21 Satu Mobil Box

"Kau ingin aku mencari pembalut untukmu?" Erland terperanjat dengan permintaan Arisha. Seumur-umur dia sangat menjauhi benda yang bernama pembalut. Semua itu karena dia pernah memegang pembalut bekas orang yang dulu dicintainya.

"Iya, kau tak lihat bokongku merah, nih!" Arisha menunjukkan bokongnya yang tembus. Tadinya darah haid itu tembus di depan, tapi dia sudah membalik celananya jadi di belakang.

"Hei kau tak punya malu memperlihatkan bokongmu padaku?" Erland memalingkan wajahnya. Dia malu melihat bokong Arisha ada noda merah di bagian tengah.

Arisha berbalik menatap Erland dan berkata, "Ku mohon!" Tangannya menyatu di depan dada. Memohon pada Erland agar mau mencarikannya pembalut.

"Heh! Repot sekali punya istri," keluh Erland. Dia menekuk mukanya, tidak suka dengan permintaan Arisha.

"Ayolah! Aku akan melakukan satu hal yang kau suka." Arisha memberi penawaran agar Erland mau mencarikannya pembalut.

"Oke, pegang kata-katamu! Ini semua ini tidak gratis, ada harga yang harus kau bayar mahal," jawab Erland. Saatnya memanfaatkan wanita bercadar itu.

"Iya-iya, cepatlah! Sebelum tembusnya semakin banyak." Mau tak mau Arisha mengiyakan apa yang dikatakan Erland. Yang penting bisa mendapatkan pembalut dengan cepat.

Erland beranjak dari ranjang. Dia berdiri dan memperhatikan celananya bagian depan.

"Ini apaan? Warnanya kaya ...," ucap Erland memandangi celana di bawah perutnya. Ada bekas noda darah yang terlihat jelas.

"I-itu darah haidku," jawab Arisha melihat Erland kebingungan dengan darah di celananya. Dia sangat malu darah haid itu tembus juga di celana Erland gara-gara dia tidur di atas tubuhnya.

"Apa? Darah haid?" tanya Erland sambil menunjuk ke celananya.

Arisha mengangguk sambil tersenyum polos karena merasa bersalah.

"Cepat bersihkan celanaku!" titah Erland. Dia jijik kalau harus menyentuh apalagi memegang bekas darah haid itu.

"Iya!" jawab Arisha tampak kesal. Dia menghampiri Erland. Duduk di depan celananya lalu hendak membuka celana itu. Namun tangan Erland menghentikan apa yang akan dilakukan Arisha.

"Kau mau melecehkanku?" tanya Erland.

"Melecehkan? Kau sendiri yang minta aku membersihkan celanamu," jawab Arisha yang masih duduk di depan celana Erland.

"Iya, tapi kau mau ngapain? Pasti kau penasarankan seberapa besar milikku?" Erland menatap Arisha dengan tatapan mesumnya.

"Mau besar atau kecil gak tergoda tuh. Lagian udah sering diobral gak limited lagi," jawab Arisha. Dengan mudah mengsmash ucapan Erland yang mesum.

Erland cemberut. Merasa tersindir dengan ucapan wanita bercadar itu. Seakan dia barang diskonan yang siap diobral murah-meriah asal cepat laku.

"Lepaskan tanganmu! Biar ku cuci celanamu."

Erland pun melepas tangannya dan membiarkan Arisha melepas celana panjang yang dikenakannya.

"Kenapa kau bengong? Punyaku memang besar." Erland heran melihat Arisha termenung menatap ke depan lalu menutup wajahnya.

"Erland, kau sedang memikirkan hal mesum ya?" tanya Arisha. Dia tidak berani melihat langsung hanya menutup matanya dengan kedua tangannya.

"Siapa yang mesum setiap pagi memang begini," jawab Erland. Menjelaskan kebiasaan barang penting miliknya.

"Ah ..., memalukan. Bilang dong dari tadi." Arisha nyesel sudah terlanjut membuka celana Erland kalau ternyata akan seperti ini.

