webnovel

Wow Mengejar Mimpi!

Di hari pertama masuk sekolah kelas satu SD, wali kelas kami adalah pak Bahri. Rambut beliau belah dua, sering sekali memakai seragam guru, kemeja dan celana warna kuning itu. Lonceng pulang dipukul pada jam dua belas. Lonceng kami ialah besi bekas roda mobil. Yang memukul pak Jamrin. Bang Edi masuk ke dalam kelasku, bang Edi satu kelas dengan Piyah. Mereka kelas empat. Bang Edi membangunkanku yang sedang tertidur di kursi bagian tengah dan mengajakku pulang. Ketika pergi sekolah pun aku sering ditunggu bang Edi dan kami berjalan bersama, aku, bang Edi, Piyah, dan bang Am.

Selama tiga tahun mereka di sekolah denganku, tak seorang pun berani menggangguku sebab di sekolah ini lebih dari lima abang-abang sepupuku. Kebanyakan mereka sedang duduk di kelas empat dan sebagian duduk di kelas enam dan kelas tiga. Begitu mereka tamat SD dan aku sudah kelas tiga, aku pernah diganggu abang senior kelas empat, yang kemana-mana membawa pisau lipat kecil. Tak seorang guru pun yang tahu dia bawa pisau ke sekolah. Rambutnya belah dua dan suka mengancam orang dengan pisau meskipun tak pernah seorang pun yang ia lukai. Dia pernah masuk ke kelas kami saat jam istirahat dan menyuruhku ke luar, dia ingin mengobrol berempat di dalam dengan kawan klasku juga yaitu yang satu suku dengannya. Dia orang Gayo.

Waktu begitu cepat, kami telah ujian Nasional dan hari ini hari minggu. Kami bertamasya untuk perpisahan ke Pante Barat. Dua mobil angkot disewa dan datang ke sekolah kami.

Tadi subuh aku telah dibangunkan mamak. Sesuai pesanku pada mamak tadi malam agar membangunkanku di waktu subuh sebab besok pagi aku harus berangkat ke sekolah sebelum matahari terbit. Aku telah mandi, sudah makan, sudah rapi. Baju yang aku kenakan adalah kemeja biru, kemeja lebaranku. Celana panjang dan memakai sandal lebaran juga. Aku sudah janjian dengan kawanku Arman dan Yar. Aku menunggu mereka. Uang iuran sebesar dua puluh lima ribu sudah diberikan mamak padaku. Uang itu beliau pinjam dari bibik-adiknya ayahku. Ibunya bang Edi dan Arma adiknya bang Edi yang juga teman kelasku. Aku masih ingat aku dan Arma dipukul di telapak tangan gara-gara tidak hapal kali-kali waktu kelas empat. Buk Tebe kuat sekali memukul, tidak membedakan laki-laki dan perempuan, semua sama kuatnya.

Mamak juga memberiku uang saku dua puluh ribu. Aku semangat dan gembira sekali hari ini! Meskipun nilai Ujian Nasional belum diumamkan, entah lulus atau tidak, urusan nanti. Yang penting hari ini haruslah riang gembira.

Begitu temanku sudah di depan rumah, kami jalan ke sekolah bertiga. Biasanya memang sering pergi dan pulang bertiga. Hari ini tentu aku tidak bisa membawa sepedaku ke sekolah. Sebab tidak mungkin aku tinggalkan di sekolah. Bukan karena takut hilang tetapi memang malas menjemputnya lagi nantinya. Istilah hilang belum familiar di sekolah kami.

Tiba di sekolah, kawan-kawan yang lain semuanya memakai baju baru, pakaian terbaik mereka. Sudah wangi, rambut telah dipakaikan minyak kemiri, mengkilau sekali hingga sebagian minyak itu mengalir ke jidat kami. Sebagian juga memakai minyak Canco yang warna hijau. Dulu sebelum Piyah masuk pesantren, dia sering kali membeli minyak Canco dan aku juga pakai. Minyak yang membuat rambut mudah diarahkan sekehendak hati. Kalau dibikin berdiri, maka bisa berdiri hingga sore bahkan malam hari juga mungkin esok pagi.

