webnovel

Chapter 1 - Alarm Management

"Kenzie ayo keluar, langitnya sangat indah. Merah…" Ibu itu menatap takzim ke arah langit.

Aku berjalan menghampirnya. Langitnya indah, dengan warna merah, oranye keemasan.

"Sedikit lagi mataharinya tenggelam, Ken…." Ungkap dia yang terus memandangi langit. Sebenarnya matahari tersebut masih utuh dan belum akan tenggelam. Mungkin sekitar lima belas menit lagi.

Seorang bapak datang menghampiri aku dan ibu tersebut, "Wah pada mau lihat senja ya?"

Ibu itu mengangguk pelan.

"Ma, Keizar ada di sekolah ya?" Tanya Bapak itu.

"Iya, Pa. Katanya main bola bareng teman."

Handphone berbunyi, "Ya, Halo?"

Bapak itu diam sejenak, lalu wajahnya memucat, "Kamu segera menjauh dari sini. Aku tidak mau kamu dalam bahaya. Dan segera hubungi polisi! Tapi kamu jangan menggunakan handphonemu. Pinjam handphone orang lain agar kamu tidak dilacak. Aku merasa ada orang mereka di kepolisian. Jadi kita harus hati-hati." Bapak itu menutup handphonenya.

Ibu itu menatap cemas, "Pa, ada apa?"

"Yang aku khawatirkan benar terjadi, Ma. Kita harus bersiap untuk segala kemungkinan." Papa terlihat cemas, menatapku sejenak, lalu masuk ke rumah dengan tergesa-gesa. Aku tidak terlalu mengerti.

Ibu itu meraih tanganku, dan menarikku masuk ke dalam rumah. Wajahnya, yang sebelumnya semangat untuk melihat senja menjadi tidak peduli. Padahal matahari belum tenggelam. Itu momen yang tidak akan pernah dilewatkan oleh para pecinta keindahan senja.

"Kamu tunggu di kamar ya, Ken. Jangan keluar dulu." Kata Ibu itu lalu meninggalkanku dengan pintu tertutup.

Aku menatap ke arah jendela yang memperlihatkan keindahan langit senja. Tapi itu tidak berlangsung lama, aku teralihkan oleh suara pertengkaran mereka berdua. Aku mencoba membuka pintu sedikit, agar dapat mendengar mereka.

"Pokoknya aku tidak mau!" Tegas Ibu itu.

"Tidak! Kamu dengar aku saat ini! Kamu pergi sekarang bersama Kenzie! Aku akan baik-baik saja di sini." Ucap Bapak itu.

"Baik-baik saja katamu!? Jika memang baik-baik saja kenapa kamu tidak biarkan aku tetap tinggal?" Tanya Ibu itu.

Suara hening, dia diam, menarik napas, "Ma… Tolong dengar aku kali ini. Ini permohonan terakhirku padamu. Aku hanya ingin meminimalisir resiko yang akan terjadi." Dia memegang bahu Ibu itu.

"Pa…."

"Ku mohon ya, kali ini saja. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan menjemput kalian jika urusan di sini sudah selesai." Sambil mencium kening.

Aku melihat Ibu itu mengangguk kecil. Tidak berkata apapun tapi seolah menuruti permintaannya.

"Waktu ku tidak banyak. Cepat pergi lewat belakang. Aku akan memancing perhatian mereka dari depan." Papa melangkah ke depan. Mengintip dari jendela.

Ibu itu datang menuju kamar. Aku beranjak menuju tempat tidur. Dia membuka pintu, lalu terhenti di bingkai pintu, wajahnya sedikit terkejut. Sepertinya dia sadar kalau aku membuka pintu dan mendengar percakapan mereka.

Dia mendekatiku, dia duduk di sampingku. Mengambil handphonenya, mengetik sesuatu. Wajahnya tampak sedih sekaligus tegang. Dia mengetik cukup lama. Entah dia mengirim pesan ke siapa. Aku tidak melihatnya. Lambat laun, saat sedang mengetik. Ibu itu meneteskan air mata. Hanya sebentar, dia segera menghapus air matanya.

Ibu itu mengubah posisi duduknya menghadap di depanku.

"Kenzie…" Dia menggenggam wajahku dengan kedua tangannya, "You listen to mummy, please."

Aku hanya mengangguk tanpa tahu apa yang sedang terjadi.

"Kenzie…. kamu lari sejauh mungkin. Apapun yang terjadi, kamu harus tetap lari. Jangan pernah menoleh ke belakang."

