webnovel

Selaras Rasa (The Same Love)

Viona Laila Indrayan adalah pewaris paviliun utama dan museum yang didirikan oleh keluarga Indrayan. Tentunya tidak sebanding dengan perusahaan besar yang akan diterima oleh para paman dan bibinya. Meski begitu paman dan bibinya tetap mencari cara untuk merebut paviliun dan museum karena keduanya merupakan icon dari keluarga Indrayan. Hidup Viona berjalan dengan lancar dengan kekayaan dan pandangan iri dari kerabatnya, hingga ia bertemu dengan kekasih pertamanya di usia 27 tahun, seorang pengacara junior yang tampan dan hebat. Viona sangat menyukai kekasihnya hingga semua perhatian ia curahkan kepadanya. Namun secara perlahan, kebenaran tentang kehidupan Viona mulai muncul satu demi satu termasuk kebenaran tentang pria yang sangat ia cintai. Apa sebenarnya yang terjadi di dalam kehidupan Viona? Dan bagaimana rahasia yang terungkap dapat merubah kehidupan Viona? . Ikuti terus kisah Viona dan pria yang sangat ia cintai! Jangan lupa voting dan tunggu update selanjutnya yaaa... note : kesamaan nama tokoh dan cerita hanyalah kebetulan semata. kecuali kalau aku searching sedikit di internet. peace.

Alwayssunrise · Urban
Not enough ratings
22 Chs

Bagian 15

"Gi...Gibran?" mata Viona terbelalak. Viona tersadar kemudian mencoba beralih tapi Gibran menahan bahu kekasihnya.

"Kau menakutiku. Apa yang kau lakukan? Jangan bertingkah aneh deh," Viona mendorong tubuh Gibran lalu berjalan menuju mobilnya. Gibran mengikuti.

"Siapa mereka? Aku tidak pernah melihat mereka berada di sekelilingmu?" tanya Gibran dingin.

Viona tertawa, membuat Gibran heran.

"Kamu bisa bertanya dengan baik-baik. Kenapa menakutiku seperti ini?"

Gibran tidak menanggapi dan terus menatap Viona.

Ada apa dengan pria itu? Dia membuat Viona salah tingkah.

"Oh ya,,, dimana Pinkan?" Viona melihat kesana kemari, "bukankah dia bersamamu tad.."

Gibran mendahului Viona dan mencengkeram kedua bahunya, wanita itu terperanjat.

"Kenapa kamu mengabaikanku?" mata Gibran bertambah dingin. Viona mulai ketakutan. Namun pria itu langsung meletakkan tangannya dikening Viona.

"Demammu sudah turun?" ia melonggarkan cengkeramannya. Viona meremas kedua tangannya secara diam-diam hingga ia tidak menyadari kuku-kukunya yang panjang seolah tertancap dikulit telapak tangannya.

"Aku akan mengantarmu kembali ke museum." Kata Gibran kemudian merebut kunci ditangan Viona. Viona melihat Gibran dengan heran.

.

Lima belas menit kemudian mereka sampai di depan museum. Pandangan mereka bertemu.

"Bagaimana kamu akan kembali ke kantor mu?" Viona bertanya.

"Aku bisa memanggil taksi," kata Gibran santai. Ia tersenyum cerah dihadapan Viona kemudian membuka sabuk pengamannya.

"Kamu bisa membawa mobilku," kata Viona akhirnya. Senyum Gibran semakin melebar. Ia menatap Viona dalam.

"Aku akan menjemputmu pukul tujuh." Katanya mencoba menyembunyikan rasa senangnya. Memang ini yang ia harapkan.

"Baiklah, sampai jumpa!" Viona melepaskan sabuk pengamannya, namun ia melihat Gibran yang telah keluar dan memutari mobilnya untuk membukakan pintu penumpang depan.

Kenapa kamu seperti ini?

Viona keluar dari mobil. Tiba-tiba Gibran mengecup keningnya.

"Gibran?" Viona terpekik. Ia melihat sekeliling kalau-kalau ada yang melihat mereka.  Namun pria itu hanya tersenyum puas. Ia melambaikan tangannya dan kembali ke mobil. Mengendarai mobil dengan prrlahan dan meninggalkan area museum.

Viona tersenyum, "Kamu sangat baik hari ini."

*

POV Pinkan

Pinkan dan Gibran duduk di meja pengunjung lantai dua, meja-meja ini dilindungi oleh payung lebar karena tidak ada atap di atasnya. Yap, lantai dua restoran chicken ini hanya merupakan teras dengan beberapa meja di atasnya. Tapi terdapat banyak tanaman hias dengan bunga yang berwarna-warni ditanam disekeliling pagar pendek. Pengunjung juga dapat menikmati panas matahari secara langsung juga angin semilir yang seolah ikut membawa masalah mereka pergi.

Pinkan memandang Gibran yang tengah asyik menikmati chicken nya.

"Kamu ingat, Gibran. Sewaktu kecil kita tidak pernah memiliki uang yang cukup untuk membeli menu disini. Tapi kita selalu lewat di depan restoran ini dan berkhayal suatu hari nanti kita akan makan sepuasnya ditempat ini." Kata Pinkan bersemangat. Gibran tidak menjawabnya. Ia memperhatikan pria dihadapannya. Benar dia sedang makan tetapi pikirannya seperti sedang berada ditempat lain.

