4 Pertemuan Tak Sengaja

Hari Sabtu biasanya dimanfaatkan oleh Melody untuk bersantai. Setelah berjibaku dengan kegiatannya hingga hari Jumat, sudah saatnya bisa memanjakan diri sendiri. Setelah membereskan apartemennya, ia menghubungi sang ibu yang berada di kota kelahirannya. Sudah hampir satu minggu ini ia tidak bertukar kabar.

"Kamu gimana, Nak?" suara lembut yang sedang Melody rindukan menyapanya dengan sambungan video call.

"Baik, Bu. Lagi banyak kerjaan, maaf Melody belum sempat pulang. Belum bisa cuti," jawab Melody. Ia kembali tenang setelah memastikan ibunya baik-baik saja.

"Yang penting sehat, Nduk. Kamu gak lupa pesan ibu?" tanya Santi kepada anaknya.

"Gak lupa, Bu. Melody sedang usaha dan ibu bantu doa biar cepat terwujud," sahutnya paham dengan maksud ibunya. Santi memang mengkhawatirkan Melody yang terlalu santai dengan umur. Ia tenggelam dalam kesibukannya bekerja setelah kandasnya kisah cintanya dengan Ezra. Pria yang dipacarinya hampir tiga tahun tersebut memilih menikah dengan pilihan ibunya dibandingkan dengan mempertahankan hubungannya dengan Melody saat itu.

"Hari ini mau kemana, Nduk?" Santi bertanya kegiatan Melody ketika libur. Biasanya wanita itu memilih ke salon langganannya untuk merawat wajah dan tubuhnya.

"Biasa Bu, nyalon dulu terus cari buku." Melody terkikik ketika ibunya menautkan kedua alisnya penasaran.

"Belum dapat yang cocok, Bu. Doain dong," kata Melody menggoda ibunya.

"Sudah-sudah, kamu hati-hati dijalan dan jangan malam-malam pulangnya." Santi mematikan sambungan video call dengan anaknya. Ia tahu, jika sudah seperti itu, artinya Melody belum mendapatkan pendamping atau teman dekat.

Melody meletakkan ponselnya di meja sudut. Ia berganti pakaian dan memoleskan bedak cushion nya sebelum berangkat ke sebuah mall. Sekedar berjalan-jalan, Melody tidak ingin malam minggunya hanya berakhir di tempat tidur dengan memutar drama Korea yang entah berapa kali sudah ia tonton.

Melajukan mobilnya, gadis itu cukup menikmati kesendiriannya. Apalagi pertemuan dengan Fiki dan istrinya semalam membuatnya berpikir beberapa kali untuk menerima ajakan menikah dari pria manapun.

Melody memasuki sebuah toko buku di mall tersebut untuk mencari novel favoritnya, setelah mendapatkan apa yang ia cari, wanita itu menuju gerai parfume branded. Melody kurang memperhatikan sekitarnya, tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seorang wanita seusia ibunya.

"Maaf, Bu. Saya tidak sengaja," kata Melody membantu Devina yang hampir terjatuh.

"Tidak apa-apa, Nak. Maaf, saya juga tidak melihat ada kamu," kata Devina yang juga meminta maaf.

"Mbak Melody?" Suara dari arah belakang Devina menarik perhatian Melody.

"Pak Panji?" Melody tidak menyangka bertemu dengan Panji di toko ini. Ternyata pria itu sedang menemani ibunya berbelanja.

"Iya, ini Mama saya, Kamu sendirian?" Panji bertanya kepadanya.

"Iya, Pak. Maaf ini tadi saya gak sengaja tabrakan dengan ibu," kata Melody.

"Tidak masalah, kalau begitu, kita duluan ya?" Devina mengelus lengannya lembut. Ia terpukau dengan kecantikan alami Melody.

"Makasih, Bu. Saya juga permisi dulu." s

Secepat kilat Melody menghilang dari pandangannya. Panji yang memperhatikan langkah gadis itu yang mulai menjauh.

"Cantik, Mama suka," kata Devina memberi komentar penampilan Melody tadi.

"Aduh, jangan aneh-aneh, Ma. Anak orang, mana mau sama pria beristri kayak Panji." Ia menggiring ibunya ke kasir sebelum berbicara macam-macam.

"Ya usaha, biar mau." Devina terkekeh dengan reaksi anaknya.

