webnovel

Cadangan Atau Simpanan

"Lucky?" tanya Elen.

            Terdengar suara kikuk dari hp yang saat itu digunakan Elen untuk menerima panggilan itu. Sepertinya benar apa yang sedang Elen pikirkan, bahwa suara yang ada di balik panggilan itu adalah suara Lucky.

"Iya, saya ingin bertemu nanti siang di café dekat kampus, saya harap kamu bisa datang," ucap Lucky.

            Tidak lama dari suara Lucky yang kembali mempertegas keinginannya untuk bertemu, terdengar suara panggilan sudah diakhiri lebih dulu oleh Lucky. Saat itu terlihat raut wajah Elen yang tidak suka dengan tingah Lucky.

"Arggghhh! Dasar dosen gak tahu diri," teriak Elen.

Cika menoleh kepada Elen.

Dengan tatapan bingung, Cika bertanya, "Kenapa?"

            Dengan penuh emosi Elen menceritakan tentang ajakan dadakan yang diberikan oleh Lucky kepadanya, beberapa hal yang tidak Elen suka dari cara Lucky mengajaknya bertemu. Pertama, Elen tidak suka jika ada nomor tidak dikenal menghubunginya. Kedua, cara Lucky yang mengajak Elen secara tiba-tiba dan sudah menentukan tempat serta waktunya, tanpa bertanya kepada Elen apakah Elen bersedia di waktu yang telah ditentukan atau tidak. Ketiga, cara Lucky yang tiba-tiba saja mematikan panggilannya tanpa menunggu respon dari Elen terlebih dahulu.

"Mungkin lagi buru-buru," ucap Cika.

            Elen tidak peduli dengan respon ataupun tanggapan Cika yang berusaha untuk berpikir positif kepada Lucky. Elen merasa bahwa Lucky tidak tahu cara bersikap baik dan meminta tolong kepada orang lain. Dann pada saat ini, Elen bingung, apakah ia harus mengiyakan ajakan Lucky atau menolak ajakan Lucky tanpa adanya konfirmasi.

Lucky sudah menentukan waktu pertemuan mereka pada pukul 19.00.

Saat ini, jam dinding sudah menunjukkan pukul 18.50, kurang 5 menit lagi, tetapi Elen masih bermanja-manjaan dengan pakaian santainya di atas tempat tidurnya seraya menatap layar hpnya. Bahkan tidak ada terbesit dalam pikiran Elen untuk datang ke café itu dan bertemu dengan Lucky.

Tiba-tiba saja Cika mengingatkan, "Gak jadi yang mau ketemu Pak Lucky?"

            Sontak, terdongak kepala Elen dan melihat ke arah Cika dengan tatapan bingung seperti orang linglung. Elen kembali memikirkan tentang apa yang tengah ingin Lucky ucapkan kepadanya, sampai akhirnya, Elen melihat ke jam dinding yang berada tepat di depan pintu kamarnya.

"Telat sudah," gerutu Elen.

            Cika masih memperhatikan seperti apa gerak-gerik yang sedang dilakukan oleh Elen. Terlihat wajah bingung yang Elen tunjukkan. Seperti tidak tahu apa yang harus ia pilih, apakah ia harus datang dan menemui Lucky atau menolak ajakan Lucky tanpa melakukan konfirmasi lagi.

"Aggghrrrr!" seru Elen.

            Tidak lama kemudian, Elen langsung mengambil jaketnya yang ia gantungkan di balik pintu kamarnya, dan bergegas keluar segera mengendarai motornya dan melajukannya ke tempat yang telah Lucky pilih untuk pertemuan mereka malam hari ini.

            Sementara Cika yang pada saat itu masih menatap bayang-bayang kepergian Elen, sesekali menghela nafas dan sedikit bergerutu tentang Elen yang tidak mungkin bisa menolak ajakan seorang anak rektor untuk bertemu. Karena, rasa penasaran yang ada pada diri Elen sangat besar, mau tidak mau untuk mencaritahu jawaban itu, Elen harus menemui Lucky.

            Disepanjang jalan, Elen mencoba menerka-nerka apa yang akan dibicarakan oleh Lucky. Tetapi, beberapa hal tidak bisa Elen pikirkan, tentang motif yang bersembunyi dibalik ajakan Lucky untuk segera menemuinya.

