webnovel

Perbedaan Pendapat

Panji sudah tiba di bandara, untuk mempersingkat waktu ia dan Felishia janjian bertemu di tempat itu untuk menjemput Devina yang pulang dari berobat ke Singapore.

"Gimana, Ma?" Panji mencium punggung tangan Devina yang baru saja keluar dari pintu kedatangan luar negeri. Penampilannya tetap anggun walaupun sedikit pucat.

"Baik, sudah normal semua. Kamu gimana Fel?" Devina mengelus punggung menantunya.

"Kami baik, Ma. Kita langsung pulang, Mas. Mama masih harus banyak istirahat," kata Felishia. Ia mengambil alih tas oleh-oleh dari tangan mertuanya.

"Oke, kita pulang." Panji membukakan pintu mobil untuk Devina dan Felishia.

Perjalanan mereka sempat terkendala macet, suatu hal biasa yang terjadi di jalanan ibukota ketika jam pulang kantor. Felishia membantu mertuanya turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di kediaman Panji. Rumah mewah bercat putih begitu mentereng di antara rumah lainnya karena berlantai tiga.

Setelah mengantar Devina ke kamarnya untuk beristirahat, Panji dan Felishia masuk ke kamarnya. Pasangan suami istri ini sama-sama sibuk dengan bisnisnya masing-masing. Sehingga waktu untuk berduaan nyaris tidak ada.

"Kamu masih bahas soal anak terus? Mas kalau mau nikah lagi gakpapa asal dapat anak!" Feli mulai memancing keributan.

"Gak ngerti dengan cara berpikir kamu, yakin dengan ucapanmu barusan?" Panji yang baru saja melepas dasinya menghela nafas berat. Ia kecewa terhadap istrinya yang masih menolak untuk memiliki momongan.

"Ngertiin aku, Mas. Susah payah aku dapatkan tubuh idealku!" Seru Feli tanpa melihat wajah suaminya.

"Terakhir kalinya aku bahas soal anak, jika kau tetap pada pendirianmu, aku tidak akan membahasnya lagi," ucap Panji sambil berlalu ke kamar mandi. Ia membanting pintu kamar mandi untuk meluapkan emosi.

Felishia mengabaikan suaminya, ia lebih memilih mengecek ibu mertuanya di kamar dan berbincang sambil menunggu waktu makan malam.

"Kamu masih tetap pada pendirianmu?" Devina yang duduk berhadapan dengan Feli mempertanyakan hal yang baru saja ia dan suaminya bahas.

"Maaf, Ma. Untuk yang satu ini, Feli tidak bisa," ucap Feli sambil menunduk karena tidak enak melihat wajah kecewa mertuanya.

Devina kecewa dengan keputusan menantunya, padahal ia sangat menginginkan cucu dari Panji dan Feli. Ia mengelus punggung Felishia, menantunya itu sudah berkaca-kaca karena menolak keinginannya.

"Sudah, tidak masalah. Temani Mama ke taman belakang yuk," ucap Devina membesarkan hati Feli.

"Iya, Ma." Feli mengikuti langkah mertuanya menuju taman belakang rumah. Sebuah taman yang terawat dengan baik dengan berbagai macam jenis bunga. Kecuali bunga mawar, hampir semua bunga kesukaan Devina berjejer rapi di taman tersebut.

Salah satu asisten rumah tangga datang dengan membawa nampan berisi teh madu dan cemilan. Devina dan Feli sudah duduk di bangku taman bernuansa putih dengan aksen kayu yang minimalis namun tetap estetik.

"Ada kabar apa soal perusahaan?" tanya Devina kepada Feli.

"Tidak ada yang spesial atau perlu dicemaskan, Mama fokus istirahat saja," jawab Feli setelah meletakkan cangkir teh nya.

"Ya sudah, mama harap kamu masih bisa kerjasama dengan Panji," pinta Devina. Ia cukup memahami kondisi rumah tangga anaknya yang tidak baik-baik saja.

"Tentu, Ma. Feli akan berusaha maksimal untuk perusahaan dan Mama tentunya." Feli menuangkan teh madu lagi ke cangkir Devina dari poci yang dibelinya dari Jepang.

"Kamu tidak keberatan kalau Mama ambil anak asuh?" Devina berhati-hati menyampaikan keinginannya lagi.

"Terserah Mama, Feli gak keberatan kok," jawabannya membuat Devina berlega hati.

"Baiklah, kalau begitu besok mama ke panti asuhan. Kami jadi ke Surabaya besok?" Devina sudah terbiasa dengan jadwal padat anak dan menantunya.