"Bukannya kau penasaran ya? Wanita sepertimu pasti belum pernah melihatnya," jawab Erland. Dia yakin istrinya pasti sangat terjaga. Belum tersentuh laki-laki manapun apalagi memegang yang belum halal.

"Gak, gak penasaran." Arisha tetap menutup wajahnya. Tak penasaran dengan apa yang ada di depannya.

"Sampai kapan kau akan menutup wajahmu? Kita suami istrikan?" tanya Erland. Mereka berdua sudah resmi jadi suami istri. Hal seperti ini halal untuk dilihat bahkan melakukannya sekalipun.

Arisha membuka tangannya perlahan. Benar juga kata Erland, melihat tidak melihatpun sudah halal.

"Kau malu melihat itu?" tanya Erland.

"Kau masih pakai boxer mana mungkin aku malu, lagi pula aku pernah melihat itu sebelumnya," jawab Arisha. Dia keceplosan berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu.

"Kau pernah melihatku seperti ini di mana?" tanya Erland mendekati wajah Arisha yang tertutup cadar itu.

"Ee ... toilet," jawab Arisha. Asal bicara. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

Erland tertawa terbahak-bahak seperti mendengar sebuah lelucon. Mereka baru bertemu sekali bagaimana bisa wanita bercadar itu melihatnya mengenakan boxer.

Arisha langsung buru-buru bangun dan membawa celana Erland. Dia tidak ingin Erland bertanya dan berkata apapun yang akan membongkar siapa dirinya.

"Hei kau mau ke mana?" tanya Erland.

Arisha tak menggubris pertanyaan Erland terus berjalan meninggalkannya.

"Ternyata wanita sholeha sepertimu suka mengintipku di toilet ya?" ujar Erland.

Arisha membiarkan suara sumbang Erland mengoceh sesuka hatinya. Lebih baik mengurus celana milik Erland yang terkena darah haid. Dia bergegas masuk ke dalam toilet.

"Dia belum tahu saja rasanya, kalau tahu pasti ketagihan," gumam Erland. Kemudian mengambil celana pendek di lemari dan memakainya.

"Haruskah aku mencari pembalut untuknya?" Erland bingung. Tapi hanya dia yang bisa menolong wanita bercadar itu.

Erland melangkahkan kakinya ke luar. Pergi ke kamar Renata meski ada keraguan di dalam hatinya. Erland berdiri di depan pintu. Menarik nafas panjangnya dan menghembuskan perlahan. Dia bersiap mengetuk pintu itu. Baru saja tangannya mengudara, Erland langsung menghentikannya. Dia tidak jadi mengetuk pintu kamar Renata.

"Untuk apa aku bertanya padanya?" Erland membatalkan niatnya. Dia berjalan meninggalkan kamar Renata.

Baru beberapa langkah ke depan suara Renata memanggil Erland. Membuat langkah kakinya terhenti.

"Apa semalam kau tidur dengannya?" tanya Renata.

"Menurutmu apa yang dilakukan pengantin baru di malam pertamanya?" jawab Erland. Dia tidak perlu memberitahu apa yang terjadi sebenarnya pada Renata.

Renata terdiam dan mengepalkan tangannya. Dia ingin sekali membuat wanita bercadar itu hancur.

"Kau mencintainya?" Renata bertanya. Matanya berkaca-kaca. Sakit rasanya saat bertanya hal itu pada Erland.

"Kalau aku tidak mencintainya untuk apa aku menikah?" Erland menjawab lalu meneruskan langkah kakinya, menuruni tangga. Tinggal Renata yang menangisi kepergian Erland.

"Sialan! Wanita bercadar itu perebut kekasihku!" Renata marah. Mengepalkan tangannya. Ingin sekali membuat perhitungan dengan Arisha.

Di sisi lain Arisha yang menunggu Erland di kamarnya mendengar suara mobil box terdengar riuh di halaman depan. Arisha langsung menuju ke balkon kamarnya. Dia melihat mobil box ada di halaman depan.

"Mobil box itu membawa apaan?" Arisha penasaran dengan mobil box di halaman. Ada Erland yang sedang mengarahkan beberapa lelaki untuk membawa kotak-kotak kardus masuk ke dalam rumah.

