webnovel

IMBAS

Waktu istirahat segera padat oleh murid yang berduyun-duyun pergi ke kantin. Beberapa di antara mereka menyebarkan gosip yang telah ramai dibahas, memberitahu rumor yang kini beredar di kalangan murid sekolah. Mendengar hal itu, minat makan Dasha sedikit menurun. Gadis kucir satu itu menatap jenuh nasi goreng di wadah bekal makanannya. Ia sudah meminimalkan agar tidak terlalu mendengarkan rumor yang beredar. Tetapi, telinga Dasha tajam menangkap rumor-rumor tersebut. Dan tentu saja sulit ia elak untuk tidak mendengarnya.

Hidung Dasha berkerut sebal, setelah mengaduk pelan bekalnya, ia dengan malas-malasan menyendok nasi goreng dengan porsi besar. Memakannya setengah hati, dan menelannya dengan perasaan campur aduk. Dalam hati, Dasha merasa beruntung ia datang pagi, jadi ia tidak terseret pada rumor yang beredar. Setidaknya tidak terlibat lebih baik daripada ikut terlibat dan dibawa dalam desas-desus menjengkelkan itu.

Dasha mengibur perasaannya yang masih jemu. Ia makan dengan lahap, mempertahankan nafsu makannya yang besar agar tidak menurun. Bibir kecil gadis itu menguyah cepat seperti takut makannya akan dicuri. Alhasil Dasha menghabiskan bekalnya lebih cepat dari biasanya, ia puas telah menghabiskan dengan baik. Nafsu makannya harus terjaga di tengah suasana hati yang kadang tidak menentu.

Mengambil susu kotak yang ia bawa dari rumah. Dasha meminumnya dengan rakus, sekotak susu telah habis. Ia mengambil kotak lain dan meminumnya tenang.

Wajah bulat Dasha menoleh ke jendela, sembari menyedot susu kotak ia mendengarkan gosip yang baru-baru ini ramai dibincangkan. Bermacam versi ketika gosip itu beredar, Dasha hanya mendengarkan beberapa versi. Dan menurutnya itu jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Ia mendecak pelan ketika mendengarkan versi konyol atas rumor itu. Menggelikan.

Dasha menyimak dengan baik, ia melakukan ini karena dia tidak bisa mengabaikan suara-suara itu, jika mengabaikannya begitu sulit, Dasha akan mencoba menerima dan pura-pura mendengarkan. Perutnya terisi penuh, Dasha merasa puas, di sisi lain ia merasa jenuh dengan keadaan sekolah karena kedatangan Rey. Ketika Dasha sibuk meminum dan mendengarkan dengan baik, Dasha dikejutkan oleh suara berisik di lorong yang semakin keras.

Perlahan, Dasha mengintip kecil dari jendela sebelah. Dua matanya sontak melebar melihat siapa penyebab dibalik ini semua. Rey di lorong berjalan santai seolah tidak terganggu dengan perhatian, di sepanjang kakinya melangkah itu membentuk kerumunan kecil di lorong. Wajah Dasha makin kecut, huh tentu saja Rey tengah mencari perhatian di sekolah. Dasha tebak, dalam beberapa hari pasti Rey akan menjadi populer dan mendapatkan banyak topik.

Dasha semakin dirundung awan gelap, semakin ia melihat ini. Semakin jelas ingatan dulu semasa SMP. Tidak jauh berbeda dengan semasa SMP dulu, di sini Rey juga mendapatkan perhatian, kemudian selang beberapa hari kepopulerannya akan meningkat tajam.

Dasha menurunkan bahu lesu, ia menyandarkan punggung di kursi dan menatap Sirla yang duduk di belakangnya, fokus menonton siaran di ponsel. Dasha mengalihkan mata ke arah luar sekilas, kemudian menatap Sirla tak bersemangat.

"Lo nggak mau ngikutin juga?" pertanyaan tiba-tiba itu menusuk Dasha, ia menggantikan ekspresi lesu menjadi suram kepada Sirla yang masih serius tanpa menatapnya.

Dasha meremas kotak susu kosong dan menunduk dalam. "Nggak, kurang kerjaan banget ngikutin orang kaya dia."

Sirla melirik Dasha dan tersenyum remeh. "Lo termasuk yang kurang kerjaan nggak?"

