webnovel

Aku dan Dia

Perkenalkan, namaku Abie. Yup, Abie adalah nama kecilku atau yang lebih tepatnya, nama "Abie" adalah panggilan kesayangan papa untukku. Aku lahir di Makasar dari keluarga besar Abimanaf. Anak pertama yang disayang papa dan mama yang sekarang sudah menjadi dokter syaraf sesuai keinginanku sendiri.

Tidak tahu mengapa, sedari kecil aku ingin sekali menjadi seorang dokter. Saking inginnya menjadi seorang dokter, sampai mengimajinasikan diri bahwa jiwaku memang dilahirkan untuk menjadi seorang dokter. Aku adalah dokter lulusan National University Of Singapore dari jurusan Bachelor Of Medicine And Bachelor Of Surgery (MBBS) dengan predikat cumlaude.

Tidak puas disitu saja, aku masih mengejar impianku menjadi dokter yang handal dan bisa menolong banyak orang. Oleh karenanya, dengan tekad yang kuat aku meneruskan kuliah ke jenjang lebih tinggi. Akhirnya dengan niat yang kuat, aku mengambil S2 dan S3 ditempat yang sama dengan jurusan Doctor of medicine in integrated biology and medicine by research.

Berbicara tentang cita-citaku dari kecil, ada latar belakang kedua yang memantapkan diriku setelah lulus SMA harus kuliah kedokteran. Ini berawal dari sakitnya adikku, yang bernama Reza. Dia dari kecil tidak pernah lepas dari obat, dia yang jika senyum membuat emosiku mendadak turun dan melemah, dia yang membuatku malu jika masih saja marah, dan dia yang setiap memanggil namaku dengan sebutan "babang", maka dengan pasti langsung menoleh mencari sosok sumber suara dan tak ada alasan untuk tidak datang menghampirinya.

Neuritis optic and multiple sclerosis adalah penyakit yang menyerang adikku selain paru-paru basah dan darah rendah. Walaupun begitu, dia adalah orang yang kuat, mandiri, dan murah senyum. Senyum adalah hal yang paling aku sukai darinya. Senyumannya adalah obat bagiku dan juga mama. Semenjak papa meninggal saat aku duduk di SMP, aku memiliki kewajiban untuk melindungi dan menjaga mama serta adikku. Adikku yang rapuh ini bukanlah anak yang manja dan bukan pula anak yang tipe merintih, jika sedang merasakan kesakitan disekujur badannya. Padahal, aku sangat paham seberapa sakitnya dia ketika penyakitnya kambuh menyerang bagian mata dan tulang belakangnya. Tak seperti kebanyakan orang yang meronta kesakitan dan mengeluh menyalahkan keadaan, adikku menahan dengan senyuman sambil berkata "Alhamdulillah."

***

Pernah suatu hari, dia merasa bosan dengan kegiatan yang itu-itu saja. Dimaklumkan, dia peserta Home Schooling, yang menurutku itu adalah program sekolah yang paling membosankan. No friends, no more talking, and no more interactions. Melihat itu semua aku berjanji, jika dia dalam keadaan stabil aku ingin mengajaknya kesuatu tempat yang membuat matanya tak berhenti memandang serta membuat hidungnya tak berhenti menghirup aroma udara yang segar, Seolah-olah dia hidup tanpa masalah dan tanpa penyakit.

"Dek, babang janji bakalan ngajakin kamu kesuatu tempat yang gak akan kamu lupain." ucapanku kini penuh senyuman.

"Tempat kayak apa bang? Disana eza bisa ngelakuin apa yang eza mau?" katanya dengan penuh semangat.

Aku pun tersenyum melihat mata yang terbuka lebar dengan ekspresi wajah yang sangat bahagia.

"Pokoknya kamu bakalan suka tempat itu dan babang janji, kamu boleh ngelakuin apa aja sesuka hati kamu."

"Janji ya! Awas loh kalo babang bohong!" tegasnya sambil mengerucutkan bibir kecilnya menunggu keyakinan dariku.

"Iya dek, babang janji! suwer deh gak bakalan bohong. Tapi kamu juga harus janji sama babang untuk sehat terus, gak patah semangat." Dia tersenyum seraya memberikan tanda bahwa dia setuju.

