1 PROLOG

Mata cantik itu terbuka perlahan, mengerjab beberapa kali sebelum retinanya mulai fokus pada satu hal didepannya. Sebuah kelambu cantik dengan motif bunga yang menaunginya. Ia mengernyitkan dahi dengan bingung, sebelum menoleh kearah samping. Dimana pemandangan sebuah kamar luas terpampang dimata indahnya, begitu elegan dan indah. Berpikir sedang berada dimanakah dirinya sekarang?

Mendudukkan diri, ia menatap tubuhnya yang kini berbalut dengan gaun sutra tipis berwarna putih. Ketika menunduk, ia bisa merasakan halusnya surai panjang berwarna hitam pekat menempel pada kedua pipinya. Mengusap kepala, jemari lentiknya kini menyisir helaian surai hitam yang sepanjang pinggul. Itu bukan tubuhnya, melainkan tubuh orang lain. Namun, ia masih bingung bagaimana bisa bentuk tubuhnya berubah begitu berbeda.

Masih bingung dengan keadaan dirinya, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka perlahan. Menampilkan sosok perempuan dengan perawakan mungil yang terbeliak ketika melihatnya dan terburu untuk berjalan mendekat dengan tergesa-gesa.

"Nona muda, anda sudah bangun?"

Dahinya mengernyit saat mendengar panggilan yang ditujukan padanya. Ia segera menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya serta dahi berkerut, "Nona muda? Aku?" tanyanya dengan nada ragu.

Wajah perempuan didepannya agak bingung mendengar penuturannya, namun detik berikutnya tersenyum tipis. Mungkin karena baru saja sadar, nona mudanya ini masih kebingungan, "Ah...pelayan ini akan memanggil tuan besar. Nona muda, diharapkan tidak pergi kemanapun."

Mendengar nada perintah itu, tanpa sadar dirinya mengangguk. Kembali memperhatikan setiap sudut kamar yang terlihat klasik dengan gaya kuno. Hampir semua hal yang ia lihat berbahan kayu. Membuatnya mengingat beberapa drama kolosal dimana setiap setting tempat dan baju seperti yang ia lihat dan ia kenakan saat ini. Meski begitu tetap saja ia merasa nyaman dengan keadaan ini.

"Sebenarnya, apa yang terjadi?" gumamnya pelan. Ia mengingat dengan jelas, jika dirinya terakhir kali berada di atap rumah sakit. Berniat membunuh dirinya sendiri karena pria yang dicintainya lebih memilih orang lain—rasa sakit dikhianati membuatnya memiliki pikiran pendek.

Pria itu Kwon Seungho, kekasihnya yang ia cintai selama bertahun-tahun ternyata lebih memilih adik tirinya, Yuri. Keduanya menjalin hubungan dibelakangnya yang sedang berjuang melawan penyakit yang dideritanya.

Karena itu, ia lebih memilih mengakhiri hidupnya yang begitu menyakitkan dan berharap bisa tidur dengan tenang tanpa merasakan kesakitan lagi. Namun sepertinya Tuhan menginginkan hal lain darinya dengan memberinya sebuah kehidupan baru—atau mimpi. Karena saat ia mencoba untuk mencubit pipi dan beberapa bagian tubuh lain, rasa sakit itu begitu nyata untuknya.

Suara tapak kaki terdengar jelas, dan kali ini sepertinya ada beberapa orang sekaligus. Mata bulatnya mengerjab bingung saat melihat sepasang suami isteri dengan gaya pakaian khas yang terlihat aneh baginya—merangsek masuk kedalam kamar, berjalan mendekatinya dengan sosok perempuan yang tadi memasuki kamar, yang juga mengaku seorang pelayan kini berdiri dibelakang mereka.

"Kau sudah sadar?"

Ia mengangguk pelan dengan ragu, menatap dua orang didepannya dengan curiga, "Kalian siapa?" tanyanya dengan kedua alis bertaut, "Bisa kalian beritahu aku, dimana ini?"

Sosok wanita cantik mendudukkan dirinya disamping ranjang, dimana dirinya berada. Membawa kedua tangannya yang kurus untuk digenggam, lalu memberinya seulas senyum tipis, "Aku, Kim Jiyeon. Dan ini suamiku, Hangeng Kim."

Ia mengangguk perlahan, menatap wanita didepannya yang terlihat cantik dan juga anggun. Karena masih begitu banyak pertanyaan yang ingin ia sampaikan, "Lalu, dimana aku?"

"Kau ada dirumah kami. Kami menemukanmu tak sadarkan diri diujung danau desa tempat kami tinggal." ujar Jiyeon lembut, menatap wajah cantik gadis yang ditemukan suaminya beberapa bulan lalu, "Sejak kami menemukanmu, kau sudah tidak sadarkan diri."

"Berapa lama aku tidak sadarkan diri?" tanyanya dengan suara serak. Karena ia yakin waktu ia tak sadarkan diri cukup lama.

Wanita itu melirik suaminya dan terlihat menghela nafasnya dalam, "Hampir satu tahun lebih."

Kedua matanya membulat. Satu tahun tidak sadarkan diri? Bukankah itu berarti dirinya koma. Bagaimana dirinya bisa terdampar ditempat aneh ini, ia masih bingung. Jika dipikirkan secara logis, semua yang terjadi padanya ini seperti mimpi disiang hari. Namun, ia telah mencubit lengannya sendiri dan merasakan sakit yang nyata. Tidak mungkin ini hanya bunga tidur, "Lalu dimana ini?"