Dasha mendelik ganas. "Nggak," sergah Dasha berbalik ke depan dan menutup wajahnya yang sedikit memerah.

Dasha menghirup napas dalam-dalam, dengan cekatan menutup bekal dan segera beranjak bangun. Ia akan pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan wajah yang rasanya semakin panas.

Lorong lebih sepi daripada yang Dasha perkiraan. Sepertinya keramaian barusan terhenti entah di tempat mana. Tetapi tebakan Dasha itu berada di kantin dekat taman belakang. Sesampainya di kamar mandi, Dasha menatap kaca dan segera membilas wajah dengan air. Rasa segar langsung terasa, otaknya lebih ringan dan perasaannya sedikit tenang.

Samar-samar ia memikirkan tentang Rey dan kejadian pagi tadi. Ingatan samar itu memunculkan merah samar di telinganya. Dasha menghela napas panjang, lupakan. Rey dari dulu memang aneh! Harusnya ia tidak ambil pusing dengan tindakan abnormal itu.

Setelah menyemangati diri sendiri, Dasha menata tatanan jepit rambut sejenak. Ia keluar dengan perasaan jauh lebih lega. Sepanjang perjalanan, Dasha memasang telinganya baik-baik. Sepertinya bisik itu semakin tajam, semakin Dasha melangkah menuju kelas, Dasha dikejutkan oleh sesuatu yang tidak ia duga sebelumnya. Alis gadis itu bertaut, langkahnya semakin lambat ketika Dasha semakin dekat dengan ruang kelasnya. Ruang kelasnya sangat ramai.

Perasaan Dasha makin tidak enak, ia mengigit bibir bawahnya khawatir. Ini pasti gara-gara senior abnormal itu. Dasha mengerang, apakah kali ini ia akan mendapatkan imbas dari kepopuleran Rey. Tetapi Dasha tidak mau, terlebih jika disangkut pautkan oleh laki-laki itu.

Seseorang keluar, matanya yang bulat melebar melihat siapa di balik penyebab ramai kelasnya. Itu Rey!

Sosoknya keluar dengan wajah tidak mengenakkan. Dasha tidak tahu apa penyebabnya, ia buru-buru merapatkan diri di kelas lain dan sebisa mungkin tidak mencolok atau menarik perhatian Rey sampai pemuda itu lewat dan pergi jauh dari kelasnya.

Sikap Rey belakangan ini aneh. Pemuda itu dulunya memberi ultimatum agar dia tidak terlalu dekat dengannya dan bersikap akrab pada dirinya. Dan apa yang terjadi sekarang membingungkan Dasha.

Rey masih penuh ketidakpedulian, ketika pemuda itu bersamanya. Dasha tidak bisa mengelak kelembutan yang laki-laki itu lakukan padanya. Hati Dasha seperti diremas kencang. Semakin ia berspekulasi, Dasha merasa itu benar. Ia ingin membuang kemungkinan itu agar perasaan yang ia buang tumbuh kembali.

Kelopak mata Dasha mengendor, ia tidak bersemangat memasuki kelas. Mengintip ke kiri, Rey sudah menghilang di tikungan. Ia berjalan lelah, Dasha ingin mengistirahatkan diri sesampai kelas. Tidak ingin berpikir yang tidak-tidak, itu sulit terlebih ia sudah was-was ketika masuk ke ruang kelas. Dasha kembali dikagetkan, ia melihat tatapan aneh teman-temannya.

Menoleh ke arah Sirla, gerak matanya jatuh menatap mejanya sendiri. Tangan Dasha mengepal geram, dengan cepat berjalan dan merampas benda di atas meja dan memasukan di laci.

Ia sudah menebak, siapa pelaku yang melakukan ini. Telinga Dasha memerah, entah ini perilaku dendam atau rencana busuk lainnya. Ini sebuah penghinaan bagi Dasha! Telinganya memerah menahan malu dan marah.

Apa yang terjadi ini membuat Dasha seperti direbus, wajahnya panas menanggung malu. Ia cepat berbalik, menatap Sirla menuntut penjelasan.

"Itu, itu dari siapa?" Dengan gugup Dasha menunjuk sebungkus roti tawar dan kotak susu di laci.

Melihat Sirla yang terdiam membeku, Dasha mengigit bibir bawah dan kembali bertanya. "Dari siapa ih. Itu dari Renji kan?"

Sirla tersadar dan menggeleng pelan. "Itu dari Rey."

