webnovel

Selaras Rasa (The Same Love)

Viona Laila Indrayan adalah pewaris paviliun utama dan museum yang didirikan oleh keluarga Indrayan. Tentunya tidak sebanding dengan perusahaan besar yang akan diterima oleh para paman dan bibinya. Meski begitu paman dan bibinya tetap mencari cara untuk merebut paviliun dan museum karena keduanya merupakan icon dari keluarga Indrayan. Hidup Viona berjalan dengan lancar dengan kekayaan dan pandangan iri dari kerabatnya, hingga ia bertemu dengan kekasih pertamanya di usia 27 tahun, seorang pengacara junior yang tampan dan hebat. Viona sangat menyukai kekasihnya hingga semua perhatian ia curahkan kepadanya. Namun secara perlahan, kebenaran tentang kehidupan Viona mulai muncul satu demi satu termasuk kebenaran tentang pria yang sangat ia cintai. Apa sebenarnya yang terjadi di dalam kehidupan Viona? Dan bagaimana rahasia yang terungkap dapat merubah kehidupan Viona? . Ikuti terus kisah Viona dan pria yang sangat ia cintai! Jangan lupa voting dan tunggu update selanjutnya yaaa... note : kesamaan nama tokoh dan cerita hanyalah kebetulan semata. kecuali kalau aku searching sedikit di internet. peace.

Alwayssunrise · Urban
Not enough ratings
22 Chs

Bagian 4

Steve memutar kepalanya dan meremas jemari-jemari ditelapak tangannya. Raut wajahnya menampilkan bahwa ia sudah sangat kesal.

"Kebetulan sekali, sudah lama aku tidak melatih ilmu bela diriku."

"Ciaaaa...."

Orang-orang itu menyerang Steve secara bersamaan. Steve memang sangat ahli dalam bela diri, tapi bukan berarti dia kebal terhadap pukulan. Beberapa kali ia terkena tendangan dan pukulan di perut dan wajah hingga luka-luka mulai tampak diwajahnya.

"Hhaa...!!!" tiba-tiba dari belakang berandalan itu muncul Brian dan Gibran yang langsung menendang di diantara mereka hingga jatuh kelantai. Steve tersenyum dan bertambah semangat untuk berkelahi. Mereka berkelahi dengan sengit dan perlawanan yang seimbang membuat kubu lawan menjadi kewalahan. Setelah tiga hari tidak dapat tidur dengan nyenyak karena seminar rasanya tidak buruk untuk melepaskan penat dengan berkelahi. Kepala mereka menjadi sedikit fresh karena terpacu adrenalinnya.

Namun tanpa mereka sadari salah satu dari mereka mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan mengincar dibelakang Gibran. Dalam suasana yang kalut pria itu menghampiri Gibran dan begitu jarak mereka tidak terlalu jauh ia menepuk bahu Gibran, Gibran menoleh ke belakang dan sempat melihat pria itu. Refleks tangan yang memegang pisau menusukkan senjata itu pada bagian perut korbannya seperti yang ia rencanakan. Slebbb...Cairan berwarna merah gelap mengalir dengan deras. Tapi bukan darah Gibran, Brukkk...itu darah Pinkan. Pinkan ambruk dipangkuan Gibran. Kesadaran Gibran pecah dan dadanya seperti tersengat lebah. Steve dan Brian mematung begitu pula kubu lawan yang mulai kewalahan.

Maya membekap mulutnya dan terduduk di lantai.

"Polisi!!!! Angkat tangan kalian!!!!" Gerombolan pria berseragam polisi menerobos lorong lokasi perkelahian mereka. Satu-persatu polisi-polisi itu maju.

Uli uli uli...

.

.

.

Para perawat mengeluarkan Pinkan dari atas bangkar dorong lalu berlari menuju ruang ICU. Gibran mengikuti mereka dengan terus menggenggam erat tangan Pinkan. Tidak dipedulikannya darah yang menempel pada telapak tangan dan jaketnya.

"Gibran..."panggilnya lemah.

"Aku disini, jangan bicara! Kita akan segera sampai dan dokter akan menyelamatkanmu."

"Jangan tinggalkan aku..."

"Aku bersamamu, jangan khawatir..."

"Jangan ti..." napas Pinkan tersengal-sengal.

"Pinkan!" nada suara Gibran meninggi. Airmata meleleh dari sudut matanya.

Grek grek grek...suara roda bangkar mengalun keras, pintu ICU terbuka dan salah satu perawat menahan Gibran tidak mengikuti mereka ke dalam. Ting. Lampu merah menyala diatas pintu.

Dada Gibran terasa sakit dan kedua kakinya menyerah, ia duduk di kursi panjang didepan ruang ICU sembari menutup wajahnya yang kacau.

*

Steve menjalani formalitas sebagai saksi di kantor polisi bersama Maya dan Brian. Polisi menangkap semua orang yang terlibat dalam perkelahian di Club.

