webnovel

Selaras Rasa (The Same Love)

Viona Laila Indrayan adalah pewaris paviliun utama dan museum yang didirikan oleh keluarga Indrayan. Tentunya tidak sebanding dengan perusahaan besar yang akan diterima oleh para paman dan bibinya. Meski begitu paman dan bibinya tetap mencari cara untuk merebut paviliun dan museum karena keduanya merupakan icon dari keluarga Indrayan. Hidup Viona berjalan dengan lancar dengan kekayaan dan pandangan iri dari kerabatnya, hingga ia bertemu dengan kekasih pertamanya di usia 27 tahun, seorang pengacara junior yang tampan dan hebat. Viona sangat menyukai kekasihnya hingga semua perhatian ia curahkan kepadanya. Namun secara perlahan, kebenaran tentang kehidupan Viona mulai muncul satu demi satu termasuk kebenaran tentang pria yang sangat ia cintai. Apa sebenarnya yang terjadi di dalam kehidupan Viona? Dan bagaimana rahasia yang terungkap dapat merubah kehidupan Viona? . Ikuti terus kisah Viona dan pria yang sangat ia cintai! Jangan lupa voting dan tunggu update selanjutnya yaaa... note : kesamaan nama tokoh dan cerita hanyalah kebetulan semata. kecuali kalau aku searching sedikit di internet. peace.

Alwayssunrise · Urban
Not enough ratings
22 Chs

Bagian 1

"Jadi siapa om Rudi?"

Viona memeluk lututnya, ia tidak merasa dingin tapi posisi ini terasa lebih nyaman di ruang yang gelap dan ia tidak tahu ada di mana.

"Seorang kenalan, pengrajin keramik yang sangat profesional dan baik hati. Dia selalu membantu mama setelah papa pergi..." Viona sedikit merenung.

"Aku iri kau mengenalnya," Viona menoleh pada bola sinar yang berbicara, suara itu melanjutkan "disini sangat sepi. Tidak ada yang bisa aku ajak bicara..."

"Sekarang ada aku, aku akan mendengarkanmu." Hibur Viona.

"Kau tidak akan selamanya disini, aku tahu kau tidak menyukai tempat ini...karena aku juga tidak suka"

Whaappp

.

.

.

Para pengacara terbaik sedang berada di dalam satu gedung besar untuk menghadiri konferensi nasional tahunan. Malik Al Fattar sebagai pembicara utama menjadi pembicara utama mengenai perkembangan hukum, perdamaian, dan hak asasi manusia, terutama ketika masih timpangnya keadilan dan hak-hak rakyat dari berbagai aspek di mata hukum negara ini. Gibran, sebagai junior yang berada dibawah pelatihan beliau langsung melakukan tugasnya dengan sempurna. Konferensi berlangsung hikmat dan materi yang disampaikan mengalir dengan lancarnya.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Peserta konferensi mulai berhamburan keluar dari aula pertemuan. Gibran hampir setengah berlari menuruni tangga menuju lobi. Langkahnya yang mantap seirama dengan suara derap sepatu hitamnya yang menyentuh lantai. Disana ia berhenti di tangga terakhir lantai itu. Menatap nanar pada kejauhan sofa lobi ruangan yang terang akan lampu hias besar yang terbuat dari kristal putih.

Pinkan dan Steve menoleh kearahnya. Dan pria itu mulai berjalan menghampiri mereka.

"Sudah berakhir?" Steve berdiri. Gibran mengangguk.

"Bagaimana keadaan perutmu?" Ia melihat Pinkan. Wanita itu sedikit mengelus perutnya.

"Aku baik-baik saja." jawabnya lembut.

"Ck...dia tidak sarapan tadi pagi," Steve menimpali. Gibran menoleh cepat.

"Tidak aku...ugh." Pinkan meremas perutnya. Gibran duduk disampingnya dan merangkul bahunya.

"Apa yang kamu pikirkan? Kamu tahu tugas kita sangat banyak... pikirkan kesehatanmu!" tegurnya kesal. Pinkan tersenyum.