Tak lama pintu kamar Arisha diketuk. Bergegas Arisha membuka pintu kamarnya. Dia terbelalak melihat dua orang membawa kardus masuk ke kamarnya dan menata kardus itu di dekat laci. Mereka melakukan itu berkali-kali hingga kardus itu berjejer sampai tinggi di kamarnya.

Arisha mendekati kardus yang berjejer itu. Dia membaca tulisan dan melihat gambar di kardus.

"Ini pembalut. Sebanyak ini?" Arisha terkejut melihat pembalut sebanyak itu ada di kamarnya.

"Bagaimana? Aku sudah membelikanmu pembalutkan?" ujar Erland sambil masuk ke dalam dan menghampiri Arisha.

"Tapi ini banyak banget Erland." Arisha geleng-geleng. Minta dibelikan pembalut bukan berarti memborong pembalut.

"Biar kau tak lagi menyuruhku membeli pembalut seumur hidupmu," jawab Erland.

Arisha terdiam. Masih tercengang dengan pembalut sebanyak itu. Memangnya dia akan haid setiap hari sampai Erland membeli semua itu.

"Aku lapar ayo sarapan!" ajak Erland.

"Aku pakai pembalut dulu," jawab Arisha.

Erland mengangguk.

"Ke luarlah dari kamar! Sekarang!" titah Arisha. Mana mungkin dia berganti pembalut di depan Erland.

"Aku suamimu, jangankan berganti pembalut. Menyentuhmu pun boleh," sahut Erland.

"Oke, aku pakai pembalut di sini! Di depanmu!" tantang Arisha yang kesal. Biarkan saja Erland melihatnya. Dia mulai menurunkan celananya.

"Jangan membuka celana di depanku!" Erland sangat malu dia langsung berbalik.

Arisha hanya tersenyum kecil. Erland pikir dia benar-benar akan membuka celananya.

"Oke aku ke luar." Erland berjalan meninggalkan kamar. Dia berdiri di depan pintu menunggu Arisha. Tak lupa memainkan game online di hanphone untuk mengusir kebosanannya.

"Erland sudah," ucap Arisha. Dia sudah mandi dan mengganti pakaiannya. Arisha mengenakan dress panjang mirip gamis. Berbahan katun dan bermotif bunga-bunga dengan cadar polos yang menutup wajahnya.

Erland menoleh ke arah Arisha. Dia tersenyum tipis melihat wanita bercadar itu sudah rapi.

"Gandeng tanganku! Buat semua orang percaya kalau kita sudah melakukan malam pertama yang panas." Semua orang harus percaya kalau mereka suami istri sungguhan bukan menikah kontrak.

Arisha mengangguk. Dia menggandeng tangan Erland. Ketika tangannya itu menyentuh tangan Erland, Arisha menatap wajah lelaki tampan itu.

"Kenapa?" tanya Erland. Matanya menatap mata wanita bercadar itu. Sampai kedua mata mereka bertautan.

"Tidak apa-apa, aku tak pernah memegang tangan laki-laki sedekat ini," jawab Arisha. Jantungnya berdebar tak karuan. Dia sangat gugup harus menggandeng tangan Erland.

"Mulai hari ini kita akan bermesraan di depan umum, jadi kau harus terbiasa." Erland menyadari istrinya itu pasti belum terbiasa bersentuhan dengan lelaki. Tangannya gemetaran saat menggandeng lengan Erland.

Mereka berdua turun ke bawah. Masuk ke ruang makan. Di sana semua anggota keluarga sudah berkumpul. Dari Victoria, Sisilia, Renata dan Bara.

"Maaf kami kesiangan, semalam begitu panjang," ujar Erland. Arisha malu saat Erland mengatakan hal itu. Dia hanya menunduk dan duduk di kursi yang sudah dibukakan Erland untuknya.

"Makasih sayang," ucap Arisha.

Erland tersenyum tipis mendengar wanita bercadar itu masih kaku mengucapkan kata sayang.