"Uuhh.." Jawabku sambil mengangguk. Entah kenapa aku merasakan permintaan ini adalah permintaan yang aku harus turuti tanpa banyak tanya.

Suara dan getaran handphone membuatku terbangun dari mimpi yang selama ini ada dalam tidur malamku. Masih dalam keadaan setengah sadar, aku mengambil handphone tersebut, mematikan alarmnya. Aku masih bisa tidur 30 menit lagi, alarm pertama menunjukkan waktu 5.30 pagi.

Aku kembali menutup mata, dan suara handphone kembali berbunyi. Sial, nggak mungkin ini alarm kedua. Baru saja aku memejamkan.

Aku kembali melihat jam di hp, ternyata sudah pukul 6.00 pagi. Entah kenapa, 30 menit serasa 5 detik. Aku harus bangun dan bersiap ke sekolah.

Aku mengatur alarm sebanyak tiga. Pukul 5.30 untuk alarm pertama, pukul 6.00 untuk alarm kedua dan alarm yang terakhir yang dapat membuatku serangan jantung karena volumenya, pukul 6.15. Biasanya jika sedang lelah, aku tidak mudah terbangun oleh dua alarm pertama, maka dari itu aku memasang alarm berlapis-lapis. Itu juga berfungsi, jika aku terbangun dan masih ingin bermalas-malasan, aku tidak perlu repot untuk mengatur alarm kembali.

***

Setelah mandi dan berpakaian, aku selalu duduk sambil berpikir "Apa hari ini ada tugas atau ada sesuatu yang penting?". Seketika aku teringat hal yang penting. Hari ini ada penyampaian visi dan misi untuk calon ketua OSIS, seketika itu juga aku langsung mengambil buku catatan dan menulis secara garis besar visi dan misiku. Walau tidak beraturan aku bisa memanipulasinya dengan kemampuanku berbicara di depan umum. Entah kenapa, aku kalau ngomong di depan banyak orang, lumayan bagus. Dan ada saja ide yang entah dari mana asalnya terlintas di kepalaku, atau mungkin ide tersebut langsung keluar di mulut tanpa terlintas di pikiranku. Sebenarnya aku tidak berniat untuk menjadi ketua OSIS, tapi teman-teman sekelas memaksaku dengan tujuan untuk mengalahkan kelas anak-anak pintar dan sombong itu. Karena alasan tersebut aku sampai mencalonkan menjadi ketua OSIS, toh calon ketua mereka adalah seorang wanita yang sering peringkat 1 umum selama 2 semester berturut-turut.

"Ken, angkatan kita nggak boleh sampai dipimpin oleh seorang wanita, malu dong. Dan Cuma kamu Ken yang mampu menjadi saingannya, kamu kan peringkat 1 di kelas kita." Kata teman sekelasku yang memaksaku untuk mencalonkan.

Selama 2 semester aku memang peringkat 1 di kelas, tapi kelas kami hanyalah kelas biasa. Bukan kelas spesial seperti kelasnya Rahel. Dia pun selama 2 semester itu mendapatkan peringkat 1 umum, yang artinya nilai rata-ratanya paling tinggi di antara angkatan kami. Aku tidak begitu peduli dengan peringkat, bahkan tidak pernah berusaha untuk mendapatkannya. Setiap akan melaksanakan ujian saja, aku tidak pernah belajar. Memang saat materi pembelajaran di kelas, aku selalu memperhatikan guru yang mengajar, mencoba memahami dan memecahkan soal-soal yang diberikan. Tapi aku tidak begitu tertarik dengan belajar sendiri di rumah atau mengulang materi yang ada, kadang saat ujian ada momen dimana aku lupa akan rumus-rumus atau istilah yang muncul pada soal. Biasanya kemampuan lainku akan aktif. Mencontek. Yah mencontek buku sendiri untuk melihat rumus dan istilah yang aku lupa. Bukan mencontek kertas ujian teman di samping.

"Kayaknya segini aja cukup deh untuk catatan kecilnya."

Visi dan misi sudah selesai dalam 5 menit. Aku menertawakan diri sendiri dalam membuat ini dengan begitu cepat. Sebenarnya dalam menyampaikan sesuatu entah itu pidato, orasi ataupun sejenisnya, yang terpenting adalah inti dari tujuan kita, cara kita menyampaikan juga sangat penting, dibandingkan dengan catatan yang detail dan rapi tapi tidak disajikan dengan menarik. Inti dari pidato penyampaian visi dan misi ini kan, bagaimana agar orang yang mendengarkan setuju dan sependapat dengan ide kita, berusaha mempengaruhi mereka. Tatapan mata juga merupakan aspek penting, haruslah penuh keyakinan dengan melihat orang-orang yang mendengarkan. Bagaimana mau meyakinkan orang lain jika kita sendiri tidak yakin, ya kan?