            Saat Elen sudah sampai di depan café, ia melihat sebuah mobil berwarna putih sedang terparkir dengan rapi di tempat parkir café itu. Elen dengan sigap mengira bahwa itu adalah mobil Lucky. Dengan tergesa-gesa Elen segera masuk ke dalam café.

            Ia mencoba mencari dimana Lucky, tetapi Elen tidak menemukannya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Elen. Elen menoleh kepada orang itu, dan ia dapat meoihat wjaah Lucky yang tengah menatap wajah elen.

"Baru nyampek?" tanya Elen.

Lucky mengangguk seperti orang tidak bersalah.

            Setelah mengetahui bahwa Lucky yang baru saja sampai di café itu dibandingkan dirnya, Elen kembali merasakan emosinya yang sedang dipermainkan oleh Lucky. Sontak saja, wajah Elen berubah menjadi kesal.

"Ayok kita duduk dulu, sambil memesan sebuah minuman," ajak Lucky.

            Elen menghela nafasnya dan berusaha untuk mengontrol emosinya, ada banyak amarah dalam diri Elen yang ingin sekali ia lampiaskan kepada Lucky. Tetapi, megingat dirinya saat ini ada di dalam café yang didalamnya berisi banyak mahasiswa, alhasil Elen mengurungkan niatnya.

Dalam hati Elen bergerutu, "Apa yang sedang ingin disampaikan oleh dosen nyebelin ini?"

            Sikap Lucky pada saat itu sangat manis, ia bahkan mempersilahkan Elen untuk duduk di sebuah sofa. Setelah itu, Lucky basa-basi tentang menu yang hendak ingin Elen pesan. Tidak lama dari itu, mereka memutuskan untuk mengambil beberapa menu dari sekian banyaknya menu yang ada.

            Elen merasa ada yang janggal dari cara Luvky memperlakukan dirinya, terlihat sangat manis tetapi sedikit munafik. Sebab, yang saat ini sedang Lucky tunjukkan adalah sebuah kemunafikan. Elen paham, bahwa ada sesuatu yang sedang Lucky inginkan dari Elen.

"Sudah, langsung to the point saja, Pak Lucky menyuruh saya datang kesini untuk apa? Apakah ada kepentingan yang mendesak sampai-sampai tidak bisa menunggu besok hari untuk disampaikan di kampus saja?" tanya Elen.

"Apakah kita tidak mau menunggu menunya terlebih dulu?" Lucky balik bertanya.

            Elen merasa sangat membuang waktunya ketika harus menunggu menu yang baru saja mereka pesan datang keluar. Sebab, ada rasa penasaran yang sedari tadi menghantui Elen. Rasa penasaran ini seperti sebuah prasangka bahwa Lucky akan meminta sesuatu yang tidak Elen inginkan.

"Tidak perlu!" ucap Elen.

            Dengan wajah dipenuhi emosi dan hambar tanpa senyum, Elen mengatakan dua kata yang menurutnya kalimat itu merupakan kalimat penegas, bahwa saat ini elen sedang tidak ingin membuang waktunya hanya untuk Lucky.

            Mendengar ucapan Elen, Lucky mengambil nafasnya, dan berusaha untuk menatap wajah Elen. Terlihat raut wajah serius yang mulai Lucky tunjukkan. Saat itu, Elen merasa ingin segera mengakhiri pertemuannya dengan Lucky. Elen tidak bisa menerima tatapan Lucky yang dalam itu.

"Lebih baik langsung katakan saja, Pak," ucap Elen.

            Lucky mulai mengatakan apa yang ingin ia katakan, dari sekian banyaknya ucapan yang Lucky katakana, akhirnya pembicaraan itu diakhiri dengan sebuah kalimat mengejutkan. Hal ini tidak pernah terpikirkan oleh Elen, karena pertemuan pertama kalinya oleh Lucky hanya sebatas pertolongan yang didasari atas rasa kemanusiaan.

            Elen tidak pernah menyangka bahwa dengan mudahnya, Lucky memutuskan untuk melakukan hal itu bersama dengan Elen. Orang asing yang Lucky ketahui bahwa status Elen pada saat ini adalah sebagai mahasiswinya.

            Terlihat wajah Lucky yang dipenuhi dengan cemas-cemas harap. Ia berharap bahwa Elen akan menyetujuinya.

"Saya ingin kamu menjadi pacar sewaan saya, apakah kamu bersedia?" tanya Lucky.

Mata Elen seperti akan keluar menerima dan mendengar pertanyaan itu.