1 Sebuah Pertemuan

Untuk Sebuah Permulaan Aku Perlu Bersabar Dengan Rasa Yang Menggebu.

•••••

Iri rasanya melihat deretan buku terpajang menyilaukan mata di toko-toko buku besar. Aku suka membaca novel maupun buku non fiksi yang setidaknya bisa mengobati rasa futur dalam diriku dan menghilangkan rasa bosan. Aku tak pandai bergaul dengan orang-orang baru. Hanya beberapa orang saja yang bisa Aku ajak bicara panjang lebar. Buku diary dan aplikasi catatan keep lebih sering menemani kekosongan hatiku.

Ah, terbesit sebuah angan kalau saja keberuntungan berpihak kepadaku. Ingin rasanya ada satu buku karyaku yang terpajang di toko ini dan diminati banyak orang. Aku tak mengharapkan royalti, hanya ingin berbagi sebuah rasa dan karya yang di apresiasi.

Aku masih memandangi sebuah buku bersampul biru yang kuraba penuh angan. Mungkinkah?.

"Ina? Inara kan?"

Seorang muslimah bercadar dengan gamis dan khimar hitam menyapaku. Membuyarkan anganku yang terlampau tinggi namun krisis inspirasi.

"Oh, iya saya Inara. Kamu ini?"

"Khansa."

Seketika mataku terbelalak melihat sosok didepanku adalah teman semasa di SMA yang pada masanya dikenal anarkis dan pemabuk itu.

"Maasya Allah— Khansa? Gimana…"

"Kita ngobrolnya sambil duduk aja yuk, biar enak." Khansa memotong ucapanku seolah tau isi kepalaku dipenuhi oleh tanda tanya. Kami pun keluar dari toko buku dan pergi menuju ke cafe untuk memecahkan segudang misteri yang menghantui pikiranku. Pertemuan ini pun terasa begitu asing dan aneh bagiku.

Khansa benar-benar menjadi wanita yang berbeda dengan dirinya lima tahun yang lalu. Aku sendiri bahkan tak sesempurna dirinya yang mampu menutup aurat seterjaga itu. Aku hanya seorang mahasiswi semester akhir yang masih terombang-ambing oleh masa depan. Rasa iriku bertambah satu list lagi.

Jalan bersanding dengannya membuatku nyaman, entah kenapa. Memang terngiang-ngiang di kepalaku tentang statement buruk mengenai cadar, tapi kuakui bersamanya tak ada rasa takut ataupun was-was akan terjadi hal buruk kepadaku. Kami duduk di sisi kanan dekat jendela. Obrolan kami pun dimulai dengan mengisahkan masa SMA yang biasa-biasa saja kurasakan. Berbeda dengan Khansa yang hidupnya memang penuh dengan drama dan kepiluan. Aku tak mampu membayangkan jika Aku berada di posisinya.

Khansa adalah anak semata wayang yang lahir dari keluarga berkecukupan. Namun nahas, ibunya meninggal di usianya yang masih 3 tahun dan tinggal bersama ayahnya yang awam tentang agama. Khansa yang malang, masa kecilnya kurang kasih sayang dari ayahnya karena sering ditinggal bekerja berangkat pagi pulang petang. Dia melalang buana, kesepian, stress, pergaulannya pun semakin bebas karena kurangnya pengawasan dan didikan dari ayahnya, sedangkan keadaannya sedang butuh seorang teman.

"Oh iya, Khansa— boleh nggak kalau nanti kisah kamu aku tulis buat bahan inspirasi?"

"Boleh, silahkan aja asalkan bermanfaat."

Aku lega mendengar jawabannya yang terdengar ringan tanpa ada keterpaksaan ataupun gelagat yang mencurigakan. Khansa pun mulai mengisahkan masa-masa sulitnya.

__

Alhamdulillah…

Saya harap kisah Khansa bisa menginspirasi banyak orang.

avataravatar
Next chapter