"Sebelum itu, bisakah kami tahu..siapa namamu?" tanya nyonya Kim sekali lagi, berharap gadis didepannya ini mengingat identitasnya sendiri.

Ia menatap sosok pria yang berdiri disamping isterinya. Menatapnya dengan pandangan lembut serta tegas. Lalu menarik nafas panjang setelah kembali menatap wanita didepannya, "Taehee.. Namaku, Kim Taehee."

Kim Jiyeon mengangguk puas, karena sejak lama ia ingin tahu nama gadis cantik ini. Berbulan-bulan ia merawat gadis ini berharap ia terbangun dan keinginannya terkabul, "Kau ada dikerjaan Silla dan ini adalah ibukota kerajaan. Suamiku adalah salah satu pejabat istana."

Taehee menahan nafas, menatap tak percaya wanita didepannya. Karena yang ia tahu keajaan Silla ada beribu tahun yang lalu, "Tahun berapa ini, jika aku boleh tahu nyonya?"

"Ini tahun 660. Apa kau tidak mengingat hal lain tentang dirimu, Taehee shi?" tanya tuan Kim, menatap gadis cantik didepannya dengan helaan nafas panjang. Berharap gadis itu akan mengingat sedikit saja tentang dirinya sendiri, "Kau bisa tinggal dikediaman kami jika ingin. Kami tidak akan memaksamu."

Taehee yang masih tergugu akhirnya tersadar. Ia menatap suami isteri didepannya dan mengangguk perlahan, "Aku tidak memiliki tempat lain, jika diperbolehkan aku ingin tinggal sementara dirumah kalian."

Karena memang dirinya tidak mungkin bisa kembali kedunianya lagi—atau ia bisa mencoba dimasa depan. Namun tidak untuk sekarang ini, karena itu pilihan satu-satunya adalah meminta bantuan dari suami isteri didepannya ini.

Jiyoen tersenyum lebar, karena itu memang yang ia inginkan selama ini, "Tentu saja, kami sangat senang jika kau mau tinggal bersama kami."

***

"Jeonha, apa anda yakin akan menolak saran ibu Suri untuk mengambil seorang selir lagi?" tanya kasim Han, melirik sekilas junjungannya yang sibuk dan tak bergerak ditempatnya, "Anda memerlukan seorang penerus, Yang Mulia."

Mata tajam pria itu melirik sekilas kasim yang selama ini selalu menjaga dan merawatnya, "Apa ini perasaanku, atau semakin hari kau semakin cerewet kasim Han?"

Kasim Han hanya bisa berdehem pelan, karena nyatanya memang ia semakin cerewet, "Aku hanya meneruskan pesan ibu Suri pada anda, Yang Mulia. Beliau menginginkan seorang cucu segera."

Jung Ilwoo menghentikan gerakan tangannya yang mencoret beberapa perkamen didepannya. Menatap lekat kasim Han yang berdehem pelan, "Apa menurutmu membuat seorang anak itu mudah, huh. Kau pikir selama ini aku tidak berusaha begitu, apa kau lupa setiap malam aku selalu menghampiri para selir itu!"

"Joesonghamnida, JEONHA!"

Pria itu mendengus pelan, mengabaikan kasim Han yang bersujud didepannya, "Kalian bahkan telah memberiku beberapa selir dan aku sudah mengunjungi mereka seperti keinginan kalian. Apa kalian pernah melihat salah satunya bisa membawa calon putraku?"

"Jeonha!!"

Yang Mulia Jung masih mengabaikan kasim pribadinya yang bersujud, karena ia sudah terlalu kesal, "Aku akan keluar istana, lebih baik kau siapkan semuanya kasim Han!"

"Jeonha, bahkan pekerjaan anda masih belum selesai setengahnya!" pekik kasim han lemah, menatap takut pria muda didepannya. Bagaimana bisa pria ini meninggalkan pekerjaananya yang masih menumpuk, apalagi beberapa pejabat juga membutuhkan kehadirannya, "Tunggulah untuk beberapa saat lagi, Jeonha!"

"Lakukan perintahku, sekarang juga. Aku akan mencari wanita diluar sana yang bisa mengabulkan permintaan kalian semua!" desis Yang Mulia Jung dengan nada sinis, "Apa kau puas sekarang?"

Kasim Han hanya bisa menarik nafas panjang, dengan hati yang mengutuk bagaimana junjungannya itu begitu kejam karena selalu saja melakukan semua hal yang disukainya tanpa memandang statusnya sebagai seorang Raja dari kerajaan Silla, "Ini sangat menyebalkan." gumamnya lirih.

"Apa kau mengatakan sesuatu, kasim Han?" desis Yang Mulia Jung lirih namun terkesan tajam dan mendominasi.

"Aniyo, opsemnida Jeonha!" seru pria tua itu dengan cepat. Ia segera undur diri untuk mempersiapkan semua hal. Karena tidak ingin lagi mendengar omelan dari pria tampan itu, "Saya akan segera kembali, Jeonha."

"Tidak kembali juga tidak masalah. Aku akan lebih tenang tidak melihatmu disekitarku." sahut Yang Mulia Jung dengan seringai dibibirnya, mengejek pria tua yang selama ini selalu disampingnya itu, "Enyah sekarang juga dari hadapanku!"

"Jeonha, anda sangat kejam…!"

To be continued..

avataravatar
Next chapter