1 I Don't Like Monday

Rutinitas hari Senin bagi sebagian pekerja di wilayah kawasan industri seperti Tangerang memang melelahkan. Sebelum sampai di kantor, Melody harus berjibaku dengan macetnya jalanan di pagi hari.

"Pagi, Mbak Mel," sapa office boy yang kebetulan menyapanya di tempat ia melakukan absensinya.

"Pagi," jawab singkat Melody. Ia segera ke ruangannya untuk membuka email yang sempat ia baca sekilas ketika dalam perjalanan tadi.

Ruangan Melody yang di desain elegan dan simple, ruangan yang sebagian berdinding kaca berwarna gelap tersebut bersebelahan langsung dengan ruangan para staff keuangan dan sang owner yang datang sesuka hati.

"Neng, email balasan dari Kayana sudah di forward ke produksi. Apa langsung cek material dulu?" tanya pak Hidayat melalui sambungan telepon, Manager Produksi tersebut sudah merinci kebutuhan material untuk projects Kayana.

"Langsung aja, Pak." Melody sedang membaca baik-baik beberapa email masuk mengenai tagihan yang sudah jatuh tempo.

"Siap, Neng," jawab Hidayat sebelum menutup sambungan telepon.

Melody menyeduh kopi hitam favoritnya sebelum melanjutkan aktivitas. Terdapat satu buah laptop dan PC menemani harinya di kantor tersebut. Sebuah perusahaan manufaktur lokal, tidak terlalu besar dan tidak juga kecil.

Sudah lima tahun Melody mengabdi pada perusahaan keluarga milik Hermawan. Kesibukannya akhir-akhir ini bertambah karena harus membimbing keponakan owner yang menjabat sebagai Manajer Purchasing.

"Rud, Lo meeting sama produksi dan gudang habis siang yah, gue pengen tahu stok material yang ada dan berapa kita butuh dana untuk handle projects Kayana." Melody langsung pada intinya.

"Buat apa meeting?" tanya Rudi tanpa dosa.

"Buat apa? Ya Tuhan, tolong hamba diberi kesabaran!" teriak Melody emosi. Ia menutup sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Rudi.

"Sabar, Bu. Pak Rudi juga belum datang, saya mau minta tanda tangan gak jadi," kata Dian memberitahu. Supervisor Finance tersebut sudah duduk sekian waktu menunggu Melody selesai.

"Sorry, kamu sudah lama ya? Mana yang harus diperiksa?" Melody mengelus dadanya kesal.

"Santai Bu, ini dokumennya." Dian menyerahkan dokumen pembayaran material kepada Melody. Menunggu beberapa waktu, Dian mendapatkan dokumennya kembali setelah diverifikasi oleh Melody.

Hari Senin adalah hari dimana Melody sering naik tensi, belum lagi kalau harus berhadapan dengan Hermawan, pemilik perusahaan Putra Persada Engineering. Pria berusia lima puluh tahun tersebut sangat bergantung padanya.

"Mel, ke ruangan saya, sekarang." Hermawan menghubungi Melody yang sedang sibuk dengan laptopnya.

"Siap, Pak." Melody menutup sambungan telepon dan merapikan penampilannya. Ia meraih tablet berlogo apel menuju ruangan Hermawan. Hari ini ia memakai setelan rok midi berwarna hitam dipadukan dengan blazer berwarna cerah, memakai flatshoes berwarna hitam penampilan Melody terlihat elegan dan manis.

"Kayana gimana, Mel?" tanya Hermawan setelah menyesap teh hangatnya.

"Mereka tidak keberatan dengan down payment yang kita ajukan, Pak. Dan mereka minta design nya segera," jawab Melody.

"Ya udah atur aja, kalau saya gak kuat, kamu yang temui orang Kayana. Kepala saya sudah pusing," kata Hermawan sambil memijit pelipisnya.

"Saya panggil sopir aja ya Pak, ke dokter. Bapak sudah pucat, kenapa maksa ke kantor," sahut Melody. Ia menghubungi sopir perusahaan untuk mengantar Hermawan ke rumah sakit. Tak lupa, ia menghubungi Reza, anak kedua Hermawan yang merupakan General Manager perusahaan tersebut.

"Mbak, kayaknya Papa gak bisa meeting sama Kayana. Jadi… " Reza sedang duduk memandangi ruangan dimana Hermawan diperiksa, di sebuah rumah sakit swasta langganan keluarga Hermawan. Ia menghubungi Melody yang tengah sibuk di ruangannya.

"Sama Lo lah, gue gak mau sendirian! Lo ikut gue dan Pak Hidayat." Melody yang masih sibuk dengan tabletnya menjawab sambungan telepon Reza.