"Kamu mengkhawatirkanku? Bukankah kamu masih marah padaku?"

"Omong kosong apa yang kamu katakan?" Ia membantu Pinkan berdiri.

"Steve, ambil obat dari dalam tasku. Aku akan langsung membawa Pinkan ke restoran."

Steve mengacak rambutnya namun ia mengangguk. Pinkan dan Gibran berbalik pergi.

Steve melewati lorong panjang menuju kamar hotel, namun tiba-tiba bola matanya membulat ketika melihat seorang wanita yang ia kenal berdiri di depan pintu kamar hotel. Wanita itu berambut pendek, memakai outer kulit warna abu-abu dan ankle-boots untuk alas kakinya. Steve tersenyum sembari mendekati orang itu.

"Aku tidak tahu pesonaku sampai membuatmu menyusulku kemari. Sudah aku bilang, aku akan menemui mu di Jumat malam...Anjani," Steve bersandar pada dinding putih disampingnya.

Wanita berambut pendek itu menoleh, "Gibran?"

Steve mendecakkan lidah dan dengan cepat menyudutkan Anjani ditembok. Anjani melihat tangan Steve menghalangi ketika ia hendak pergi.

"Lupakan dia, jangan tambah penderitaannya. Dia menyukai orang lain dan menjadi kekasih orang lain apakah itu tidak cukup buruk? Dia tidak akan sanggup menanggung cinta sepihakmu." Steve mencondongkan wajahnya, Anjani membuang muka.

"Aku luang malam ini, bagaimana jika aku mengajarimu cara untuk melupakannya?"

Plop...

Steve melihat Anjani menempelkan amplop coklat besar dibahunya. Ia kembali melihat wajah wanita dihadapannya. Ia menegakkan tubuhnya dan menerima amplop itu.

"Serahkan pada Gibran,"

Anjani berbalik pergi.

"Kau tidak menemui Gibran?" tanya Steve dengan intonasi yang lebih serius daripada tadi. Anjani menoleh lalu memegang dadanya. Steve menaikkan sebelah alisnya.

"Aku tidak bisa melihat gebetan ku peduli dengan wanita lain. Jangan lupa bawakan obat sakit perut untuk nona muda, Tuan tau segalanya..."

Anjani melambaikan tangan dan melangkah menjauh dari tempat Steve berdiri. Steve membolak-balikkan amplop yang berada ditangannya.

"Bukankah kamu juga begitu, nona tahu segalanya?" Steve tersenyum kecil.

*

Dua orang wanita menghampiri Pinkan ketika mereka melihatnya duduk sendiri dimeja restoran. "Pinkan, kamu baik-baik saja?" salah seorang dari mereka menyentuh bahu Pinkan. Pinkan menoleh.

"Kami melihatmu keluar dari ruang konferensi lebih awal bersama Steve, apa ada masalah?"

Pinkan menggeleng, "Perutku hanya sedikit sakit. Aku belum sempat sarapan tadi pagi."

"Ah, kalian dibawah bimbingan Pengacara Malik pasti sangat sibuk. Tapi kami tidak boleh melupakan kesehatan mu."

"Kalian disini?" tiba-tiba Gibran datang dengan nampan dengan dua menu makan berbeda.

"Aku bertanya-tanya kemana perginya pengacara Gibran meninggalkan Pinkan sendirian?" goda satu diantara mereka. Pinkan sedikit tersipu sementara kedua temannya tertawa.

Gibran meletakkan nampan dimeja dan duduk.

"Kalian tidak duduk?" tanya Gibran.

"Hei kalian berdua!!!"

Mereka menoleh.

"Lihat, fans kami sudah menunggu. Nikmati makanan kalian.!"

Keduanya pergi.

Gibran melihat Pinkan. "Makanlah!"

Pinkan melihat mangkok bubur dihadapan nya.

"Ini?"