Erland duduk di samping Arisha. Sedangkan Bara ada di samping kiri Erland terlahang satu kursi yang kosong. Begitupun Renata yang duduk di samping kiri Bara.

"Kau sudah membuat kami semua kelaparan menunggumu," celetuk Bara. Tampak kesal karena harus menunggu kedua pengantin baru itu.

"Bara, kau seperti belum pernah jadi pengantin baru," sindir Victoria. Menatap ke arah Bara. Dia ingat betul Bara malah bangun siang saat hari pertamanya jadi pengantin baru.

Bara langsung terdiam. Mana mungkin dia melawan Victoria. Itu akan membuat image buruk di depan neneknya, apalagi posisinya yang sekarang membuat Bara merasa tak berguna.

"Mari kita makan! Dan jangan lupa berdoa." Victoria selalu menyuruh semua anggota keluarganya untuk berdoa sebelum makan. Itu sudah jadi tradisi di keluarganya.

Mereka semua mengangguk. Berdoa lalu makan bersama. Arisha berusaha melayani Erland selayaknya istri. Dia tahu meski ini pernikahan kontrak di mata semua orang dia istri sah dari Erland Dewangkara.

"Makasih sayang." Kata-kata manis yang ke luar dari mulut Erland membuat Arisha merinding. Erland mengatakan kata itu seakan tulus dari hatinya.

"Setiap hari dia bicara itu aku bisa overdosis," batin Arisha. Di kantor dimesumin dan di rumah dimanisin. Seperti terngiang-ngiang di telinganya.

Arisha mengangguk dan tersenyum pada Erland meski disebalik cadarnya. Kemudian Arisha mulai memakan makanannya tanpa melepas cadar yang dikenakannya.

"Sialan, wanita itu sok manis di depan Erland, lihat apa yang akan ku lakukan agar bisa sepertimu," batin Renata. Dia tidak suka dengan sikap Arisha yang merebut Erland darinya.

Renata sengaja menumpahkan sup di mangkuknya hingga rok pendeknya basah semua.

"Yah tumpah." Renata mengibas-ngibaskan roknya.

Melihat itu Bara langsung membantunya. Dia memberi tisu pada Renata dan membantu istrinya mengelap air sup yang membasahi rok mininya.

"Sepertinya kau harus ganti rok sayang."

"Iya Mas, aku ganti rok dulu ya," sahut Renata. Itu memang yang dia inginkan. Sesuai dengan rencananya. Sementara itu Victoria dan yang lainnya hanya diam dan menikmati makanan mereka.

Renata meninggalkan ruang makan. Dia berganti pakaian lalu kembali ke ruang makan. Duduk tepat di samping Erland dengan beralasan kursinya basah. Semua orang hanya diam tak menanggapinya kecuali Bara yang begitu perhatian padanya.

Renata duduk dengan senyuman lebarnya. Semua sudah berjalan sesuai rencananya. Dia harus bisa mendapatkan Erland kembali. Perlahan sambil makan Renata meletakkan kaki kanannya di paha Erland. Seketika Erland terperanjat, matanya membulat. Dia menoleh ke samping. Renata hanya tersenyum tipis dan memberi kedipan mata nakalnya pada Erland.

"Renata, apa yang kau mau?" batin Erland. Dia kembali fokus makan membiarkan Renata meletakkan kaki di pahanya. Namun hal itu diketahui Arisha. Dia tahu kaki kanan Renata ada di paha Erland.

"Dasar wanita sundal, sudah punya suami menggoda suami orang, biar kupuaskan dahagamu," batin Arisha. Dia tidak suka dengan kelakuan Renata.

Arisha menyentuh kaki mulus Renata. Mengelusnya perlahan dan penuh kelembutan.

"Dia pasti mengira Erland yang mengelus kakinya tapi ternyata Erland kw," batin Arisha senang sekali mempermainkan wanita yang sudah menggoda suaminya secara terang-terangan.

"E-enak, tak ku sangka Erland begitu bernafsu," batin Renata. Dia merem melek sambil menikmati makanannya. Dia tidak curiga sama sekali tangan Arishalah yang mengelus kakinya.

avataravatar
Next chapter