Aku meraih handphoneku yang berbunyi, ada pesan yang masuk.

"Ken, lu nggak lupakan? Ini hari pertarungan kita." Whatsapp dari Arvin.

"Iya tenang saja, gue baru menyelesaikan catatan visi dan misi. "Aku tersenyum menyeringai dengan balasanku sendiri.

"Dari kapan lu buatnya?"

"Baru 5 menit yang lalu, itupun hampir lupa buatnya." Aku sedikit tertawa.

"hahaha, lu kebiasaan menganggap remeh sesuatu, Ken. Awas aja pidatonya jelek."

"Iya tenang saja kawan, ini namanya the power of kepepet."

"Oke deh, lu jangan lambat ke sekolah, nanti belum bertarung, image lu udah jelek. Kan selama ini lu sengaja lambat supaya nggak ikut apel pagi."

"Iya tahu, kalian sih maksa untuk mencalonkan gue. Oke gue bersiap dulu." Aku langsung menyimpan handphoneku dan bersiap untuk pergi.

Terdengar suara ketukan pintu, "Ken, sarapan dulu. Mama sudah siapin."

"Nanti aja di sekolah ma, aku buru-buru." Sahutku.

"Mama udah bela-belain buat sarapan, kamu malah nggak mau."

Aku langsung membuka pintu melihat mama berdiri di depan dengan wajah penuh harap.

"Iya ma, aku sarapan…" Aku terpaksa mengiyakan. Kalau melihat wajah Mama seperti itu, aku tidak sampai hati untuk menolak.

***

"Ma, aku pamit ya" Aku pamit dan lekas pergi.

Jam sudah menunjukkan pukul 6.30, tidak lebih tidak kurang. Sekolahku pun akan mulai tepat pukul tujuh, tidak lebih dan tidak kurang. Sedangkan jarak antara rumahku dengan sekolah sekitar 30 menit, itupun jika tanpa hambatan. Sial aku akan lambat.

Aku dengan cepat mengendarai motor melewati gang belakang rumah, karena jalan ini lebih cepat dibandingkan jalan raya. Aku melaju dengan kecepatan yang cukup menegangkan untuk sebagian orang. Sepuluh menit lagi bakal sampai nih, semoga keburu.

Dari kejauhan aku melihat ada wanita dengan seragam yang sama dengan aku sedang berjalan kaki, kayaknya dia juga lambat, apa lagi dengan jalan kaki.

"Bareng yuk?" Aku menawarkan tumpangan sebelum melihat wajahnya. "Eh Rahel?" Aku terkejut, ternyata itu adalah Rahel.

"Eh Kenzie. Gak apa gue jalan aja, udah dekat kok." Tolak Rahel. Mungkin karena kita nggak akrab atau mungkin karena dia adalah ....

"Ayolah, kita kan sudah lambat, ayo naik." Aku sedikit memaksa, nggak mungkin membiarkan dia berjalan kaki sedangkan aku melewatinya begitu saja kan.

"Iya deh, thanks ya."

Dalam perjalanan aku membuka percakapan,

"Lu kayaknya sudah siap sekali ya Rahel."

"Tidak juga sih, tapi untuk visi dan misi sudah lama fix." Jawabnya dengan santai dan terdengar sedikit angkuh. Mungkin, atau hanya perasaanku saja.

"Keren dah, sudah siap semua. Perlengkapan senjata dan amunisi sudah siap, sisa tunggu waktu menembakkannya." Aku sedikit memuji kesiapannya, dia selalu berperang dengan senjata lengkap

"Lebay deh, di ibaratkan seperti itu. Kalau lu gimana, Ken?" Tanyanya balik.

"Yah lu tahu sendiri, gue bukan tipe orang yang menyiapkan rencana terperinci, tapi lebih suka berimprovisasi."

"Tapi kita mencalonkan sebagai ketua dalam organisasi, jadi harus terencana dong segala sesuatunya."

"Bukannya gue masa bodo. Kelihatannya saja seperti itu, tapi gaya kerjaku lebih dekat dengan lonjakan energi yang acak daripada pendekatan metodis dan terorganisasi." Aku mematikan motor dan kami telah sampai.