Pinkan merasa sangat kesal.

"Gibran!!?" panggil Pinkan setengah berteriak. Gibran menoleh ke arahnya.

"Ya? Kamu membutuhkan sesuatu?" tanya Gibran perhatian.

"Aku sedang berbicara kepadamu tadi, kenapa kamu tidak mendengarkan?"

"Aku hanya sedang memikirkan urusan pekerjaan. Katakan, kau menginginkan sesuatu?"

"Kamu memikirkan Viona? Kamu menjadi tidak fokus sejak bertemu dengannya."

"Aku mengatakan ini urusan pekerjaan. Ada apa denganmu?" Gibran menjadi kesal.

"Gibran...kamu tidak pernah berkata kepadaku dengan nada seperti itu."

Mereka terdiam sejenak.

"Ok, aku minta maaf." Gibran memutuskan untuk mengalah.

Pinkan berdiri.

"Lupakan saja. Aku sudah tidak lapar lagi. Kita pulang saja."

"Tapi..."

"Gibran," Pinkan memandang Gibran seolah dia juga harus ikut berdiri ketika Pinkan berdiri.

Gibran terlalu lelah untuk berdebat. Ia beranjak dan mengikuti Pinkan yang sudah berjalan lebih dulu.

Kenapa semua wanita yang ia kenal bersikap sangat aneh hari ini?

Mereka menuruni tangga dan berjalan ke arah parkiran depan. Gibran melihat sekitar lalu melalui dinding kaca, ia melihat Viona yang duduk bersama wanita dan anak kecil asing di dalam restoran. Tapi ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari Viona. Rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat wajah wanita itu. Sekitar...delapan hari. Ya, delapan hari waktu yang sangat lama.

Oh Tuhan...

Set.

Langkah Gibran terhenti.

Ia melihat Viona tertawa. Suara tawanya seolah menjangkau kedua telinga Gibran. Pria itu mencoba mengingat-ingat kapan ia pernah mendengar suara tawa ini?

Kau mengingatnya?

Gibran memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Tidak, aku tidak mengingatnya.

Ini pertama kalinya, Gibran melihat Viona tertawa seperti itu. Tawa yang sangat mempesona.

"Dia sangat imut." gumam Gibran sambil tersenyum.

Ia berjalan menuju lapangan parkir dan melihat Pinkan yang sudah duduk di kursi samping kemudi.

Gibran masuk dan duduk di depan kemudi. Kedua tangannya memegang setir tapi pikirannya mendadak ragu.

"Kau tahu, Pinkan?" Gibran bersuara dengan nada rendah. Pinkan menoleh.

"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Viona."

"Gibran, kau tidak mungkin membiarkanku..."

"Kami bisa menggunakan mobilku."

"Bukan itu maksudku!!!" Pinkan berteriak. Gibran terdiam sebentar.

"Aku mendengarkan semua ucapanmu sejak kecil Pinkan, dengarkan aku kali ini!"

Pinkan meraih tangan Gibran dan mengelusnya pelan.

"Jangan pergi ke Viona Gibran, aku membutuhkanmu saat ini."

Gibran melepaskan tangan Pinkan perlahan.

"Maaf, tapi aku benar-benar harus bicara dengan Viona."

Pria itu keluar dari mobilnya dan berjalan menuju restoran.

Pinkan menjerit memanggil namanya tetapi ia tidak berhenti. Ia tidak ingin berhenti.

.

.

Tiga bulan yang lalu

"Pinkan, apa kamu mau berkencan denganku?" Gibran mengatakan isi hatinya didepan apartemen Pinkan. Mereka saling berhadapan. Ia menggenggam kedua tangan wanita itu dengan lembut.

Perlahan, Pinkan menarik kedua tangannya. Gibran hanya melihatnya dengan hampa.

"Aku menyukaimu, Gibran. Tapi aku tidak ingin persahabatan kita selama bertahun-tahun menjadi rusak karena perasaan ini."

"Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan."

"Perjalanan kita masih panjang, Gibran. Kita tidak bisa lemah."

"Cinta bukan suatu hal yang membuat kita lemah, Pinkan."

" Tidak, Gibran. Cinta hanya membuat kita lemah."

Gibran memukul pilar disampingnya. "Tapi aku mem..."

Pinkan buru-buru membekap mulut Gibran. Pandangan mata mereka bertemu.

"Viona mengungkapkan cintanya kepadamu bukan?" Pinkan melepaskan tangannya dari Gibran. Gibran berbalik membelakangi Pinkan. Tangannya menyangga pilar didekatnya.

"Aku tidak akan menerimanya."

"Kau harus menerimanya."

Gibran berbalik cepat, "Pinkan kau!!!" Pinkan menatapnya dengan pandangan datar.

"Terima cintanya! Kamu harus mendengarkan ku, Gibran!"

.

.

Gibran melangkahkan kaki panjangnya untuk terus maju. Pandangannya tenang tapi jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang merasukinya tapi ia sedang tidak ingin mendengarkan siapapun. Ia hanya ingin secepatnya bertemu dengan Viona. Kekasihnya yang selalu mencari perhatiannya, yang manja, yang sangat mencintainya.

Aku ingin bersamanya...

***