4 Keputusan Tepat

Rara akhirnya memutuskan untuk mendatangi rumah sakit. Harap-harap cemas bahwa ginjalnya cocok karena sebelum dilakukan operasi haruslah melalui serangkaian tes untuk membuktikan bahwa ada kecocokan ginjal antara pendonor dan penerima donor. Rara sudah berdiri didepan pintu rumah sakit. Dadanya bergejolak, telapak tangannya mulai berkeringat namun perasaan yang dirasakannya adalah senang.

Akhirnya Rara bisa memutuskan untuk mendonorkan ginjalnya setelah melihat pandangan Pria-yang-hampir-membuatnya-terjungkal yang ditemuinya malam itu di pinggir sungai Banjir Kanal Barat. Seperti Pria itu memberikan keberanian secara tidak langsung kepada Rara. Memang mereka tak banyak berbicara namun Rara sempat menanyakan bagaimana jika Pria itu berada di posisi Rara. Satu hal yang paling menarik perhatian Rara adalah Rara sangatlah tertegun melihat senyum di bibir pria itu yang menandakan rasa keputusasaan, ketidakberdayaan, dan kesedihan. Tapi Rara bukanlah siapa-siapa bagi Pria-yang-hampir-membuatnya-terjungkal untuk bisa memberikan kekuatan apalagi mereka baru saja bertemu untuk pertama kalinya.

Rara menarik napas dalam-dalam dan siap melangkah ke dalam rumah sakit, menghalau segala pikiran negatif dan hanya berpikir yang positif saja. Ini akan berhasil. Pikir Rara.

Ketika Rara didepan meja administrasi, Rara segera menanyakan tentang kakek yang menerima donor itu.

"Maaf, saya ingin bertanya. Apakah benar ada seorang kakek yang membutuhkan donor ginjal?" Tanya Rara sambil mengatur degup jantungnya.

"Apa maksud anda pasien bernama Hendrawan Samudra?" kata suster yang melayani Rara.

Oke. Rara sama sekali tidak mengetahui siapa nama kakek tersebut. Rara melupakan fakta bahwa mungkin saja terdapat lebih dari 1 orang kakek yang akan menerima donor ginjal. Namun Rara yakin inilah kakek yang dimaksud.

"Ya, anda benar. Saya datang untuk melakukan donor ginjal kepada pasien. Apakah saya masih bisa melakukannya?" Suara Rara terdengar penuh tanda berharap.

"Baik, saya akan menghubungi dokter yang menangani pasien. Silahkan anda menunggu di ruang tunggu" Jawab suster itu seraya mempersilahkan Rara untuk menunggu di ruang tunggu.

Saat-saat menunggu adalah hal yang paling menyebalkan apalagi jika menunggu sesuatu yang membutuhkan kepastian seperti ini. Rara tak berhenti menggigit kuku jarinya, sebagai tanda bahwa Ia sedang risau dan khawatir.

"Apa anda adalah orang yang bersedia memberikan donor ginjal kepada pasien Hendrawan Samudra?" Suara lembut seorang dokter muda menyadarkan Rara. Rara terlonjak kaget dan segera berdiri namun gerakannya yang terlalu cepat itu membuat badannya tak seimbang. Buru-buru dokter muda itu menahan tangan Rara agar tak terjatuh. Seketika Rara merasakan deja vu seperti di malam dia bertemu pria itu. Rara pun segera membenarkan posisi berdirinya. Batinnya memaki Rara yang bersikap ceroboh. Sungguh memalukan. Umpat Rara dalam hati.

"Ya, perkenalkan saya Kazura dan saya datang untuk memberikan ginjal saya" Rara menjulurkan tangan sambil memperkenalkan diri. Dokter itu menyambut uluran tangan tanda perkenalan itu.

"Saya adalah dokter yang menangani pasien Hendrawan Samudra, Dokter Alexander Bima. Biasa dipanggil Dokter Alex. Bisa kita bicara di ruangan saya?" jawab Dokter Alex sambil menunjukkan jalan menuju ruangannya.

"Silahkan duduk, ambil tempat senyaman mungkin sehingga pembicaraan kita bisa terkoneksi satu sama lain" kata Dokter Alex sambil tersenyum ramah. Rara juga ikut tersenyum, namun lebih seperti senyum yang dipaksakan.

"Sebenarnya saya sudah mendengar kabar ini dari beberapa hari yang lalu. Namun saya baru memiliki keberanian sehingga saya baru datang hari ini. Saya berharap keputusan saya datang hari ini tidak berdampak parah pada pasien, karena saya dengar bahwa pasien haruslah segera melakukan transplantasi. Saya juga sudah mencari tau tentang ini, bahwa sebelum dilakukan pembedahan, pendonor haruslah melalui serangkaian tes kesehatan. Saya juga sudah mempersiapkan hal itu dengan matang. Saya pikir saya siap dengan segala resikonya" Rara mencoba menjelaskan kedatangannya ke rumah sakit ini namun Bibir Rara bergetar ketika menyebutkan kalimat terakhir. Rara sungguh tak ingin menyesali keputusannya, dan siap dengan segala resikonya.

"Lalu, apa yang sebenarnya membuat kamu berpikir untuk melakukan ini? Saya yakin kamu pasti juga mendengar bahwa siapa saja yang mau mendonorkan ginjal akan mendapatkan bayaran yang setimpal. Apa mungkin karena itu?" Dokter Alex menatap Rara lekat-lekat dengan kedua bola mata coklatnya. Sejenak Rara berpikir Dokter Alex masih sangatlah muda. Mungkin umurnya akhir tiga puluhan. Namun bukan itu yang penting sekarang.