Lebih satu jam kami menunggu angkot datang. Kami sudah tidak sabar. Kebanyakan dari kami belum pernah sekali pun ke Pante Barat. Aku pun begitu, paling jauh baru pergi ke pusat kota kabupaten dan Lawe Sigala-gala sewaktu ikut kempaye. Salah satu timses menyimpan baju partai di rumah kami. Partai yang ada gambar Ka'bahnya itu. Juga pernah timses partai yang ada gambar matahari dikelilingi warna biru itu. Di baju partainya diberi tanda paku menusuk nomor yang ada di baju kaus. Di rumah kami banyak sekali baju partainya, sehingga aku pun sering ganti-ganti baju. Sebab banyak yang tak mengambil baju. Aku ingat sekali, tempat kempaye itu di bawah kompi TNI lawe Sigala-Gala sana.

Pak Jamrin dan kepala sekolah sedari tadi menelepon, entah siapa yag beliau telepon, beliau-beliau tampak sibuk. Tak banyak guru kami punya telepon.

Di keluarga kakek kami, ayahku satu-satunya yang punya HP, merek Nokia. Hp itu dibeli dengan maksud agar mudah menelepon Piyah di Pesantren Samalnga Biereun sana. Hanya hari jumat bisa ditelepon. Aku sering minjam dan memakai hp ayah. Biasanya aku buka permainan bola. Aku sering cetak goal dan menang. Gampang! Aku juga suka sekali dengan nada deringnya, sering kali aku dengarkan malam-malam sebelum tidur. Jika ada yang menelepon, aku tidak berani angkat, terlebih jika ada nama kontak yang tertulis. Kalau ayah sedang di sawah, aku bakal lari ke sawah membawa hp yang sedang berdering.

Begini nada panggilannya yang aku pilih: Pelangi, "Wou! Aku di sini! Wou! Terus berlari! Wou! Meraih mimpi!" Ada panggilan masuk. Begitu diangkat ayah, ternyata cuma misscall. Padahal aku sudah lelah berlari dari rumah.

Tidak pernah sekali pun aku bawa hp itu menggembala. Sebab hanya itu satu-satunya benda canggih dan modern di rumah kami. Kalau lah sampai aku menghilangkannya, bisa-bisa aku tidak diakui anak. Hp itu dibeli di Medan, ayah nitip ke Tauke/tokeg karet ayah, yaitu Bang Juh. Beliau beli seharga tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Mahal, jangan sampai hilang kata mamak.

Ingin sekali punya jam tangan agar sewaktu menggembala mudah mengetahui pukul berapa. Kadang sengaja pulang menggembala selepas magrib tiba di rumah. Jika ditanya mamak kenapa telat pulang, aku bakal jawab tak tahu waktu, belikan aku jam tangan. Dan ternyata trik itu tidak mempan sama sekali. Ingin juga punya mainan agar bisa bermain saat menggembala, juga tidak dibelikan. Lima belas ribu harga mainan itu, gimbot. Yang kerjanya cuma satu: menyusun! Tapi kalau sempat dibelikan, bisa-bisa tidak fokus menggembala. Lembu bakal masuk dan makan berjamah di ladang orang.

Pernah aku membawa radio kecil berukuran selebar telapak tangan, warna hitam, berbaterai. Radio milik bang-Ngah. Radio itu aku bawa menggembala. Aku memanjat dan rebahan di atas pohon, di dahah yang kuat. Aku sedang menggembala sendirian di Pante Dona. Tak tahu teman yang lain berada di sisi yang mana. Aku rebahan di atas dahan, setengah sadar. Aku mendengarkan radio. Tiba-tiba radio itu terjatuh dari genggamanku. Aku terperanjat dan melompat ke bawah. Aku cari-cari, menyibak-nyibak semak-semak, daun-daun rumput sekitar aku pangkas dengan tangan kosong, aku cabut sebagian rumput setinggi betisku. Lebih dua jam aku mencari radio itu. Aku ketakutan dan sedih. Bisa-bisa aku dimarahi bang-Ngah.