"Iya setiap orang memang berbeda sih, by the way thanks yah sudah antar, tapi gue tetap agresif loh bentar. Gue nggak akan mengalah sedikitpun. Bersiaplah…" Rahel menyeringai.

Aku memberikan tawa kecil, "Iya tenang saja, gue antar kamu bukan karena maksud dan tujuan lain." Aku tersenyum simpul.

"Ayo, Ken. Apel sudah mulai tuh."

Aku berlari dengan Rahel sembari melihat jam telah menunjukkan pukul 7.07, kayaknya aku mengendarai motor dengan lambat karena asik ngobrol.

***

"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera untuk kita semua. Hari ini adalah hari pertama kita sekolah di minggu ini setelah kalian libur kemarin, bapak harap energi kalian untuk belajar sudah terisi kembali dan selalu semangat untuk menerima pelajaran dari guru-guru. Tetap disiplin, karena orang disiplin akan selalu dipakai dalam dunia kerja. Kita semua tahu negara-negara maju mengutamakan kedisiplinan, kita ambil contoh di jepang sana, bahkan kedisiplinan diajarkan sejak dari dini seperti budaya antri, tepat waktu, salam dan lain sebagainya. Walaupun nilai kalian bagus dalam pelajaran, tapi tidak disiplin itu percuma. Disiplin itu ibarat pengali, setinggi apapun nilai pelajaran jika dikalikan dengan 0, hasilnya tetap 0. Jadi ingat pesan bapak."

Aku dan Rahel baris di bagian orang-orang lambat, Arvin melihatku dari tempat dia berbaris. Walau jauh aku dapat melihat wajah dia seperti jengkel karena keterlambatanku, tapi juga terlihat sedikit heran. Mungkin heran karena melihat Rahel berbaris di sampingku.

"Sebentar ada pidato dan debat calon Ketua OSIS, Bapak harap kalian memilih orang yang benar, orang yang disiplin. Intinya calon ketua OSIS adalah panutan siswa-siwa lain."

"Yang dibarisan lambat, maju kedepan sini." Suara Pak Raka terdengar marah. Kami melangkah maju menuju tempat yang biasanya di sediakan untuk orang-orang lambat. Sekedar untuk bisa di ceramahi atau untuk mempertontonkan kami. Tapi bagiku ini hal biasa. Dan tidak membuatku merasa malu. Yang lambatkan cukup banyak.

"Astaga ternyata Kenzie calon Ketua OSIS kita lambat, seperti ini yang bapak maksud. Bagaimana mau jadi pemimpin? Kalau tidak bisa beri panutan kepada yang lain." Pak Raka hanya menegurku. Sepertinya dia belum melihat Rahel.

"Maaf pak saya juga lambat, motor Papaku tiba-tiba rusak." Rahel dengan sigap mengangkat tangannya.

"Oh… kamu juga lambat Rahel. Bapak puji keberanian kamu mengakui kalau kamu lambat, padahal bisa saja bapak tidak melihatnya." Pak Raka terlihat senang.

"Jadi anak-anak, dalam kedisplinan itu penting. Tapi selalu ada faktor X yang membuat kita tidak disiplin seperti lambat kesekolah karena hal tidak terduga, kalau hal seperti itu bapak bisa maafkan. Kalian bisa mencontoh Rahel, dia mengakui kesalahan dan minta maaf. Itu contoh pemimpin yang berjiwa besar." Pak Raka memuji Rahel hanya karena Rahel mengangkat tangan? Padahal kami sama-sama terlambat. Aku menyeringai, terpikirkan ide untuk membalas Pak Raka.

"Maaf Pak, boleh saya pinjam MIC?" Aku mengangkat tangan

"Saya ingin memuji Rahel tentang kedisiplinannya sekaligus meminta maaf kesemua atas keterlambatanku."

"Baiklah" Pak Raka mengizinkan. Aku melangkah menuju ke tempat Pak Raka, mengambil MIC.

"Terima kasih buat kesempatan yang diberikan Pak Raka, pertama-tama saya meminta maaf atas keterlambatan saya dalam mengikuti apel pagi, saya minta maaf tidak bisa jadi contoh yang baik sebagai calon pemimpin."

Pak Raka terlihat senang, dia mungkin berpikir aku akan mundur dari pencalonan Ketua OSIS.

Aku menarik napas dan memberikan setengah senyum.