"Aku meminta chef untuk membuatnya. Lambung mu pasti terluka karena kosong seharian. Jangan makan yang berat-berat." Gibran berbicara dengan lembut dan penuh perhatian. Membuat hati Pinkan menghangat. Ia ingat tadi pagi pria ini masih mengabaikannya dan sekarang bersikap seolah semua kecanggungan mereka tidak pernah terjadi. Bibirnya terangkat ke atas membentuk sebuah senyuman. Pinkan melihat Gibran yang mulai makan.

"Kau tahu aku tidak suka bubur."

"Berhenti mengeluh dan makan saja. Kamu yang memulai sendiri."

"Tapi..."

Steve mengangkat sebuah kursi dan duduk diantara mereka. Ia meletakkan botol pil dimeja. Pinkan dan Gibran melihatnya datang.

"Apa yang kau lakukan?" Gibran bertanya dengan nada dingin.

"Kenapa, ada apa? Kalian melewatkanku dalam obrolan seru, harus ada yang mengingatkan kalian bahwa masih ada aku disini..."

Pinkan dan Gibran menggeleng dan melanjutkan makan. Steve ikut makan.

Namun tak berapa lama ia berhenti.

"Anjani tadi datang kemari."

Lagi-lagi Gibran dan Pinkan melihat Steve. Ia melihat Gibran. Seperti telepati Gibran mengerti alasan kedatangan Anjani. Pinkan sama sekali tidak ada clue tentang itu.

"Untuk apa dia datang," suara Pinkan sedikit kesal. Steve menyeringai.

"Dia mencari Gibran, ingin mengajaknya makan malam." jawab Steve santai.

"Sejauh ini? sampai di kota ini?" Pinkan tidak percaya.

"Ayahnya pengacara senior. Mungkin dia datang bersama ayahnya." timpal Gibran sambil makan. Pinkan mengangguk-angguk. Steve mengangkat kedua alisnya kearah Gibran seolah mengatakan, 'bagaimana kau bisa berbohong dengan begitu natural?"

Gibran balas menatapnya sambil meminum air putih digelasnya. 'Aku tidak berbohong, ayah Anjani memang seorang pengacara senior.'

Steve menggaruk-garuk hidungnya seolah ia gatal.

'Bagaimana aku tidak tahu, siapa nama ayahnya?'

'Bodoh, kau tidak tahu? dia putri pengacara senior Malik Al Fattar.'

'Benarkah? Tapi aku baru saja melamarnya tadi...'

ughuk...Gibran tersedak. Ia meletakkan gelas airnya.

"Gibran...ada apa?" Pinkan berteriak panik.

"Kau tidak perlu panik, aku sudah ditolak." ujar Steve santai.

"Apa yang kau katakan, cepat ambilkan tissue disebelahmu." Kata Pinkan masih mengusap jas Gibran, "lepaskan Jasmu!"

Gibran menurut sambil melihat Steve dengan tatapan tajamnya. Steve tertawa.

*

Pukul dua belas malam lebih. Gibran dan Steve berenang di kolam renang fasilitas dari hotel. Udara pagi yang dingin namun menyegarkan dapat sedikit membuat mereka rileks.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau Anjani adalah putri dari pengacara senior Malik?"

Gibran berenang ketepi kolam. Ia mengusap wajahnya dan menyandarkan punggungnya. Menatap kosong pada langit malam.

"Kau tahu pertama kalinya Pengacara Senior Malik mengijinkanku masuk ke ruang kerja dirumahnya?"

"Semester empat, bulan Februari?"

Gibran mengangguk.

"Itu pertama kalinya aku bertemu Anjani."

Steve menghela napas. Ia merentangkan kedua tangannya ditepi kolam, "Aku tahu itu, aku selalu berpikir ada sesuatu antara kau dan Anjani. Dan kau menutupi semua itu dariku dan Pinkan."

"Aku tidak memiliki waktu untuk bercerita. Dan dua bulan kemudian beliau bercerai dengan istrinya. Anjani juga ikut dengan ibunya. Tidak ada yang terjadi. Lalu kita bertemu kembali setelah bekerja di law firm."

