webnovel

Sekretaris Willona

Willona Adara Paramadhita—perempuan cantik bertalenta dengan otak cerdas. Ia harus mendapati perusahaan keluarganya bangkrut dan memaksa dirinya untuk menjadi seorang sekretaris dari Kenan Argadinatha—Argants Contructions Corporation. Sudah dua tahun lamanya Willona menjadi sekretaris Kenan menghadapi sikap dingin, angkuh, dan tak berperikemanusiaan memberinya lembur setiap malam. Lalu apa yang membuat Willona bertahan? Gaji besar! Jelas. Orang buta pun tahu jika seorang Kenan tak akan memberi gaji kecil kepada siapa pun yang berada di lingkup kerjanya. Dan hal inilah yang membuat Willona bertahan hingga detik ini. Namun, suatu malam mengubah segalanya. Willona harus menghadapi pernikahan mendadak dari keluarganya hanya karena sebuah janji. Terpaksa, hanya itulah kata keluar dari mulutnya untuk mengiyakan. Willona tidak menyangka seseorang yang telah menjadi suaminya adalah bossnya sendiri. Dan hal itu yang membuat Willona membrontak dalam hati karena mendapati Kenan bukanlah lelaki single. Dia mempunyai kekasih. Lalu, apa yang akan dilakukan Willona? Memilih bercerai atau tetap mempertahan pernikahan dengan menahan sesak di hati?

SenyaSSM · Urban
Not enough ratings
18 Chs

Jangan Membenci

Willona berdecak mendengar pertanyaan Kenan. Jika apa yang dipikirkan Kenan benar, Willona pasti sudah melakukan itu jauh-jauh hari. Mengingat hubungan dirinya dan Kakek Bimo begitu baik.

Tak ayal membuat rencana itu akan berjalan mulus bukan?

"Katakan padaku, apa lagi rencanamu?" todong Kenan tanpa mengalihkan pandangan pada Willona.

"Menjauhlah, Pak." Willona mendorong bahu kekar Kenan. "Jika saya mengatakan semuanya, apa Bapak akan percaya?"

Kenan bergeming.

Willona menghela napas dalam. Diamnya Kenan adalah bukti dari jawaban lelaki itu yang masih memaksa Willona mengatakan semuanya.

"Yang ingin Bapak tau apa? Apa Anda menuduh saya ingin merebut harta warisan Bapak?"

Jari telunjuk perempuan itu menunjuk pada dirinya dengan kedua alis menukik. Menatap tak percaya dengan mulut ternganga.

"Saya memang ingin merebut harta Pak Kenan. Perusahaan, rumah, dan seluruh aset. Lalu apa lagi yang ingin Anda dengar dari mulut saya?

"Apa masih kurang Pak Kenan, oh ya satu lagi. Saya juga ingin anak saya mendapatakan seluruh harta tanpa terkecuali. Saya tidak ingin anak saya kelak hidup susah."

"Jangan bermimpi. Kautau itu semua sangat mustahil terjadi. Dan kuperintahkan kau, jangan pernah mengambil keputusan tanpa perintahku.

"Kau sangat lancang mengiyakan permintaan Mr. Hamingston, apa kau siap menerima seluruh tuntutan dari perusahaan ... termasuk kau bisa saja masuk deruji besi." Lanjut Kenan menatap dekat bola mata bening Willona yang nampak kaku dengan leher tegangnya tak dapat ditutupi.

Kenan menekan seluruh kata yang terlontar dari mulutnya. Tak ada satu pun kalimat yang tak syarat akan ancaman. Atomsper di dalam mobil sungguh menakutkan, membuat buku kuduk Willona berdiri.

"Dan satu hal lagi, anak itu bukan keinginanku. Jadi kau jangan berharap lebih untuk memintaku mengakui."

Willona membuang napas kasar dengan mata masih membulat sempurna. Ia tak menyangka mendengar kalimat tajam Kenan, meski ia sudah ribuan kali mendengar kalimat menyakitkan dari lelaki itu. Namun kali ini berbeda, hatinya terasa pilu.

'Dasar lelaki tak punya hati. Memang siapa yang ingin hidup denganmu? Cih, aku ingin cepat hamil hanya untuk terbebas dari kehidupan terkutuk ini,' batin Willona mendengkus kesal.

Willona meremas kain rok pendeknya kuat melampiaskan kekesalan hatinya yang begitu menggebu.

Di sisi lain, Kenan telah berubah menjadi sosok yang lebih dingin lagi. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan yang luar biasa, hingga tak terasa mereka telah sampai di pekarangan luas rumah Kenan yang dipenuhi oleh penjaga.

"Pak Ken—"

"Dasar lelaki gila," umpat Willona ketika mendapati Kenan sudah lebih dulu keluar dari mobil. Tubuh Willona berjengkit karena hantaman pintu mobil yang begitu kasar.

"Mimpi apa aku sampai bisa menikahi boss segila pak Kenan."

Perempuan cantik itu pun langsung menyampirkan tali tas kecilnya di bahu, mulai menampakan hills-nya menyentuh paving.

"Nyonya ...."

Suara itu membuat tubuh Willona memutar reflek pada asal suara tersebut.

"I ... iya. Ah, Pak Renan. Anda di sini?"