Sudah petang, tidak dapat kutemukan. Pulang ke rumah, bang-Ngah tidak tidur malam itu di rumah. Dia nginap di gubuk kecil bersama kawan-kawannya. Mereka jaga malam. Esok harinya aku pergi menggembala di tempat radio itu hilang. Tadi malam hujan gerimis. Aku cari-cari lagi. Juga tidak ketemu. Di hari kedua itu bang-Ngah menanyakan radionya. Aku pun harus jujur. Aku bilang jatuh di padang runput. Bang-Ngah tidak berkata apa-apa, dari raut wajah cemberutnya ia tampak marah.

Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya, setiap kali aku menggembala ke tempat kejadian peristiwa, aku selalu mencari radio itu! Tidak pernah ketemu. Padahal sudah aku cari ke segala sisi sekitar jatuhnya. Mungkin ada makhlub ghaib yang telah menyembunyikannya.

Kaka-kakak dan abang-abang kelas kami sebelumnya, kalau perpisahan tentu pilhan tamsyanya hanya dua tempat: Ketambe atau Pante Barat. Kata wali kelas kami, kalau mau ke Ketambe, kami harus menambah iuran sepuluh ribu lagi. Tapi kami tidak mau, dua puluh lima ribu juga sudah sangat memberatkan orang tua kami. Jadilah perpisahannya ke Pante Barat.

Setelah lama menunggu, dua angkot datang dan kami yang laki-laki rebutan naik di atas atapnya. Sebagian duduk di bawah bersama perempuan. Tidak ada larangan. Hanya ada pesan pegang kuat-kuat. Kami senang di atas, pun aku. Aku pilih duduk di depan, aku menang duluan bersama Arman dan Ton yang berbadan besar. Ada pun Yar di duduk di belakang Arman. Benar-benar harus kuat dipegang. Bila tidak bisa jungkir balik ke depan saat pak supir ngerem. Tapi bocil-bocil kelas enam tahun 2007 pasti bilang sepanjang jalan: duduki gasnya pas ssupir! Maksudnya lebih kencang lagi pak! Padahal sudah kencang sekali. Hingga-hingga yang duduk di depan susah membuka mata.

Angkot yang kami naikki melewati desaku Alur Langsat, kemudian Khutung Mbelang, Lawe Tungkal, Alur Nangka, Setambul Jaya, Paya Kubur, Njuhar, Payung Monje, Engkera Cingkam Mekhanggun pekan khusus hari Kamis, lalu SMA Lawe Alas, Liang Pangi, Kuta Batu, Perapat Tinggi, Lawe Sikap, Mbarung, pusat kota kabupaten, Tanah Merah dan belok kanan masuk ke dalam tibalah kami di Pante Barat. Sebelum masuk gerbang, pak supir membayar karcis. Satu mobil lima ribu rupiah.

Kami pun berpencar. Kepala sekolah dan guru-guru yang lain manggang ikan dan ayam, juga memasak ayam rendang untuk makan siang kami. Kami telusuri segala sisi dan sudut Pante Barat. Banyak phon-pohon besar yang dirawat, bersih, asri, kemudian air sungainya bening dan juga deras. Kami pergi ke bagian hulu, agak jauh dari tempat kumpul. Kata buk Inong nanti pukul dua belas kumpul untuk makan siang. Aku, Arman dan Yar, jalan bertiga. Kami ingin membeli gelang. Kami belilah gelang karet yang warna-warni, aku pilih warna loreng. Juga cincin warna putih. Seribu dapat satu gelang dan satu cincin.

Berjalan ke arah hilir air, kami bertemu Ifah, Uni dan Wul pulang dari arah sana. Kata mereka di sana ada yang jual eskrim. Kami Pun membeli eskrim. Kami makan sambil bejalan menuju kolam ikan. Ikan mas dan mujahir, kurus-kurus seperti jarang diberi makan. Ikan-ikan itu malu menunjukkan tubuh kurusnya pada pengunjung. Selain pohon besar dan batu besar, kolam ikan, ayunan, dan pedagang, di Pante Barat ini juga ada panggung musik. Bukan seperti festival pada umumnya, kami menyebutnya Kibod. Ada vokal, speaker bass dua kiri-kanan, dan juga pianis dan pemandu karaoke. Biduannya jago segala lagu. Kalau mau request, boleh bayar seikhlas hati. Tak satu lagu pun kami request. Kami hanya duduk dan menonton dari jarak yang agak jauh dari kerumunan.

