan kepalaku satu kali, masih berusaha keluar dalam bayanganku tentang Rangga. Dea mengamit lenganku. Ia berjalan santai, tak mempedulikan sikap engganku untuk menolak segala sentuhan. Dea tahu akan hal ini, tentu saja, sebab kami telah menjadi teman sebangku selama dua tahun bulan depan. Tetapi sama seperti keenggananku untuk bersentuhan, begitu pula sifat tak peduli Dea. Dia tidak akan pernah berhenti hanya karena aku memintanya.

"Eh, Ra, tau ga sih? Bu Siska bilang ujian simulasi lo yang paling tinggi nilainya satu sekolahan."

Aku kmendengus kecil. Kebenaran akan pernyataan Dea sama mustahilnya dengan Rangga yang akan mengajakku berbicara di tengah umum.

"Ya kali," sahutku tak acuh. "Baru bulan lalu gue di peringkat sepuluh di kelas."

"Nah itu dia. Tadi siang gue nguping di kantor guru. Pada ga percaya satu kantor pokoknya. Pak Ded nyampe bilang lo ikut ujian ulang. Masalahnya, lo ngalahin Rangga selisih 20 poin!"

Aku mematung di tengah jalan, menatap Dea dengan pandangan horor yang tak bisa kujelaskan. "Please bilang kalo lo nge-prank gue, De." Kataku memohon. "Ga mungkin gue jadi juara satu kelas!"

Dea berdiri dua langkah di depanku. Matanya membulat penuh, dan dia kelihatan cantik dengan rambut pendek berponinya. "Helooo, Ra? kemana aja lo daritadi? Gue ngomong betul kali, ih. Lagian gimana sih caranya lo bisa dapet nilai segitu? Perasaan di kelas bengong mulu?"

Aku bahkan tak bisa merasakan sakit hati atas perkataan Dea, sebab dia benar. Tak pernah sekalipun aku menunjukkan ketertarikan terhadap pelajaran selain Bahasa Asing. Tetapi untuk bisa mencapai nilai tertinggi dalam ujian simulasi Fisika, well, sama sekali tak ada dalam daftar pencapaianku.

Dan, ya ampun, Rangga. Apa katanya nanti?

"Tapi, De, Bu Siska benar-benar bakal adain ujian ulang buat gue kan?"

Dea mengangkat bahunya. "Tauk, kayaknya sih enggak. Soalnya nilai itu udah di kirim ke pusat dan nilainya juga keluar dari sana. Jadi, siap-siap di panggil pas upacara besok lusa." Ujarnya sambil tertawa kejam.

Bukan sorakan atau cemoohan seisi sekolah yang kutakuti. Bahkan bukan tatapan penuh curiga yang menyelidik dari para guru-guru. Tetapi Rangga. Aku takut kekecewaannya akan luntur ke jiwaku. Aku sama sekali tak siap jika harus berhadapan dengan penolakannya. Ia bahkan belum pernah menyapaku seumur hidupnya, bagaimana mungkin dia akan membenciku pada saat pertama kali mengetahui namaku?

avataravatar
Next chapter