1 Chapter 1 : Takdir?

Anggaplah aku di dunia Sengoku Basara sebagai putri semata wayang dari seorang seniman pedang yang digemari para samurai karena kualitas hasil karyanya. Aku tidak lebih dari seorang perempuan biasa yang selalu membantu pekerjaan ayahku membuat sebilah pedang tergantung dari permintaan pelanggan. Di dunia ini, ibuku sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena sakit.

Untuk kebutuhan sehari-hari, kami tidak merasa kekurangan. Ayahku adalah seniman pedang yang sukses kala itu sehingga semuanya tercukupi dengan baik. Akupun senang bisa membantu pekerjaan rumah dan juga pekerjaan ayahku. Tidak heran aku mendapatkan ilmu dalam seni membuat sebuah pedang.

Hingga suatu hari, Ayah berbicara kepadaku untuk segera mendapatkan seorang calon suami yang nantinya menjadi pasanganku sekaligus penerus usaha beliau. Aku pun bilang kepadanya untuk tidak perlu terburu-buru melihat usiaku masih 20 tahun, aku masih perlu belajar banyak hal.

Mungkin lebih tepatnya aku masih ingin menikmati kehidupan lajangku satu-dua tahun lagi. Lagipula aku belum bisa melupakan perasaanku yang kulihat waktu itu.

Kilas balik. Ketika wilayah Oushuu—tempat tinggalku—jatuh ke dalam kekuasaan klan Date, aku melihat iring-iringan prajurit berkuda memasuki alun-alun kota. Aku yang sedang mengantarkan pesanan pedang ke pelanggan terhenti sejenak. Pandangan dan perasaanku tertuju pada seorang pria dengan bekas luka di pipi kirinya. Pria itu memandang lurus, sorot matanya tegas tapi juga tenang. Dia berada tepat di belakang seorang pemimpin yang menunggangi kuda hitam bak sedang mengendarai Harley Davidson.

Pemimpin itu memakai topi dengan hiasan bulan sabit kuning keemasan, mata kanannya memakai penutup mata hitam. Yang lebih hebatnya, pemimpin itu memiliki enam buah katana dengan masing-masing tiga buah di panggul kanan-kirinya. Orang ini gila, pikirku.

Normalnya nih ya, seorang samurai selalu membawa dua buah pedang di panggulnya. Katana dan Wakizashi. Kedua pedang itu selalu bersama dan memiliki fungsi yang berbeda. Meski tidak semuanya membawa dua buah pedang, terkadang ada juga yang hanya membawa katana saja. Pandanganku kembali tertuju pada pria bercodet yang berada di belakang pemimpin tersebut.

"Dia keren sekali," gumamku. Sosoknya begitu loyal dan melindungi punggung tuannya itu. Aku pun tersenyum kecil, mungkin saja pipiku sedikit memerah hanya karena melihatnya sesaat. Akupun segera melanjutkan perjalananku.

Kesempatanku hampir mustahil untuk dapat melihatnya kembali. Apalagi bisa bertemu tatap muka, itu hanya cerita dongeng. Jauh di lubuk hatiku yang kecil, aku menyimpan perasaan jatuh cinta pada pandangan pertama untuk pria bercodet itu.

Beberapa hari berikutnya, aku mengetahui bahwa pemimpin tersebut adalah Date Masamune dan orang kepercayaannya yang disebut sebagai Mata Kanan Naga, bernama Katakura Kojurou. Aku mengetahuinya dari perbincangan ayahku dengan salah satu pelanggannya.

"Ah, begitu rupanya. Namanya Katakura-sama." Gumamku. Mengetahui namanya pun aku sudah senang. Meski wilayah Oushuu dipimpin oleh Date Masamune, warga sipil tidak merasa ditindas oleh mereka. Malah, mereka menjaga dan menstabilkan tanah Oushuu termasuk perbatasan wilayahnya.

.

Hingga suatu hari.

Matahari sudah terbenam, ini waktunya menutup toko ayahku dan membereskan beberapa peralatan. Ketika aku hendak menutup pintu depan, sesosok bayangan orang mendekat ke arahku. Aku refleks menengok untuk melihat siapakah orang itu.

Tepat di hadapanku berdiri seorang pria dengan bekas luka di pipi kirinya. Kedua mata kami saling bertemu.

"Ka-Katamura-sama…?" mulutku refleks mengucapkannya.

Orang yang bernama Katakura Kojurou berdiri tepat di hadapanku. Dia beberapa kali mengedipkan kelopak matanya.

Rasanya jantungku ingin berhenti saat ini juga. Apakah ini mimpi? Apa yang harus kukatakan padanya? Dia Katakura Kojurou yang asli!

"Mohon maaf atas ketidaksopanan saya menghampiri toko ini di saat Anda akan menutupnya. Apakah Anda putri dari Toriyumi-dono, seniman pedang disini?"

"Be-benar, Katakura-sama." Jawabku singkat.

"Sepertinya saya tidak perlu memperkenalkan diri lagi ya. Untuk mempersingkat waktu saya ingin menyampaikan pesan untuk Toriyumi-dono dari Date Masamune-sama, Jendral Oushuu." Kata Katakura menyerahkan sebuah surat dengan sebuah cap resmi.

Akupun menerima surat tersebut. Tanganku sedikit bergetar saat meraihnya.

"Surat tersebut adalah undangan perjamuan langsung dari Date Masamune-sama, kami mengharap kehadiran Toriyumi-dono. Saya mendengar bahwa ayah Anda adalah seniman pedang yang terkenal. Oleh karena itu, Masamune-sama sangat tertarik ingin melihat hasil karya-karya Toriyumi-dono." Jelasnya dengan bahasa formal dan sopan.

Sekarang jantungku berdegup sangat kencang, bagaimana bisa aku menyembunyikan wajahku yang mulai memerah. Tubuhku menjadi sulit dikendalikan saking kakunya. Astaga, sadarlah diriku! Ini bukan dirimu yang tidak pernah menjumpai seorang pria.

"Ba-baik, Katamura-sama. Saya akan menyampaikannya kepada ayahanda," aku membungkukkan badanku dengan cepat tanda ucapan terimakasih. Sekaligus menyembunyikan ekspresi wajahku yang kegirangan tidak jelas.

Katakura membalasnya, "Terimakasih banyak. Kalau begitu saya undur diri!" Diapun membalikkan badannya dan berjalan meninggalkanku.

Aku mengangkat kepalaku memandang punggung lebarnya yang menjauh. Seragam kulit dengan lambang bulan sabit tergambar di punggungnya. Satu hal yang kusadari, Katakura menaruh kedua pedangnya di bagian kanan panggulnya.

"Samurai dengan tangan kidal ya?" kataku dalam hati.

Sesuai dugaanku. Sosok yang gagah, penampilan rapi berwibawa, lalu kharismanya benar-benar membutakanku. Di samping loyalitasnya melayani tuannya, apakah dia bisa menaruh hati pada seorang perempuan?

Akupun bergegas menutup pintu depan toko dan masuk ke dalam. Menceritakan kembali kedatangan Katakura dan surat undangan yang disampaikan olehnya kepada ayahku.

avataravatar
Next chapter