"Cinta yang tertunda...bukan begitu, Pengacara Gibran?" Steve menggoda.

"Hentikan omong kosong mu," Gibran tertawa. Mereka tertawa bersama.

.

"Kau harus ingat apa yang telah Pengacara Senior lakukan untuk kita. Jangan mengecewakannya!"

"Aku tahu itu..." Steve menggaruk hidungnya. Gibran menunjuk Steve.

"Tidak ada yang benar saat kau menggaruk hidungmu, aku tidak percaya padamu. Katakan sekali lagi..."

"Aghh, baiklah baiklah. Aku tidak akan bermain-main dengan Anjani." Steve menyerah. Gibran menurunkan tangannya.

"Tapi bagaimana Anjani bisa menjadi putri Pengacara Senior Malik, maksudku kau tahu...nama mereka sama sekali tidak sinkron, you know itu artinya dia memiliki darah campuran Arabic -Javanese. Tapi wajahnya... tidak-tidak, lain kali aku harus memperhatikannya dengan seksama,"

"Kau baru saja mengatakan tidak akan bermain-main..." Gibran menyatukan kedua alisnya yang tebal.

"Bukan itu maksud ku, Arabic name...Malik Al Fattar?"

"Kau tidak tahu MNR pada Id-nya?"

Steve menggeleng,

Gibran memakai kacamata renangnya...

"Malik Nur Rohmah. Anjani Malik Nur Rohmah, is that enough for an Arab-Javanese girl?" ledek Gibran kemudian melompat kedalam air. Steve terbengong.

"Aku sempat berpikir kenapa MNR? Bukan MNO." gumam Steve. Ia melihat Gibran.

"Hei Gibrannnn...kau yakin tidak menyukai Anjani MNR?" Steve berteriak.

Gibran memunculkan jari tengahnya dipermukaan air. Steve tertawa.

"Apa artinya itu? sialann. Heiiii kemari kalau berani, " Steve masuk kedalam air menyusul Gibran.

*

"Aku baik-baik saja, Gibran memberiku obat." Pinkan sedang berada dalam panggilan telpon bersama Viona. Viona mengangguk.

"Syukurlah, kau bisa mengajak ku sarapan sekali waktu kau tahu."

"Aku takut mengganggumu. Kau bukan Viona yang single seperti dulu."

"Apa yang kamu katakan? Aku tetap sahabatmu kan?"

"Gibran juga sahabat ku. Tapi dia tidak memiliki waktu luang untukku seperti dahulu." Pinkan berdiri di atas balkon kamarnya sambil menatap lekat pada kolam renang di bawah. Dua pria dengan tubuh atletis sedang berlomba kecepatan berenang disana. Sesekali keduanya perang air dan tertawa. Benar-benar gembira.

Krckkk

"Apa yang kamu katakan, Pinkan? Kurang jelas disini...bisa kamu ulangi lagi?"

"Bukan apa-apa Viona, ini hanya gejala magh kecil. Aku akan baikan setelah tidur cukup."

"Apa aku mengganggu waktu istirahat mu? maaf Pinkan, kamu istirahat lah."

"Iya, Viona. Aku sangat lelah setelah konferensi seharian. Kurasa Steve dan Gibran juga ketiduran, aku mengetuk pintu kamar mereka dan tidak ada yang menjawab."

"Aku mengerti, kalian pasti lelah. Bye Pinkan!"

"Bye, Viona. Sweet dreams!"

Tut tut tut

.

.

.

Enam bulan yang lalu

Suara hiruk-pikuk orang-orang mengobrol, suara teriakan para pedagang menjajakan dagangannya. Dan aroma rumput gajah bercampur dengan embun dimalam hari. Lampu hias merah, kuning, hijau berpendar dan merayap mengelilingi tower atau menggeliat pada tali kecil menaungi di atas langkah para pengunjung pasar malam.

"Aku sudah sampai, kamu dimana?" Viona berbicara ditelpon.

.