Jam dua belas kami sudah ngumpul. Namun masakan belum matang. Buk Siti, ibu guru paling cantik, tinggi langsing punya keponakan dalam kelas kami. Anak Salim Pinim. Sedari tadi duduk di dekat tungku, dibantu teman-teman kami yang perempuan. Sambil menunggu, kami pun cerita ini dan itu. Semua dari kami sudah punya pilihan akan melanjut kemana, SMP atau MTS. Yang akan pertama kali dibuka tahun ini ialah SMP di SD kami, bangunannya sudah siap. Tahun ini sudah mulai menerima murid. Kami juga disarankan guru kami lanjut di SMP, nama SMP itu SMP Satu Atap. Memang kelasnya baru ada satu.

Aku sendiri, tiap maju ke depan, aku bakal bilang ingin masuk pesantren dan harus keluar daerah. Tidak mau di dalam daerah. Aku ingin seperti abangku Piyah yang juga belajar jauh. Aku ingin ditangisi mamak saat pergi jauh seperti Piyah dulunya, yang membuat mamak menangis berjam-jam lamanya, hingga-hingga mata mamak bengkak. Aku ingin keluar dari kampung. Aku tidak mau di rumah, nanti malah sering diajak ikut ke sawah. Aku malas ikut bekerja. Maka dari itu aku pun minta pada ayah agar mengantarku jauh sejauhnya ke luar daerah.

"Daud maju ke depan,!" Pak kepala sekolah meyuruhku maju sebab memang giliranku menurut absen kehadiran. Satu-satunya guru yang paling kami segani di sekolah ialah kepala sekolah kami. Melihat kumis beliau saja pun kami sudah tau kesalahan kami jika sedang melakukan kesalahan. Kalau beliau menjadi pembina upacara, betis pembawa bendera pasti gemetaran, takut dimarahi jika salah sedikit saja.

Aku pernah merasakan betis bergetar, pernah sekali dapat giliran menjadi penggerek bendera. Padahal tidak ada kesalahan. Dua laki-laki satu perempuan. Aku di kanan, Ifah di tengah, Arman di sebelah kiri. Teman kami Suadi pernah dimarahi kepala sekolah gara-gara tidak pakai sepatu, katanya sepatuhnya belum kering sebab ibunya lupa mengangkatnya saat menjemurnya di hari minggu.

"Lanjut kemana, Ananda?"

"Masuk pesantren, Pak!"

"Haa, di mana itu pesantrennya?"

"Di Besilam, Pak?"

"Di mana itu Besilam?"

"Kata ayahku di Medan, Pak."

"Oh, jauh ya?!"

"Siap, jauh, Pak!"

"Yakin, sanggup masuk pesantren?"

"Siap, sanggup, Pak!" Bapak kepala sekolah melihatku dengan tatapan tajam. Kawan-kawan yang lain juga diam, sunyi.

"Silakan duduk."

Setelah itu, tiap kawan-kawan melihat wajahku, mereka tak jarang meledekku. Mereka pelesetkan makna, "Besilam" menjadi "Silem" yang mamksudnya orang yang bisa menghilangkan dirinya lalu muncul kembali.

"Daud, silem!" kata kawan-kawanku, apalagi si Ham, Ton, Arman, dan Yar. Itu-itu saja mereka ulangi. Hanya aku satu-satunya yang ingin lanjut di luar daerah. Yang lain tidak mau, ada pun yang mau khawatir mamaknya tidak memberi izin, kalau pun diberi izin khawatir orang tuanya tak mampu memgirim biaya perbulan, kalau pun mampu mengirim uang belanja, aku dan kawan-kawanku menyakini masuk pesantren itu susah, megerikan dan menyedihkan. Di otak kami masuk pesantren banyak aturan dan juga pemukulan dari senior macam masuk TNI. Nyuci sendiri dan masak sendiri. Kami tidak tahu ada pesantren yang punya sistim dapur umum.

