webnovel

Kisah Indah

Bab. 10. Kisah Indah

Selamat Membaca 

POV INDAH

Aku diceritakan sama tante teman nya mamaku yang meninggal setelah melahirkan dan ayahku yang terbunuh saat dalam tugas, yaa ayahku seorang polisi namun keduanya anak yatim piatu, keluarga angkat ayahku tidak menginginkan cucu perempuan seperti makanya aku dititipkan di panti asuhan ini. 

Cerita tentang masa lalu mamaku  yang seorang guru honorer di sekolah dasar. 

Dahulu 11 tahun yang lalu.

Seorang gadis cantik bermata bening, berperawakan tinggi langsing serta berkulit kuning langsat. Senyuman manis senantiasa menghiasi bibir tipisnya. Perangainya begitu indah dengan tutur kata lemah lembut serta begitu penyayang kepada anak-anak. Selain itu, ia gadis yang sopan juga pekerja keras.  

Nana  Angelina mengatakan bahwa ia sebenarnya adalah gadis yatim piatu dari desa yang merantau ke kota besar ini dengan tujuan kuliah sambil bekerja. Maka setelah wisuda, dia  kemudian melamar menjadi salah satu guru kelas di sekolah ini.

Mamaku adalah sosok wanita yang patut untuk diperjuangkan, karena semua kriteria wanita idaman lelaki, ada padanya.Banyak yang diam-diam  mendambakan mamaku menjadi istrinya. 

 

Banyak lelaki yang gencar mendekati mama ku. Entah mama sadar  atau tidak dengan semua perhatian yang kuberikan, yang jelas mama  tak pernah tahu dan mungkin tidak pernah mau tahu. 

Hingga akhirnya  mama ku dilamar oleh seorang kakak sepupu dari temannya mungkin kakak angkat lebih tepatnya  untuk dijadikan istri.

Perasaan mama sangat bahagia dan senang, mama itu bagiku lentera hati yang selalu menyinari dan memberikan semangat untukku, mamaku. 

Setelah satu tahun menikah akhirnya melahirkan aku dan menghembuskan nafasnya karena penyakit mama yang tak pernah mama kasih tahu sama siapapun, termasuk suaminya mama sendiri yaitu PAPA ku. 

Papa ku yang merasa kehilangan mama, untuk menghilangkan rasa kekecewaan nya papa akhirnya ikut berjuang keluar negeri sebagai bantuan tenaga sosial, yang tak lama selama dua bulan papa ku tertembak di tempat, setelah keluarga angkat papa ku tidak pernah memberikan keramahan dan kasih sayang, mereka malah membuang ku dengan menitipkan ku tempat panti asuhan, karena aku lahir bukan sebagai anak cowok katanya perempuan pembawa sial dalih mereka, yang mereka inginkan hanyalah anak laki-laki.

Apa aku benar-benar anak pembawa sial? Akankah tidak akan ada keluarga yang mengambil aku sebagai anaknya?

Pov Author 

Batin Indah ber kecambuk saat ada beberapa anak-anak panti yang mendapatkan keluarga baru, aku harapkan keluarga yang mengadopsi ku yang bener-bener menyayangi ku. Sehingga mama dan papaku bahagia di alam sana.

Namun di satu sisi ada kelegaan  bahagia kalo keluarga angkat tidak menyukai seperti keluarga papanya Indah.

Baby Indah  diantarkan pihak keluarga ayahnya karena mereka lebih memilih anak lelaki dari panti dan menitipkan Indah di panti itu. Bu Asri dulu sangat kaget, dan menangis batinnya sebagai seorang ibu merasa tercubit, namun karena melihat bayi itu yang seperti nya sudah merasa nyaman dengan pelukannya, bu Asri merasa Indah itu seperti anaknya sendiri. Bayi Indah yang lucu, membuat nya merasakan kebahagiaan kembali kini anaknya sudah dewasa dan bu Asri sudah mempunyai cucu.

Bayi Indah menunjukkan banyak keunikan kepintaran dan kelucuan yang Menggemaskan sehingga semua orang menyukainya dan ingin selalu menjaganya.