"Vionaaaa disini!!!" suara Pinkan membuat beberapa orang menoleh ke arah Viona. Seolah, ya, Viona, kemarilah! Temanmu ada disini. Wanita itu sedikit menutupi wajahnya dan berjalan menuju ke arah Pinkan.

Tidak sampai satu menit Viona telah berada dihadapan Pinkan dan Steve.

"Steve, ini Viona. Viona ini Steve!" Pinkan memperkenalkan mereka. Viona mengangguk sementara Steve memulai mode selengekan-nya. Ia mengulurkan tangan kanannya. Dengan ragu Viona menerimanya.

"Burung gelatik jalan pelan-pelan!"

"Cakepppp..."

Viona dan Pinkan menoleh sekeliling. Tampak beberapa anak-anak kecil yang masih bermain di pasar malam fokus kepada mereka. Viona kembali melihat Steve.

"Eneng cantik, ayo kenalan..."

"wuuuuu..." sorak-sorai anak-anak tambah memeriahkan pantun Steve.

Viona menggelengkan kepala dan tertawa. Ini pertama kalinya ia bertemu orang yang sangat percaya diri seperti Steve.

"Aku Steve..." mereka masih berjabat tangan.

"Aku Viona," balas Viona sambil tersenyum.

"Oh ya, dimana Gibran?" Pinkan menyela. "Sorry, Viona...Gibran masih ada meeting dengan klien sore tadi. Kemungkinan mereka masih belum selesai,"

Viona baru ingin menjawab ketika tiba-tiba anak-anak disekitar mereka berhamburan ke gerbang.

.

"Om Gibrannnnnnnnn..." teriak mereka lantang membuat pandangan Viona juga tertarik ingin melihat seseorang yang membuat anak-anak itu begitu excited.

Kemudian semakin tampaklah sosok pria tinggi besar yang mengenakan jas hitam mewah, yang tidak akan kita temukan stelan fit ditubuhnya kecuali bila kita memesan secara custom. Sepatu yang tak pernah kita bayangkan berani untuk menginjak rumput becek pasar malam tetapi dia melangkahkan kakinya dengan mantap. Tapi semua itu terkalahkan oleh wajah tampannya. Dan tidak ada yang lebih menarik perhatian daripada permen gulali warna pink ditangannya. Pandangan Viona terpaku lekat kepadanya.

"Hari ini kalian bebas bermain apa saja. Om traktir. Tapi ingat, hati-hati...jaga diri kalian. Mengerti?"

"Siap...misi dilaksanakan, Pengacara Gibran!!!!" sahut mereka serentak sambil mengangkat tangan kanan mereka memberi hormat. Viona tergelak tawa melihat tingkah mereka.

"Bagus, bubar jalan!"

"Yeeeeeeee...."

Anak-anak itu berhaburan pergi.

"Kembali jam sembilan ya, anak-anak. Jangan sendirian!" teriak Pinkan. Namun anak-anak itu sudah sibuk bersenang-senang.

Mata Viona dan Gibran bertemu. Gibran mendekati mereka dan bersamaan dengan langkah kakinya, jantung Viona berdetak semakin kencang. Viona memegang dadanya, ia takut jantungnya akan meledak. Gibran mengulurkan permen gulali ditangannya pada Viona. Viona menerimanya.

"Kura-kura mainan kayu..."

"Cakep," bisik Steve dan Pinkan.

"...Nice to meet you," sambung Gibran.Mereka bertatapan, Viona terpana dan hampir tidak mendengar tawa geli Steve dan Pinkan. Ia melangkah kebelakang saking gugupnya.

"Ahh..." Ada genangan air dibelakangnya. Ssstt...tapi dengan cepat Gibran meraih pinggangnya.

.

Viona seperti mendengar alunan musik yang menenangkan, ia tenggelam didalam bola mata gelap itu. Dan tawa anak-anak kecil yang samar-samar. Dan lampu-lampu hias. Dan bianglala dibelakang mereka.

Malam itu pertama kalinya Viona dan Gibran bertemu.