webnovel

Chapter 4 – On a Date

Andaru’s POV

Ternyata memaksanya bukan hal yang mudah, dan aku juga bukan Mario yang pandai membujuk dan merayu wanita, yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana aku tidak kehilangan mobil kesayanganku. Aku harus memutar otak agar bisa bersamanya lebih intens. Aku menarik selimut dan mulai memejamkan mataku. Aku akan bertemu dengannya dua malam lagi, yang mana malam itu adalah malam ke-7. Ini seperti melakukan taruhan yang tidak mungkin aku menangkan, aku berusaha menenangkan pikirku, apa perlu aku menyerah saja, pikiranku melayang kemana-mana.

Jumat malam aku putuskan untuk menjemput sendiri Senja dari rumahnya. Mencari rumah di antara perkampungan padat bukan hal mudah, terlebih jika kamu harus memarkirkan mobilmu jauh dari rumah yang kamu tuju. Dari kejauhan seorang wanita sudah melambaikan tangan, sembari membungkuk rendah. Aku berlari kecil menuju dirinya, walau wajahnya tertutup gelap malam, aku tahu dia Senja.

“Malam Pak, maaf sekali hingga harus berjalan kemari, apa tidak lebih baik jika kita langsung ke mobil Bapak?” tawarnya

“Tidak, aku mau bertemu orang tuamu.”

“Tapi rumah saya berantakan, dan kecil, saya takut jika Bapak tidak nyaman”

“Senja, apa bisa kamu diam, dan tunjukkan saya jalan menuju rumahmu?” aku memegang pundaknya dan meminta dirinya untuk tidak menghalangi jalanku.

“Maaf Pak, baik…” kami berjalan melewati jalan sempit “Yang itu, yang warna kuning muda Pak”

“Ok, kita mampir sebentar ya” aku tersenyum padanya, dan aku bisa melihat matanya berbinar di tengah gelap malam.

Kaki ku langkahkan ke dalam rumah berukuran 3 x 7 meter, jauh dari kesan mewah, bahkan rumah Bayu pun tidak sekecil ini ingatku.

“Dimas, bisa bawa papa kemari, atasan Kakak sedang bertamu.” Senja berbisik pelan kepada laki-laki remaja bertubuh kecil yang sedang duduk di kursi depan. Lalu anak laki-laki itu menunduk, memberiku senyum hormat padaku.

“Siapa?” tanyaku.

“Adik saya Pak, kami berbeda tujuh tahun.”

Tidak lama aku melihat Dimas mendorong seorang laki-laki setengah baya, yang duduk di dalam kursi roda. Melihat mimik wajahnya yang tidak sempurna, sudah cukup menjelaskan bahwa laki-laki tersebut terkena stroke.

“Ini papa saya Pak, beliau terkena stroke ketika saya masih kuliah di akhir semester dua.” Senja menjelaskan keadaan papanya.

“Halo Pak, apa kabar, saya Andaru, atasan Senja, saya ingin meminjam anak Bapak setiap akhir minggu, semoga Bapak tidak keberatan.” Aku berjongkok menghadap Papa Senja, berharap apa yang aku lakukan bisa mengambil hati Senja. Aku melirik Senja sesaat, dan seperti yang aku bayangkan, dia tersenyum begitu hangat, begitupun papanya yang berada dihadapanku.

“Selamat malam Nak Andaru, saya Tika ibu Senja, hayuk minum dulu, mau minum apa, biar Senja yang buatkan…” Seorang wanita dengan sedikit kerut pada wajah dan matanya, membantuku berdiri. “Jangan berjongkok begitu, nanti celananya kotor.” Sambungnya.

“Tidak perlu bu, saya tidak ingin merepotkan, saya dan Senja berencana untuk makan malam, kami tidak ingin terlalu banyak minum sekarang, bukan begitu Senja?” jawabku, dan Senja hanya mengganguk kearah Ibu tirinya.

Setelah obrolan ku dengan keluarga Senja, kami akhirnya menuju tempat makan yang sudah aku pilih sebelumnya. Malam ketujuh yang mana berarti waktu ku tinggal 3 minggu lagi, dan Senjapun masih sama, masih seseorang yang begitu pendiam, dan hanya menjawab pertanyaanku seperlunya, Ahhhhh!, aku sepertinya harus sudah bersiap untuk kalah.

Hari ke-tiga belas tidak ada perubahan yang berarti, semua benar-benar terasa membosankan. Setiap obrolan kami dia hanya menjawab seperlunya, ditambahi ucapan terima kasih dan anggukan yang begitu banyak, sedangkan waktu berjalan begitu cepat, rasanya aku ingin menyerah saja. Aku merasa sudah melakukan semua, tapi sepertinya aku berjalan di tempat.

Hari ke empat belas, aku putuskan untuk mengajaknya ke pantai, sabtu setelah makan siang, aku arahkan mobilku ke salah satu private beach berjarak 4 jam dari Jakarta. Jam 5 sore kami sampai di tempat yang kami tuju. Wajahnya tersenyum lepas, sembari menghirup dalam udara pantai. Aku mengambil alas untuk kami bisa duduk di tepi pantai sembari menunggu senja datang. Sepertinya suasana pantai membuat Senja lebih santai, kami bercerita lebih dalam malam ini, hingga gelap menghampiri. Aku menyalakan lampu camping yang memang sudah aku taruh lama di mobil, suasana semakin hangat dengan cahaya remang.

Senja terus menerus bercerita tentang Dimas adiknya yang akan segera lulus SMU, dia amat sangat bersemangat bercerita tentang kampus-kampus pilihan dirinya dan adiknya. Entah kenapa melihat wajahnya di tengah remang cahaya dan hembusan angin pantai malam membuat ku terhipnotis, yang aku lihat hanya wajah manis nya yang di terpa angin, dibelai oleh rambut ikalnya yang gelap.

Aku mulai tidak mendengarkan apa yang dia katakan hanya gerakan bibirnya yang tidak berhenti bergerak dan matanya yang berbinar terang dalam gelap, mirip seperi bintang yang terbentang menjadi layar wajahnya. Aku mendekatinya membawa rambutnya ke belakang, dan menarik wajahnya pelan dan mulai menempelkan bibirku dengan bibirnya. Untuk sesaat kami terdiam, dan aku mulai mencecapi bibirnya pelan. Dia sama sekali tidak bergerak, hanya diam membatu tidakpun menolak. Aku hampir membawa bibirku menjejaki lehernya yang jenjang, ada wangi white musk yang aku sangat suka disana. Akan tetapi aku menahan diriku. Aku menjauhi wajah ku darinya, melihatnya yang masih terdiam membisu.

“Maaf” bisikku pelan, dan kulihat matanya yang sedari tadi tidak berkedip. Dia tertunduk malu, dan berbalik membelakangiku menghadap pantai.

“Mau pulang sekarang?” tawarku.

Dia mengganguk pelan, tengkuk jenjangnya lagi-lagi tertuduk malu. Aku mengulurkan tanganku untuk membantu nya berdiri, Senja memegang tanpa berani menatapku. Sepanjang jalan pulang kami hanya terdiam. Memasuki Jakarta, aku kembali menggenggam tangannya, membawa punggung tanganya untuk ku kecup pelan. Kami masih tidak bertatap mata, sepertinya aku sudah membuat sedikit kemajuan batinku.