Willona tersenyum kaku mencoba mengedarkan mata ke seluruh sudut tempat, berusaha sekuat mungkin mengendalikan keterkejutannya. Ia yakin lelaki yang berada di depannya tak akan membiarkan dia datang sendiri tanpa seseorang yang sedang berlarian di benak Willona.

"Itu, Pak Kenan. Anda tidak perlu memanggilku 'Nyonya' panggil saja Willona," kata Willona dengan lirih untuk kesekian kali. Ia takut jika ada seorang pun yang akan mendengar statusnya.

"Tidak bisa, Nyonya Muda. Silahkan masuk ke dalam. Tuan Bimo dan Tuan Muda sedang menunggu Anda," balas Pak Renan sembari menunjukkan jalan di depan mereka.

Willona meneguk ludah kasar menatap cemas pada cahaya terang yang terlihat dari celah pintu yang terbuka.

"Apa aku boleh bertanya, Pak?"

"Silahkan, Nyonya ...."

Willona gemas dengan lelaki di depannya. Lidah Willona sudah terasa begitu kelu hanya untuk mencegah Pak Renan memanggilnya seperti itu. Dan sekarang, perempuan tersebut hanya bisa menghembuskan napas lelah.

Terserahlah. Suka-suka Pak Renan.

"Apa kakek akan menginap di sini?"

"Benar, Nyonya. Kami juga baru saja memasukkan koper milik Tuan Besar. Apa ada masalah, Nyonya?"

****

Berbeda suana di dalam rumah. Seorang lelaki separuh baya sedang menatap mata tajam nan indah mirip dengan manik sang putra yang sudah lama meninggal. Ia seperti mengulas kembali kenangan indah itu.

"Sampai kapan kau seperti ini, Kenan. Willona adalah yang terbaik. Tapi, hingga sampai saat ini aku tak kunjung juga mendapatkan berita baik dari sebelumnya.

"Apa kau sedang membuat guyonan denganku?"

Kenan memainkan benda pipih dengan layar gelap tergeletak di depan hidung mancungnya. Berputar seiring dengan perintah dari jari besar sang tuan.

"Sepertinya aku mandul, Kek. Aku akan meminta Willona menikah lagi, atau tidak kami mengadopsi anak dari panti asuhan."

Jawaban Kenan yang begitu mudah terlontar membuat Kakek Bimo menggeram. Ia tak menyangka kalimat ini terulang kembali menggaung di gendang telinganya.

"Jangan ingat lagi. Kau jangan beralasan mandul sebagai alasan tidak ingin mempunyai anak, Kenan."

"Ini apa ...." Kakek Bimo melempar sebuah kertas putih dengan label sebuah rumah sakit ternama di kota ini.

Kenan pun mengambil kertas tersebut yang jatuh di depan dada bidangnya. Tatapan lelaki itu turun, memperhatikan setiap kalimat yang ada di sana.

"Sejak kapan Kakek memeriksakan kesehatanku sampai kesuburanku?"

Kepalanya menggeleng dengan bola mata bergulir kembali membaca kelanjutan dari dua kertas tersebut. Kenan tak percaya kakeknya bisa jauh lebih cerdik dibandingkan dirinya.

"Tidak perlu beralasan lagi."

"Masa lalu biarlah menjadi kenangan. Kau tak perlu menyalahkan dirimu, Kenan. Kau butuh penerus, Kakek juga perlu kehadiran cicit. Umur Kakek sudah tak muda lagi," sambung Kakek Bimo sendu.

Kakek Bimo tahu betul kecemasan yang sedang diresahkan sang cucu. Seluruh masa lalu menghantam kehidupan Kenan menjadi lebih keras dan dingin. Jika bukan karena dirinya, Kakek Bimo pasti tak akan merasa bersalah seperti ini.

"Mungkin ini semua salah. Aku yakin aku lelaki lemah, dan tidak bisa menghasilkan keturunan. Maafkan aku, Kek. Aku lelah, kita bicarakan nanti."

Kenan meletakkan kasar berkas yang tadi digenggamnya. Ia membuang wajah, tak lagi ingin membahas hal yang sudah lama ia tinggalkan tanpa sisa.

"Kau ingin ke mana? Aku belum selesai bicara," sergah Kakek Bimo dengan mata melotot saat tubuh sang cucu telah menjulang tinggi.

"Aku lelah, Kek. Aku butuh istirahat, pekerjaanku akhir-akhir ini sangat banyak."

"Kenan!" pekik Kakek Bimo saat melihat Kenan justru berjalan tanpa meninggalkan dirinya di ruang tamu. "Sampai kapan kau membenci mamamu?"

Pertanyaan itu sontak membuat langkah lelaki tampan itu berhenti. Tubuh kekarnya perlahan berbalik, menatap mata Kakek Bimo yang terlihat tajam, tetapi nampak terlihat sangat jelas akan guratan kesedihan yang selama ini ia pendam.

"Mamaku? Dia bukan ibu kandungku. Ibukku adalah Bu Mira," jawab Kenan tanpa berpikir dua kali.

"Mira bukan ibu kandungmu, Kenan. Dia hanya pengasuhmu. Kau boleh membencinya, tapi jangan lupa darah mamamu mengalir pada tubuhmu," ungkap Kakek Bimo berapi-api.

Kenan mengulas senyum sinis. "Aku tau, maka dari itu aku berulang kali ingin membunuh diriku sendiri karena darah wanita itu ada pada tubuhku."

"Kenan, jaga mulutmu."