"Ya udah, oke. Saya temui dokter dulu," ucap Reza sebelum menutup sambungan telepon tersebut.

Melody tenggelam dalam pekerjaannya hingga menjelang makan siang, beberapa bawahannya keluar masuk ruangannya bergantian untuk berkonsultasi ataupun meminta tanda tangannya adalah pemandangan rutin di perusahaan tersebut.

"Makan siang dimana, Mbak?" Reza mengirim pesan singkat kepada Melody.

"Ikan bakar, kalau mau ikut nyusul aja. Gue sama Dina dan Pak Hidayat," jawab Melody kepada atasannya.

Melody memanfaatkan makan siangnya sambil berbincang dengan Hidayat dan Dina mengenai proyek besar dari Kayana. Ia sedang mengumpulkan bahan untuk meeting agar kliennya yakin dengan performa Putra Persada Engineering, orang-orang sering menyebut PP Engineering.

Kembali ke ruangannya, Melody dan Reza berkoordinasi untuk pertemuan dengan pihak Kayana.

"Selamat siang, saya Joni dari Kayana Group, mewakili Pak Panji untuk menghubungi Bu Melody terkait pertemuan dengan PP Engineering." Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel pintar milik Melody.

"Siang Pak Joni, kami siap melakukan pertemuan besok sesuai jadwal yang diminta," jawab Melody singkat.

Pertemuan dengan Kayana dan PP engineering akan dilakukan esok hari. Melody sibuk mempersiapkan berkas yang akan dibawa. Berkoordinasi dengan departemen lain dan tentunya mempersiapkan diri.

"Neng, saya duluan pulang," Hidayat berpamitan pulang kepada Melody ketika waktu sudah menunjukkan jam tujuh malam. Hidayat menghampirinya ke ruangan karena gadis itu tidak menjawab pesan singkat darinya.

"Hati-hati, Pak," jawab Melody sambil melambaikan tangannya. Ia melirik jam di dinding ruangannya, lalu membereskan meja dan mematikan laptop.

Melody pulang ke apartemennya, perjalanan kurang lebih setengah jam ia manfaatkan untuk menyetel lagu-lagu romantis favoritnya. Hampir setahun berpredikat jomblo membuatnya lupa bagaimana rasanya memiliki pasangan. Terlebih penyebab kandasnya hubungan percintaan dengan mantan pacarnya sangat menyakitkan.

"Capek juga jomblo, seninku selalu seperti ini. Sibuk sampai lupa waktu, kangen mandi air dingin," gumam Melody.

Melody yang sedang menikmati perjalanannya, menyempatkan diri membeli menu makan malamnya di sebuah kedai sate kambing, ia kembali melajukan mobil Honda Jazz kuningnya. Tanpa ia ketahui, Melody menjadi topik pembicaraan Joni dan Panji. Keduanya sudah lama membahas prestasi Melody yang mereka dapatkan dari pemilik perusahaan tempat Melody bekerja.

"Masih muda, Pak. Cantik, pintar dan jomblo," kata Joni menggoda atasannya yang sedang stalking akun media sosial milik Melody.

"Sok tahu, saya hanya minta profil perusahaan dan pengurusnya, improve nya kebanyakan, tapi gak masalah. Kita lihat besok," kata Panji mengomentari data yang diberikan Joni kepadanya.

"Sekedar informasi, mantan pacar Melody adalah Manager Marketing kita, Pak." Joni sebagai asisten pribadinya menilai Melody adalah wanita yang pas mendampingi Panji, bukan Felishia istrinya sekarang.

"Kebetulan ya, besok jam berapa?" tanya Panji mengenai pertemuan dengan PP Engineering.

"Besok jam sepuluh, Pak. Saya sudah siapkan untuk makan siang sekalian." Joni memberitahu jadwal Panji untuk esok hari sebelum mereka pulang.

"Oke, sekarang pulang." Panji beranjak dari duduknya, meraih ponsel dan tas kecilnya.

"Baik, mobil sudah siap di lobby." Joni membukakan pintu ruangan dan menutupnya kembali setelah Panji keluar dari ruangan tersebut.

Panji keluar dari lift khusus direksi diikuti oleh Joni disampingnya, sempat membalas sapaan karyawan yang berpapasan dengannya, Panji langsung memasuki Toyota Alphard miliknya. Ia meninggalkan kantornya dan kembali ke rumah di kawasan elite Alam Sutera.

"Melody Aprilia Prasetyo, cantik sih…" Panji menimbang-nimbang ponselnya setelah melihat foto profil WhatsApp Melody.

avataravatar
Next chapter