"Iya, Ma. Seminggu di Surabaya karena saya harus cek lokasi dan mastiin tempatnya benar-benar memadai," sahutnya. Feli memang akan membuat sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu di wilayah tersebut.

"Kamu kirim fotonya ke mama, jangan lupa, Nak." Devina dan Feli memang mempunyai projects mendirikan sekolah disana. Terlepas dari keinginannya yang tidak bisa Feli penuhi, sebenarnya Feli adalah menantu yang baik.

"Tentu, Ma." Feli menatap sendu ibu mertuanya. Obrolan mereka berhenti sejenak karena kedatangan Panji. Bukan untuk bergabung dengan mereka, namun Panji sudah berpenampilan rapi hendak pergi ke suatu tempat.

"Mau kemana, Mas?" Feli menggeser duduknya untuk memberi ruang kepada suaminya untuk duduk.

"Aku mau bertemu Mr.Tanaka, kebetulan dia ngajak ke cafe. Kamu tahu kan, sudah berapa lama aku ngejar ketemu dia?" Panji yang memakai kemeja kotak-kotak dipadukan dengan celana jeans hitam tampak lebih muda dari usianya.

"Jangan malam-malam, Mama baru sampai kamunya udah pergi lagi," protes Devina kepada Panji.

"Kan ada Feli, Ma. Lagian juga gak malam-malam kok," jawab Panji. Ia mencium punggung tangan Devina dan mengecup kening Feli sekilas untuk berpamitan.

"Oke, hati-hati, Mas." Feli memandang kepergian suaminya dengan perasaan hampa. Seperti inilah kondisi rumah tangganya dengan Panji. Berlimpah harta namun minim perhatian dan kasih sayang.

"Yang sabar, Panji memang keras. Kamu harus spare waktu untuk kasih dia perhatian. Jangan dua-duanya cuek, Nak." Kali ini, Devina sudah tidak tahan, ia menasehati menantunya yang sama kerasnya dengan Panji.

"Iya, Bu. Feli udah biasa kok," jawabnya untuk menenangkan hati Devina.

Sementara itu, Panji yang menjadi topik pembicaraan menantu dan mertua itu sedang dalam perjalanan ke sebuah restoran untuk bertemu dengan kolega bisnisnya dari Jepang.

Bertempat di sebuah restoran, Panji bertemu dengan Tanaka, namun ada pemandangan tak biasa yang mengusik ketenangan hatinya. Joni yang sudah lebih dulu datang ke restoran tersebut paham betul gelagat majikannya.

"Nanti saya cari tahu siapa pria itu, Pak. Sekarang, kita selesaikan urusan dengan Mr.Tanaka dulu," kata Joni menjawab kegelisahan Panji. Baru saja tadi siang ia bertemu dengan wanita yang menurutnya paket lengkap. Imajinasinya buyar ketika melihat wanita yang diincarnya sedang dinner dengan pria lain di tempat yang sama dengannya.

"Yang ini jangan sampai lolos, Jon!" seru Panji memberi semangat Joni untuk menjadi detektif lagi.

"Siap, Pak." Joni bergerak cepat menghubungi anak buahnya guna mendapatkan informasi mengenai pria yang sedang bersama dengan wanita incaran atasannya.

Panji dan Joni menyambut kedatangan Mr.Tanakaz mereka terlibat obrolan serius mengenai kerjasama yang akan dibuat. Kekesalan Panji teralihkan dengan pertemuan dengan Mr.Tanaka. Setidaknya, Feli tidak berada dalam pandangannya.

"Pak, saya sudah dapat informasi valid. Setelah ini kita buka bareng, saya juga penasaran," kata Joni setengah berbisik kepada Panji.

"Oke," jawab Panji tersenyum tipis. Pikirannya sudah terbagi dengan kedekatan wanitanya dengan pria yang tidak dikenal.

Sementara itu, yang menjadi pembicaraan Panji dan asistennya sudah meninggalkan restoran tersebut. Melody dan teman prianya sedang dalam perjalanan kembali ke apartemen Melody.

"Makasih lho, Mel. Gak tahu neh kalau kamu gak kasih kita ketemu, mungkin pernikahan kamu udah finish." Pria yang bersamanya adalah Fiki, teman semasa kuliahnya di Malang. Walaupun belum menikah, Melody sering menjadi tempat curhat dan meminta pendapat teman-temannya yang sudah berumah tangga. Menurut mereka, Melody cukup bijak menyikapi sebuah masalah.