"Saya sedikit ingin menyinggung soal kedisiplinan. Disiplin itu sendiri merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya yang merupakan tanggung jawabnya. Kita ketahui bersama bahwa dalam pemilihan Ketua OSIS telah diatur semua, kapan waktu pidatonya, kapan waktu kampanye dan lain sebagainya. Saya pecaya bahwa Pak Raka lebih mengerti tentang kedisiplinan itu sendiri, tapi terkadang tanpa disadari kita lupa dalam mengaplikasikannya. Baru berapa menit yang lalu Pak Raka membahas tentang kedisplinan itu sendiri tetapi melanggarnya saat itu juga." Semua yang mengikuti apel pagi penasaran apa yang aku maksud. Wajah menegangkan terlukis pada semua siswa tidak terkecuali Pak Raka juga.

Aku melirik ke langit-langit sejenak. Kemudian menatap kembali wajah teman-temanku

"Kita ketahui bersama bahwa guru-guru haruslah netral dalam pemilihan ini, tapi Pak Raka dengan jelas mempertontonkan kesalahan Bapak sendiri dengan mendukung salah satu calon. Entah sadar ataupun tidak, Bapak menjatuhkan saya yang sedang mencalonkan Ketua OSIS karena tidak disiplin tapi tanpa disadari bahwa calon yang satunya ternyata juga dalam kotak yang sama dengan saya. Dan saat itu juga Bapak memuji dia walaupun terlambat. Kita sudah mengetahuinya sama-sama. Disiplin sejatinya tidak memakai alasan, namanya lambat yah lambat. Jadi kami berdua sebagai calon ketua OSIS meminta maaf karena bukan pemimpin yang sempurna dalam hal kedisiplinan." Ucapku dengan sedikit memiringkan badan, menghadap ke arah Pak Raka.

Aku kembali menghadap ke depan semua orang, seolah-olah ini sudah merupakan panggung untuk pidato. "Sebenarnya bagi saya yang lebih penting dari kedisiplinan itu sendiri adalah rasa empati. Ingat, apakah kita semua memiliki masalah yang sama? Apakah kita memiliki kemampuan yang sama? Kita semua berbeda, tidak ada yang sama persis. Ada yang ekonomi lemah, atau ada yang lagi dalam masalah. Apakah kedisiplinan itu bisa di sama ratakan?"

Aku melirik ke Pak Raka, wajahnya memerah.

"Setiap orang yang lambat memiliki alasan yang berbeda bahkan kita tidak tau mana alasan yang real dan mana alasan palsu. Tapi apakah adil menghukum orang yang lambat dengan alasan seperti Rahel? Aku rasa tidak! Bukankah kedisiplinan itu patuh terhadap nilai-nilai yang kita percayai? jika demikian, kenapa kita membuat aturan yang malah mengkotakkan seseorang sebagai orang tidak disiplin? Kita bisa saja menghapus aturan tersebut, sehingga tidak ada pelanggaran dan tidak ada orang yang dikatakan tidak disipin hanya karena telat 5 menit untuk mengikuti apel pagi. Kenapa tidak membuat aturan yang lebih adil dan memiliki rasa empati yang tinggi tanpa harus mematikan kreativitas yang dimiliki setiap orang." Aku diam sejenak dan menarik napas. Wajah beberapa temanku berbinar-binar, khususnya para teman sekelasku. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu apa yang sedang aku katakan. Asal ngomong saja…

"Jadi sekali lagi saya katakan, jangan menganggap remeh orang yang tidak disiplin secara kasat mata. Mereka memiliki masalah yang mungkin berat. Kita lebih baik memiliki rasa empati yang tinggi dari pada rasa disiplin yang tinggi. Mari kita sama-sama dukung sekolah kita dengan aturan yang kita sepakati bersama, bukan aturan yang disepakati oleh para elit saja." Pak Raka tiba-tiba merebut MIC yang aku pegang.

"Maaf ya pak…." Sindirku, lalu tersenyum. Aku melangkah balik ke barisan.

"Maaf Rahel, gue curi start duluan. Gue tahu kok maksud dari permintaan maafmu tadi. Mengangkat tangan dan mencoba mencuri pusat perhatian dengan image positif." Aku tertawa menyindir.

"Gue nggak maksud apa-apa." Sahutnya dengan kesal. Ia menggigiti bibir bawahnya. Dia pasti kesal karena salah satu bidak pendukungnya sudah aku hilangkan.

Beberapa guru sempat keluar melihat pidato singkat saya yang berani menyerang secara langsung pak raka yang bermain curang.

Next chapter