Hari berganti, detik demi detik bergulir, musim berganti kini bayi manis itu  sudah menjelma menjadi gadis kecil yang periang dan menggemaskan selain dia jua anak yang cerdas. 

Bayi Indah menjadi anak gadis kecil yang pintar dan membanggakan panti, sifat nya yang periang juga humbley membuat mereka yang didekatnya merasa tidak takut berteman dengan nya.

Di balik sikap itu seperti ada benteng dalam dirinya yang begitu besar untuk menutupi luka dalam hidupnya, kehilangan kasih sayang orang tua sejak kecil.

Pada hari dimana Indah bertemu keluarga Bobada benteng dalam dirinya yang begitu besar untuk menutupi luka dalam hidupnya, kehilangan kasih sayang orang tua sejak kecil.

Pada hari dimana Indah bertemu keluarga Boby itu saat Indah mengantarkan kue ke rumahnya Boby dengan memakaiy itu saat Indah mengantarkan kue ke rumahnya Boby dengan memakai sepedanya. Dimana  Boby mengolok olok Indah namun Indah tetap kuat bisa melawan Boby sampai Boby menjadi teman nya.

Di saat itu juga Indah bertemu dengan kak Liam nya, pandangan mata bertemu entahlah apa getaran itu namanya seperti listrik yang menyengat ketika menatap nya.

Begitu juga yang dirasakan Liam namun dia selalu menyangkalnya gadis manis di depannya itu adalah teman adik nya yang bernama Boby selalu mengadukan dan meniru sahabat nya itu Raymond.

Saat itu aku teringat ketika ka Liam dan Bang Aksan..

Flashback On

Di antara tiga sahabat Bang Aksan itu, Ka Liam adalah favoritku. Walaupun aku sendiri agak bingung kalau diminta mengatakan alasannya. KA Liam memang ganteng, tapi Mas Faiq jauh lebih tampan dengan senyum kalemnya. Ka Liam memang ramah, tetapi Mas Malik sebenarnya jauh lebih asyik dengan sifat humorisnya.

Sejak dulu, saat mereka masih berseragam putih abu-abu, aku diam-diam sudah menjadi pengagum rahasia  Ka Liam. Padahal saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Selisih usia kami yang cukup jauh—tujuh tahun—tidak menjadi penghalang sama sekali.

Karakter Ka Liam yang begitu ngemong sangat cocok untukku yang memang agak manja dan kolokan. Dibesarkan di panti sejak ayah Ibu meninggal ketika aku berusia satu tahun belum, bisa dibilang aku agak kurang kasih sayang. Sejak kecil, aku terbiasa di rumah panti begitu juga dengan Bang Aksan saat Ayah harus bekerja di kota. 

Ketika empat sekawan itu sedang berkumpul di rumah, Ka Liam adalah orang yang paling sering mengajakku mengobrol. Dia juga tak segan untuk membantuku mengerjakan tugas sekolah. Bahkan perhatian yang dia tunjukkan melebihi apa yang diberikan Bang Aksan, 

kakak kandungku. Makanya, aku jadi kagum dan mengidolakan Ka Liam. Walaupun semua itu tak berani ku tunjukkan secara terang-terangan.

"Ka Liam kenapa?" Aku berteriak panik saat mendekati Bang Aksan dan Ka Liam yang masih terbatuk karena tersedak kopi.

"Keselek pas minum kopi, nih." Bang Aksan yang menjawab.

0"Buruan telepon pemadam kebakaran!" Aku berteriak karena rasa panik yang semakin menjadi.

"Kok pemadam, sih? Si Gara ini keselek, bukan kebakar," sahut Bang Aksan dengan nada naik juga.

Aku menatap gemas kepada Bang Aksan. "Pemadam kebakaran itu tugasnya bukan cuma memadamkan api aja, Bang. Tapi juga memberikan pertolongan saat keadaan darurat."

"Tapi lebih efektif kalau telepon ambulans kali!" sahut Bang Aksan masih keras kepala. "Biar sekalian dibawa ke IGD."