"Nggak betah kau nanti." kata kawanku mengingatkan.

"Lebih ennggak betah lagi aku di rumah. Aku mau ke luar daerah." jawabku.

"Nanti kau disuruh senior push-Up seratus kali!" kata Suadi. Anak bibikku, bukan bibik kandung.

"Seratus kali tanpa berhenti?" aku memastikan.

"Iya, gitu aku dengar dari abangku " kata Arman.

"Ditempeleng juga!" Tambah Ton.

"Tempeleng kuat-kuat?" tanyaku memastikan lagi.

"Iyalah da!" sahut Noh. Aku diam, tak bisa menjawab apa-apa. Pokoknya, apa pun itu, aku harus masuk pesantren. Begitu keinginan hatiku dari dalam, begitu mantap, begitu semangat, begitu kuat!

Masakan sudah matang. Kami mengeluarkan piring masing-masing yang kami bawa dari rumah. Karena memang diimbau tiap orang membawa satu piring. Semua dapat giliran dan mendapat satu potong daging ayam dan kuahnya. Setelah dapat bagian, kami menepi ke pinggir sungai. Makan sembari melihat air sungai mengalir. Di hulu dan hilir di dekat kami orang-orang sedang mandi. Tidak hanya dari sekolah kami, dari sekolah lain juga datang kemari. Pante Barat adalah Pante paling poluler saat itu.

Sesudah makan kami pun mandi. Sudah kami siapkan pakaian celana pendek khusus mandi. Yang tidak bawa celana pendek harus menunggu kawan yang mandi hingga puas dan bosan. Air sungai ini berasal dari gunung, pagi siang malam, airnya tidak pernah berubah, selalu dingin. Kami telah kelas enam SD dan sudah Ujian Nasional, tapi ada saja yang nekat mandi telanjang. Dan hal itu pun masih wajar anggapan kami. Kami masih bocil. Tak ada anggapan dan kata tak sopan apalagi tak senonoh di atara kami. Orang dewasa sekitar pun tak ada yang melarang. Tapi kami menjauh dari tempat pemandian teman kami yang cewek. Di sini khusus yang cowok saja. Aku masih menunggu yang mandi pakai basahan.

Pukul lima petang kami pulang. Mobil angkot mengantarkan kami hingga depan rumah, atau yang rumahnya masuk ke dalam maka dia harus turun di tepi jalan raya. Begitu tampak batang jambu depan rumahku dari jarak tiga luluh meter, aku memukul-mukul bak mobil angkot Lawe-Lawe itu: Pinggir! Pinggir! Pinggir! Tiga kali baru didengar pak supir. Aku terlewat.

Kata mamak tidak perlu lagi membersihkan dan menyalakan api kandang, semuanya sudah dikerjakan mamak. Aku senang. Sebentar lagi ayah pulang. Hari ini beliau yang menggembala. Sejak ada LES untuk persiap Ujian Nasional. Ayah berusaha pulang dari gunung sbelum jam dua belas agar bisa menggembala. Kami LES seminggu tiga kali saja. Senin hingga rabu.

Pernah juga bukan hari LES, kami terlambat pulang, hampir pukul satu siang kami balik. Jam satu aku tiba di rumah. Kulihat kandang sudah kosong. Kata mamak ayah sudah pergi menggembala. Kalau begitu, aku lah yang tugas membersihkan kandang dan menghidupkan api kandang. Bukan cuma tinggal menghidupkan saja, bila tak ada bahan bakar sepetrti sabut kelapa atau pun kayu yang bisa mengeluarkan asap mengepul, maka harus cari dulu di mana saja yang ada.

Malam ini kami mengaji. Tidak ada libur. Satu jam baca sendiri-sendiri, lalu maju ke depan untuk disima' ayah. Lalu sebagian adik-adik aku yang menyimak bacaan mereka. Lalu lekas tidur. Aku telah perpisahan dengan kawan SD. Libur panjang. Menunggu kelulusan. Tapi tidak libur menggembala. Lembu-lembuku mesti makan, musim apa pun itu!