Ah, lagi-lagi senyumannya membuatku tak bisa berkata-kata. Senyuman yang tulus, tertanam rasa sayang dan keikhlasannya untukku dan mama. Senyuman yang membuatku tenang bahwa setidaknya dia tak merasakan sakit dalam beberapa saat.

Berhari-hari dia melawati waktu dengan penuh semangat sambil melihat almanak yang setiap tanggalnya di centang biru menggunakan spidol permanen, agar liburan panjang yang ia nantikan tidak terlewatkan. Seperti rutinitas biasa, dia meminum obat yang diresepkan dokter dengan skala tiga kali sehari setiap botolnya, makan yang sudah terjadwal, dan melakukan kegiatan yang sudah diatur.

Di sudut kamar yang temboknya tertempel almanak itu, aku melihat seorang anak yang berusia 9 tahun tersenyum duduk di meja belajar yang sedang memainkan spidol berwarna birunya. Menatap tanggal yang hanya tinggal beberapa hari lagi menjadi hari yang sangat istimewa untuknya. Rindu rasanya saat aku melihat adikku tersayang sedang asik dengan khayalannya, lalu dengan sigap ku kejutkan ia sambil mengangkat badannya dan dia berlari mengejarku dengan gumaman kesalnya. Namun apa daya masa-masa itu tak akan ada lagi, kini adikku sudah tidak bisa berlari mengejarku disebabkan kondisinya yang sedang lemah. Di sini aku tak pernah memaksakan diri, melihat dia tersenyum saja aku sudah sangat bahagia.

Hari yang ditunggunya pun tiba, mama yang sedari pagi sibuk bin repot menyiapkan keperluan kami, sudah mulai menaikan suaranya ketika menyuruhku bangun tidur. Kalian jangan bertanya apakah adikku sudah bangun atau belum, karena jawabannya adalah dia bangun lebih awal dari pada aku sendiri.

"Abiiiee, ya Alloh bangun dong sayang, bantu mama masukin koper ke mobil!" Teriakan mama yang sebenarnya sudah mulai panik takut ketinggalan pesawat.

"Iya ma, abie udah bangun kok. Bentar ya! abie mandi dulu." Aku menjawab tanpa bertele-tele karena jika itu aku lakukan maka sudah pasti urusannya akan menjadi panjang. Maklum saja jika orang tua sudah dalam keadaan repot seperti ini, pasti ada saja bahan untuk marah-marah.

"Oke deh tapi jangan lama-lama ya, ini udah siang dan bisa-bisa kita ketinggalan pesawat" tegasnya.

"iya ma!" aku menjawab singkat dengan diringi langkah kaki menuju kamar mandi.

Dalam keadaan seperti ini aku harus mandi dengan sergap dan cepat seperti mandi kucing, karena tak ingin merusak hari yang dinanti-nanti oleh adikku karena dia sudah memenuhi janjinya agar tetap sehat dan tak ada kendala dalam pengobatannya.

Terbang kami menuju suatu tempat yang mata adikku tak berkedip memandangi pesona indah alam dihadapannya. Hijau dedaunan yang terhampar bebas membuat dia enggan berpaling dari titik pandang tersebut, udara yang segar membuat tubuhnya seperti kembali tegap tanpa rintihan. Kembali dia tersenyum sambil menutup mata dan menikmati angin yang berlarian memutar di rongga mulut dan hidungnya. Angin yang membelai mesra tubuhnya, yang masuk lewat sela-sela pakaian yang dikenakannya.

Hari itu aku melihat betapa berharganya satu senyumannya disini. Sambil memandang dia yang tersenyum tiada henti, terbersit aku ingin mengatakan sesuatu.

Kau tahu hati tak pernah bergurau,

Kau tahu hati tak pernah beradu.

Seperti angin, matapun tahu wangi garis rindu,

Seperti janji, bibirpun mengucap syukur haru.

Ingin ku mengetuk khayalanmu,

Merasuki angan dengan perlahan-lahan.

Mencoba mengerti arti keindahan,

Menepi diri menjagamu.

---•0•---

Heri Sugianto