Seorang polisi datang dengan membawa satu koper besar warna hitam. Mereka membukanya dan menemukan satu kotak penuh berisi bubuk putih yang dibungkus plastik kecil.

"Amankan barang bukti, bawa brandal itu ke ruang investigasi."

"Baik, pak!"

"Itu bukan milikku. Sudah kubilang berapa kali? Kenapa kalian mempercayai wanita gila itu???Aaghhh!!"

Steve, Maya dan Brian hanya terpekur dikursi. Kejadian penusuk kan itu masih terngiang dikepala mereka. Mereka hanya menjawab apa yang polisi tanyakan kepada mereka dan tidak bicara apa yang tidak perlu. Steve melihat keluar pintu kantor polisi.

Angin bertiup kencang dan dedaunan beterbangan. Hujan semakin deras seiring waktu yang berjalan menyambut pagi. Ah sangat dingin. 'Pinkan, semoga kau baik-baik saja.'

***

"Aku bilang dia tidak menyukaimu. Lihat sampai sekarang dia sama sekali tidak menghubungimu."

"Dia terdengar panik, pasti ada sesuatu yang penting."

"Siapa yang kau bohongi? Ini hari terakhir mereka dikota itu, pasti mereka keluar untuk bersenang-senang."

"Kenapa kau sangat menyebalkan...aku tidak ingin berbicara denganmu!"

"Kapan kau akan memperbaiki temperamen mu?"

"Aku tidak akan memperbaiki nya...ugh!" Viona menendang bola besar itu dengan kesal. Tanpa diduga bola besar itu bergerak menggelinding. Mata Viona membulat.

"Viona Viona apa yang terjadi...tolong aku Viona. Ona Ona...."

"Ona,"

.

.

"Ahhhhhhhh..." Vion terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi keningnya dan napasnya terengah-engah. Airmatanya meleleh dan perlahan suara senggukan mendesak tenggorokan nya.

Hiks hiks,, haaa

Viona memeluk kedua kakinya. Tangisnya menjadi-jadi. Ia menangis dalam kegelapan kamarnya. Ia sangat lelah. Mimpi apa itu dia sama sekali tidak memiliki petunjuk. Dadanya terasa sakit. Tidak apa jika ia harus menderita sendiri tapi mengapa Gibran juga terasa sangat sulit dihadapi. Apakah sesulit ini memiliki kekasih. Apapun ia lakukan untuk pria itu tapi mengapa masih begitu dingin. Viona juga ingin merasakan kehangatan darinya. Ia selalu merasa paranoid tentang apa yang Gibran pikirkan.

Viona beranjak dari tempat tidurnya. Ia melangkah dengan kaki telanjang menuju meja riasnya, tempat dimana ia meletakkan tasnya. Ia membuka tas itu dan mengeluarkan kotak berwarna navy dan membukanya. Batuan yang merupakan ornamen dalam gelang itu menyala dalam kegelapan. Viona sedikit terhibur akan keindahannya. Ia menyunggingkan senyuman tipis.

"Viona, semua hal buruk hanya berada di dalam kepalamu saja. Kamu hanya cemas. Besok ketika Gibran pulang aku akan memberikan gelang ini kepadanya. Semangat Viona, kamu bisa.!!" Viona menyemangati diri sendiri.

Dan ketika senyum itu mulai terukir diwajahnya sebuah kenyataan datang dihadapannya.

"Viona, ini Steve! Aku tidak tahu apa aku harus mengatakan ini kepadamu atau tidak, tapi aku tahu kau dan Pinkan bersahabat cukup lama. Tadi malam, Pinkan ditusuk oleh seseorang. Sampai sekarang Pinkan masih berada di ruang ICU. Kita belum tahu bagaimana kabarnya. Gibran...dia tidak dalam posisi berbicara dengan orang lain. Dia lebih syok dariku. Jangan khawatir aku akan menjaga mereka."

Tut, klik.

Viona sudah berada di ruang kantor di museum sejak tadi. Kini jam menunjukkan pukul sepuluh. Ia berjalan memutari meja dan duduk diatasnya. Kepalanya menengadah melihat langit dari balik dinding kaca ruangannya. Menatap kosong setelah mendengar pesan suara dari Steve yang terdengar lelah tak berdaya.

Viona menyilangkan kedua kakinya, menampakkan kaki jenjangnya yang putih serasi dengan heels hitam casual yang membalut kakinya, Sedangkan untuk outer bagian atas ia hanya mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih. Rambutnya yang hitam dicepol manis dan rapi sehingga menampakkan lehernya yang panjang.

Lama ia berada didalam posisi itu hingga Sekar mengetuk pintu ruangannya dan masuk.

"Bu Viona, Pimpinan berada di ruang meeting menunggu anda," katanya setengah bergetar.

Viona hanya memejamkan kedua matanya dan sedikit menarik napas.

"Pergilah, aku akan keluar dalam lima menit."