"Ih, ambulans itu sering lama datangnya. Soalnya kadang orang-orang pada bandel, nggak mau kasih jalan buat ambulance. Kalau mobil pemadam kebakaran 'kab gede, jadi orang-orang biasanya takut terus pada minggir supaya mobil pemadam bisa lewat."

Bang Aksan malah mengibaskan tangan mendengar penjelasan ku. "Lebih efektif ambulans."

"Damkar!" Aku tak mau kalah.

"Ambulans!" sahut Bang Aksan ngotot.

"Damkar!"

"Stop!" Suara lemah itu menginterupsi. 

Aku dan Bang Aksan menoleh bersamaan ke arah Ka Liam yang rupanya sudah membaik. Batuknya telah reda, walaupun wajahnya masih tampak memerah.

"Lain kali, kalau ada keadaan darurat lagi, sebaiknya kalian tunda berdebat kayak tadi, ya? Kalau saja tadi keadaanku lebih parah, mungkin aku sudah lewat sekarang. Kalian bukannya langsung memberikan pertolongan pertama, eh malah sibuk berdebat." Ka Liam tampak geli.

Aku menggigit bibir. Baru menyadari betapa konyolnya sikapku dan Bang Aksan barusan.

"Kamu udah baikan, Ga?" Bang Aksan memastikan keadaan sahabatnya itu.

Ka Liam mengangguk. Aku bernafas lega seketika. Syukurlah kalau  Ka Liam tak apa-apa. Kalau sampai terjadi hal yang tak diinginkan, bisa-bisa aku akan menjadi tersangka.

"Minum kopi aja kok bisa sampai keselek parah begitu, sih, Ga?" Bang Aksan tampak heran.

Ka Liam meringis, lalu mengedikkan dagu ke arah meja di mana cangkir kopi itu berada. "Kamu coba sendiri aja, Udah."

Aku menutup mata dengan ngeri. Tak lama kemudian, terdengar suara batuk lagi. Tanpa membuka mata pun, aku sudah tahu siapa yang batuk dan juga penyebabnya.

"Indah! Kamu kebelet kawin atau gimana, sih? Masa bikin kopi asin begini?" Bang Aksan terdengar kesal.

Aku membuka mata dengan takut bercampur sedikit perasaan bersalah. "Sorry, Bang. Human error."

Bang Aksan memelotot ganas, sedangkan Ka Liam justru tertawa geli. Nah, bukankah perbedaan reaksi dua orang ini sudah bisa menjadi tolak ukur untuk menilai karakter mereka? Ka Liam saja yang menjadi korban kopi asin buatan ku malah terlihat santai tanpa ada raut kesal di wajahnya. Sementara, Bang Aksan justru tampak ingin memakanku hidup-hidup.

Aku agak waspada saat melihat seringai kejam muncul di wajah Bang Aksan. Semakin cemas karena keberadaan Ka Liam yang masih bersama kami sekarang. 

"Pasti ada konspirasi di balik kopi asin itu!" Bang Aksan menebak dengan kalimat tuduhan mutlak.

Aku gelagapan. Sementara, kekeh geli Ka Liam semakin keras terdengar.

"Konspirasi apanya, sih, Bang?" Aku tetap berusaha mementahkan dugaan Bang Aksan barusan.

Bang Aksan kembali menyeringai. "Tadi, kamu pasti ngira kalau kopi itu buat Abang. 

Makanya, kamu sengaja bikin kopi asin begitu. Tapi Abang masih beruntung dan malah si Gara yang kena."

Aku kicep saat Bang Aksan memaparkan praduga yang memang merupakan fakta sebenarnya. Aku hanya bisa diam karena sudah kehabisan bahan untuk dijadikan alasan.

Bang Aksan tertawa keras karena telah merasa menang. "Kasihan, deh. Niat buruknya gagal. Malah jadi senjata makan tuan. Yang kena malah cowok yang diam-diam kamu taksir selama ini."

Ya ampun, mulut Bang Aksan benar-benar ember bocor!

Ka Liam kembali terbatuk, padahal dia tak minum kopi lagi. Lalu pria itu membuang wajah ke arah jalanan di depan rumah. Duh, harga diriku resmi jatuh melesak ke dalam inti bumi.