Tebakan Dasha tidak meleset lagi! Itu benar-benar senior gilanya! Wajah Dasha muram, ia melirik pemberian itu dengan wajah jengkel.

"Dia dapet titipan dari orang?"

Gelengan Sirla membuat Dasha semakin putus asa. "Dari Rey sendiri. Katanya ucapan terima kasih atas makanannya kemarin. Lo udah ketemu sama dia kemarin?"

Bahu Dasha merosot lesu, mengangguk pelan seolah ia semangatnya telah di tarik. "Bukan kemarin. Cuma emang gue pernah kasih dia makanan, itu juga di suruh bunda."

"Kan gue suruh lo buat jauh-jauh dulu."

"Gue juga udah usaha tau. Tapi dia aja yang nyari kesempatan buat ketemu sama gue." Dasha tidak yakin, tetapi spekulasi itu tidak salah jika dipikir-pikir. Rey juga akhir-akhir ini aneh dan abnormal.

Ia ingat ketika bertemu di festival, laki-laki itu pasti sengaja mengambil kesempatan agar bisa bertemu dengannya. Walaupun kemungkinan itu terlalu percaya diri. Jika disambungkan dengan kejadian lain, Dasha semakin yakin dengan pemikirannya itu.

Sirla mengetuk-ngetuk pulpen di meja. "Lo yakin dia yang nyari kesempatan sama lo?"

Dasha mengangguk cepat. "Gue nggak bisa buktiin. Cuma, akhir-akhir ini dia aneh banget."

"Aneh gimana?"

"Masa tadi pagi dia minta barengan berangkat sekolahnya. Gue jelas nggak bisa nolak, mana tadi bunda juga denger dan setuju gitu aja. Terus-terus pas festival kemarin dia juga tiba-tiba jadi sok akrab."

Sirla mendengarkan seksama, mengangguk paham dengan cerita barusan. "Lo masih bisa jauhi dia, Sha?"

Anggukan Dasha membuat Sirla mengembuskan napas tenang.

"Gue bisa, cuma kalo dia yang gerak. Gue, gue nggak bisa ngusir gitu aja."

"Gue bantu, pokoknya lo jauhi dulu. Dia tuh brengsek, jangan deket-deket. Apalagi kalo sampe kejadian dulu ke ulang."

Dasha mengangguk patuh, ia jelas tidak mau kejadian lama itu kembali terulang. Membayangkannya membuat Dasha dilanda malu dan kesal. Ingatan memalukan itu masih melekat di kepalanya. Ia memutuskan berbalik dan menyembunyikan wajah di lipatan tangan. Mengapa seniornya tiba-tiba bertingkah menjadi aneh sudah membuat kepala Dasha berdenyut pusing.

Ia ingin menghapus Rey, tetapi sosok yang ingin ia hapus terus mendorong masuk padanya. Dasha mengerucutkan bibir, melipatnya ketika teringat momen lama menjengkelkan dan suram.

Dasha mengerang pelan. Ia masih kesal dan memutuskan membuka ponsel untuk menenangkan keresahan hatinya. Teman-temannya masih menatap Dasha penasaran. Dasha tidak memiliki banyak teman, dan jarang bersosialisasi dengan baik. Jadi teman kelasnya memandang Dasha penasaran tanpa banyak tanya.

Dasha menilik pesan dari Renji. Gadis itu dengan cepat menekan room chat dan membaca pesan yang pemuda itu kirim padanya.

Renji : Lo deket sama Rey?

Dongkol, Dasha mengetikkan balasan cepat.

Dasha : Enggak lah, emang kenapa?

Renji : Lo lagi rame dibicarain tuh.

Dasha menoleh sekitar, walaupun sudah sedikit reda, beberapa tatapan temannya masih menuntut penjelasan padanya. Dasha semakin malu, ia menundukkan kepala lebih dalam, mengentikan balasan tidak bersemangat.

Dasha : Pokoknya gue nggak kenal deket sama Rey!

Bibir Dasha berkerut kesal, menyimpan ponsel di laci dan berharap hari berjalan lebih cepat. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa nantinya.

Rey memiliki daya tarik besar. Dasha awalnya jengkel dengan kenyataan itu, ia semakin jengkel saat ia harus terseret dengan pemuda itu. Perasaan dongkol terasa mengeras di dasar hati Dasha.