Melihat Rara yang diam saja, Dokter Alex pun segera mengatakan bahwa Rara tidak perlu menjawabnya jika memang tak ingin.

"Saya tak menyangkal untuk hal itu dokter. Saya memang sedang membutuhkan uang saat ini, namun bukan itu lah satu-satunya alasan saya mau melakukannya. Saya juga tak mengerti, saya hanya ingin melakukannya, memberikan ginjal saya. Saya bahkan tak mengenal kakek itu. Saya hanya merasa, mungkin ini adalah salah satu yang bisa saya lakukan. Saya pernah gagal menyelamatkan seseorang. Dan saya tak ingin itu terjadi lagi" Rara hanya berbicara fakta. Fakta bahwa dia tak bisa menyelamatkan kedua orangtuanya membuatnya sanggup untuk melakukan ini pada orang lain. Memberikan harapan hidup kepada mereka. Rara yakin orang tuanya akan memberikan dukungan pada keputusan yang Rara buat ini.

"Memang benar, pendonor haruslah melalui serangkaian tes terlebih dahulu yang akan dilakukan oleh tim medis. Tes tersebut berupa tes kecocokan dengan penerima ginjal, kondisi kesehatan pendonor ginjal serta pemeriksaan kesehatan sebelum melakukan donor ginjal. Jika hasil pemeriksaan menyatakan bahwa ginjal pendonor sehat dan cocok dengan penerima donor ginjal, serta kondisi kesehatan pendonor baik secara keseluruhan, operasi transplantasi ginjal pun dapat dilakukan. Begitulah prosedur yang harus dilalui. Saya akan membuat jadwal pemeriksaannya. Saya akan menghubungi kamu untuk datang tepat pada waktunya." Dokter Alex menerangkan dengan perlahan agar Rara bisa mengerti.

"Ya, saya mengerti. Saya akan meninggalkan nomor ponsel saya disini." Rara meraih kertas dan pena yang ada di dalam tas nya dan segera menuliskan nomornya.

"Baik, terima kasih. Saya akan menghubungi kamu."

****

Seluruh tubuh Rara serasa lemas setelah pulang dari rumah sakit. Rara langsung menjatuhkan tubuhnya diatas kasur yang tidak bisa dibilang empuk namun terasa sangat nyaman. Beginilah kehidupan Rara, tidak lagi tidur dikasur yang empuk, tidak lagi makan makanan mahal, tidak lagi memakai barang-barang mewah dan hidup sangat sederhana. Kadangkala Ia berpikir apakah Ia harus mengambil lagi semua yang sudah dirampas darinya. Terlebih lagi perusahaan ayahnya. Rara bahkan tak punya sedikit pun saham di perusahaan itu. Lalu bagaimana caranya Rara bisa mengambilnya kembali. Air mata Rara bergulir begitu saja, kehidupan ini sudah sulit dan terasa lebih sulit tanpa kehadiran orang tuanya.

Rara selalu saja ingin menyerah, Ia berharap ada seorang pangeran yang datang menjemputnya dari semua mimpi buruk ini. Bahkan karena terlalu sibuk memikirkan keuangannya Rara sampai tidak sempat untuk memikirkan pernikahan. Tidak. Bukan karena Rara yang tak memikirkan pernikahan, namun karena dirinya tak lagi ingin merasakan jatuh cinta. Hatinya masihlah hancur karena perbuatan seseorang di masa lalu. Dan dengan begitu Rara menutup hati rapat-rapat.

Namun tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran Rara tentang pria yang ia temui malam itu. Kesan pertama yang diberikan pria itu sangat mengesankan. Rara saat itu berpikir, dengan segala yang pria itu punya. Pasti banyak wanita yang tertarik dengannya.

Percakapan Rara dan pria itu pun kembali berputar dipikirannya.

"Bolehkah aku tau apa pandanganmu?" seketika suara Rara seperti tikus terjepit. Dia tak tau mengapa suaranya tiba-tiba seperti itu. "Pandangan ku terhadap apa?" jawab pria itu seraya memalingkan muka ke arah Rara. Seketika mata Rara dan pria itu bertemu, Rara bisa melihat mata pria itu dengan sangat jelas. Bola mata coklat terang bahkan di kegelapan malam pun terlihat sangat menawan, bulu mata lentik dan alis tebal yang hampir menyatu. Mata yang memancarkan kesedihan dan ketakutan namun dengan sempurnanya sang pemilik mata menutupi semua itu. Semakin membuat jantung Rara berdegup kencang, saking kencangnya Rara sampai takut pria yang sedang menatapnya mendengar degup jantung Rara.

"Kenapa kau hanya memandangi ku saja? kau tidak akan menjawab ku?" Rara pun menjadi salah tingkah. Ia merasakan wajah dan telinganya panas, kalau saja ini siang hari pasti Rara sudah terlihat seperti tomat rebus. "Ah maksudku, aku ingin tau jika kau berada diposisi ku apa yang akan kau lakukan"

Rara mulai menceritakan seperti apa kondisinya dan melihat pria itu dengan seksama mendengarkannya. Setelah bercerita panjang lebar pria itu pun memberikan jawabannya. Jawabannya sangat sesuai dengan yang Rara harapkan. Dan dari jawabannya itulah akhirnya Rara memutuskan untuk melakukan donor ginjal itu. Sungguh itu adalah keputusan yang tepat.

Memikirkan hal itu membuat hatinya terasa tenang. Jika saja bisa bertemu dengan pria itu lagi, Rara ingin mengucapkan terima kasih pada dirinya. Dan tanpa sadar dirinya pun tertidur begitu saja.

avataravatar
Next chapter