Karena kesal, aku mengangkat telapak kakiku cukup tinggi, lalu menjatuhkannya tepat di atas kaki Bang Aksan. Pria itu langsung menjerit kesakitan.

"Indah!" Dia menggeram kesal dengan wajah meringis.

Aku mengabaikan protes itu, dan memilih balik badan untuk masuk ke rumah. Seharusnya Bang Aksan bersyukur. Aku hanya menginjak kakinya saja. Coba kalau kutendang segitiga bermudanya? Fiuh, sudah dipastikan masa depannya akan terancam.

"Argh!" Aku menjerit saat rambutku ditarik oleh Bang Aksan.

Ku lempar tatapan tajam, yang sayangnya diabaikan oleh pria itu. Bang Aksan justru mengulurkan beberapa helai rambutku yang berhasil tercabut kepada Ayah yang sedang duduk sambil membaca koran.

Ayah mengangkat mata dari koran ke wajah Bang Aksan, "Kenapa, Ndah?"

"Ini rambut Ndah, Yah. Tolong besok dibawa ke rumah sakit buat tes DNA." Bang Aksan menggeleng dramatis. "Setelah aku amati polah dan tingkahnya selama ini, dia kayaknya bukan adikku, Yah. Mungkin dulu tertukar di rumah sakit."

Aku bergegas menghampiri Bang Aksan lalu memukul punggungnya keras. Pria itu mengaduh kesakitan.

"Sembarangan banget sih kalau ngomong!"

"Lah, memang iya, kok!" Bang Aksan masih semangat membalas.

"Eh, udah! Udah! Kalian itu sudah gede, kalo sudah sama-sama dewasa, tapi masih berantem terus. Ribut terus. Memangnya nggak bosan?" Ayah menengahi dan Ibu panti terdiam. 

"Nggak!" Aku menyahut cepat, sedangkan Bang Aksan menjawab lewat gelengan.

Ayah mendesah, lalu melipat koran dan menaruhnya di meja. "Memangnya ada insiden apa lagi hari ini?"

Bang Aksan duduk di sebelah Ayah. "Tadi waktu aku suruh Indah bikin kopi, masa bukannya dikasih gula, kopinya malah sengaja dikasih garam sama Ayla, Yah. Mana itu kopi tadi buat si Gara. Sampai keselek tuh anak orang. Untung aja, dia enggak apa-apa. Eh, bukannya menyesal dan minta maaf, dia malah tambah nginjak kakiku pakai kaki ukuran jumbonya, Yah."

Ayah menatapku dengan sorot penuh penghakiman.

"Abang berlebihan, Yah. Aku tuh enggak sengaja. Lagian, Abang tuh seharusnya enggak semena-mena kalau nyuruh Indah. Jangan gara-gara lahirnya duluan, terus jadi diktator begitu, dong!" Aku buru-buru memberikan pembelaan diri. "Udah begitu, mulut Abang tuh lemas banget, Yah. Udah kayak akun gosip di Instagram aja. Sembarangan bilang ke ka Liam kalau diam-diam aku udah lama naksir dia."

"Lha, 'kan kenyataannya memang begitu!" sahut Bang Aksan masih nyolot.

Aku hampir saja menjambak rambut pria itu seandainya tak dicegah oleh Ayah.

Setelahnya, Ayah mendesah keras. Tangan kanannya terangkat untuk memijat pelipis.

"Besok, Ayah mau ke panti jomblo aja," ucap Ayah dengan gaya sedih dan putus asa.

Aku mengernyit. Sementara, Bang Aksan justru tertawa geli.

"Cara Ayah sudah terlalu jadul. Kita udah gede, mana bisa diancam mau ditaruh di panti jomblo kalau masih suka berantem." Bang Aksan terkekeh geli.

Ayah mengangkat wajah. Alisnya bertaut dengan dahi berkerut.

"Siapa bilang Ayah mau bawa kalian ke panti? Justru Ayah yang mau mengajukan diri jadi anak adopsi. Siapa tahu ada Tante cantik yang mau merawat Ayah."

Aku dan Bang Aksan berteriak bersamaan, "Ayah!"

Flashback End 

Ingatanku hal itu membuatku malu sendiri, marah.