Panji memilih tidak menjawab ucapan Devina, ia fokus mengantri di kasir untuk membayar belanjaan Devina. Panji mulai merasa aneh dengan dirinya, pertemuan dengan Melody di kantor membuat jantungnya berdetak lebih kencang, sekarang tanpa diduga, wanita itu berada di tempat yang sama dengan dirinya.

Sementara itu, Melody yang sudah berada di tempat lain sedang menikmati segelas jus segar untuk mengembalikan mood nya. Entah mengapa, debaran jantungnya lebih cepat ketika berdekatan dengan Panji. Pria yang merupakan idola banyak wanita cantik di negeri ini.

"Gak bakal mau sama gue, Pak Panji punya istri cantik dan kaya, gue mah cuma debu," gumam Melody. Ia memperhatikan sekitarnya. Kedai minuman buah tersebut ramai dikunjungi pasangan muda-mudi yang tengah menghabiskan waktu bersama.

"Apes gue." Melody mengelus dadanya prihatin dengan nasibnya sendiri. Diantara banyaknya pengunjung, ia merasa sendirian di tempat ramai.

Melody melanjutkan kegiatannya dengan berbelanja beberapa skincare. Hanya beginilah cara Melody selama ini. Menghabiskan jerih payahnya untuk mengusir kesepian. Di saat teman-temannya sudah berkutat dengan popok bayi, ia masih bergelut dengan takdirnya. Siapa yang akan menjadi pendampingnya kelak.

Sebuah notifikasi pesan singkat masuk dari Joni. Asisten pribadi Panji tersebut mengundangnya di acara anniversary Kayana Group. Mengucapkan terima kasih atas undangan tersebut tak lupa Melody membaca dress code untuk acara tersebut.

"Gak ada dress hitam, gue harus beli mumpung masih disini," gumamnya memandang kartu undangan digital dari Joni.

Melody berkeliling mencari dress untuk acara Kayana. Ia sudah membayangkan akan semegah apa hajatan rutin Kayana Group tersebut.

"Gak ada salahnya gue tampil lebih, siapa tahu dapat CEO kan disana," ucap Melody terkikik dalam hati setelah membayar dress hitam pilihannya di sebuah butik ternama.

Melody meninggalkan mall menuju salon langganannya, ia ingin memanjakan dirinya sendiri sebelum terbelenggu banyaknya pekerjaan di hari Senin.

"Mbak Melody udah konfirmasi hadir, Pak." Joni mengirimkan pesan singkat pemberitahuan kepada Panji mengenai undangannya kepada gadis itu. Acara rutin Kayana Group memang dinantikan oleh banyak orang. Di sanalah berkumpulnya para eksekutif muda di yang sukses dengan usahanya masing-masing.

"Bagus, Jon. Lanjutkan pekerjaanmu," jawab Panji sambil terbahak. Tentunya hanya ia sendiri yang mengetahui. Akhir-akhir ini, ia sering membully asistennya karena terlalu banyak berimprovisasi dengan perintahnya. Terkadang berhasil kadang juga gagal.

Panji masih menemani Devina di mall, karena Feli sudah berangkat ke Surabaya untuk pekerjaannya.

"Mama sudah sampaikan ke Feli?" Panji masih penasaran dengan keputusan istrinya.

"Nolak, tapi dia gak keberatan Mama ambil anak panti, dengan syarat udah gedean, bukan balita," ucap Devina. Ia masih tidak habis pikir dengan menantunya. Hanya karena takut tubuhnya rusak, ia menolak memiliki keturunan.

"Mama udah dapat bayangan mau ambil dimana?" Panji tidak mau memperpanjang pembahasan tentang istrinya. Baginya cukup melihat wajah kecewa Mamanya. Ia tidak ingin menambah dengan kekecewaan lainnya.

"Udah, baru masuk SD. Dia mirip kamu waktu kecil," Devina menunjukkan foto anak kecil berusia enam tahun sedang bermain dengan teman-temannya di panti asuhan.

"Ganteng, Ma. Panji suka, kapan kita kesana?" tanya Panji antusias.

"Habis ini, kamu mau temenin kan?" Devina menatap harap anaknya.

"Tentu, Ma. Kita makan siang dulu baru ke panti, gimana?" tawar Panji kepada Devina.

"Boleh, mama mau di tempat biasa aja, Nak." Devina menyunggingkan senyum manisnya.

"Oke, meluncur kita, Ma." Panji merangkul Devina. Wanita yang sudah melahirkannya itu berbinar ketika tahu Panji bisa menemani kegiatannya hari ini.

avataravatar
Next chapter