1 Declaration of Love

Nadia berdiri dan hanya mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali. Seolah tak percaya dengan apa yang sedang dialaminya. Dari jarak beberapa meter tempat ia berdiri, ia melihat dengan jelas laki-laki yang menatap tepat ke arahnya. Nadia mengenal laki-laki itu. Fauzan namanya, namun Nadia juga baru tahu nama laki-laki itu sejak beberapa Minggu terakhir ini.

Fauzan perlahan berjalan mendekat ke arah Nadia. Dengan membawa satu buket bunga. Melihat ekspresi Nadia yang terkejut itu, Fauzan ingin sesekali menenangkannya. Fauzan berjalan sampai jaraknya dengan Nadia semakin dekat dan semakin dekat.

Jantung Nadia berpacu tak normal. Lebih kencang dari biasanya. Nadia mana bisa mengontrolnya? Namun, ia hanya bisa terdiam kaku dan kakinya membeku, seolah tak dapat digerakkan sama sekali. Nadia kesini bukan karena tidak sengaja. Ia memang kesini karena sebuah petunjuk yang membuatnya penasaran untuk kesini.

"Maaf, aku mengejutkanmu," kata Fauzan yang sudah ada di depan Nadia saat ini. Sedangkan, Nadia hanya tetap diam sambil mengedip-kedipkan matanya beberapa kali.

"Ini, untukmu," lanjut Fauzan memberikan bunga yang ia bawa, pada Nadia.

"Untukku?" tanya Nadia mengulangi salah satu kata Fauzan. Nadia bahkan tak dapat menanggapi dengan baik kalimat Fauzan. Sudah jelas-jelas Fauzan mengatakan bahwa bunga itu untuknya. Sejujurnya, otaknya masih memproses tentang kejadian yang ada di depannya.

"Nadia, saat seorang laki-laki memberikan seikat bunga cantik padamu, itu menandakan sebuah arti. Kamu tahu apa maksudku bukan?" tanya Fauzan.

Nadia masih hanya diam sambil memproses makna kalimat Fauzan tadi. Memangnya apa artinya? Tapi, Nadia hanya diam, enggan menjawab pertanyaan Fauzan. Fauzan hanya tersenyum melihatnya.

"Aku menyukaimu," kata Fauzan singkat dan amat jelas. Fauzan tidak ingin bertele-tele lagi. Ia tidak akan membuang waktu untuk menyia-nyiakan kesempatan yang berharga ini. Kesempatan yang sudah ia rencanakan sudah sangat lama.

"Aku?" Lagi-lagi, Nadia merasa kebingungan. Bagaimana bisa Fauzan menyatakan perasaan padanya? "Tunggu. Bukankah, kita baru berkenalan beberapa Minggu terakhir ini?" tanya Nadia yang polos dan masih sedikit linglung.

"Kamu hanya tidak sadar kalau aku sudah mengenalmu sejak dua tahun yang lalu," lanjut Fauzan yang membuat Nadia tercekat. Ia sedikit melebarkan kedua matanya mendengar ungkapan Fauzan itu.

"Apa?!" tanya Nadia yang terkejut itu.

"Pikirkan saja, bahwa apa yang baru saja aku ucapkan padamu tadi, adalah sebuah ungkapan dari seorang pengagum rahasia."

***

"Nad? Nadia?" Nadia menoleh ke arah suara laki-laki yang tengah memanggilnya. Sebenarnya, ia baru tersadar jika fokusnya tidak ada di sini, tadi.

"Hm?" tanya Nadia pada laki-laki itu.

"Kamu mendengarku tidak?" tanya Agra pada Nadia, setelah menyeruput teh manis yang terletak di meja di depannya itu.

"Maaf Gra. Kamu bilang apa?" Nadia justru bertanya balik. Agra menghela nafas mendengar Nadia. Ia rasa, ia sudah menjelaskan dengan gamblang kalimat pada Nadia, barusan. Sayangnya, pikiran Nadia malah melayang.

"Ya ampun, Nad. Jadi, aku harus mengulanginya dari awal?" tanya Agra dengan mengekrutkan alisnya. Nadia lalu terkekeh sesaat.

"Maaf, suasana di kantin sedikit penuh. Jadi, aku tidak bisa mendengarmu dengan jelas," terang Nadia.

"Apanya? Bukankah dari tadi, kamu seperti sedang melamun?" tanya Agra menyanggah Nadia.

"Em, tadi aku masih melihat itu," kata Nadia melihat ke arah lapangan basket yang kosong. Agra menolehkan pandangannya ke arah lapangan basket tersebut.

"Memangnya ada apa di sana? Kosong?" tanya Agra bingung.

"Ah, sudahlah. Kamu tidak akan mengerti," ujar Nadia menggibaskan salah satu tangannya, mencoba mengalihkan pembiayaan. "Jadi, kamu tadi berbicara soal proposalnya kan?" tanya Nadia.

"Ya," jawab Agra. "Kali ini, dengar baik-baik ya," ucap Agra kembali. Agra terpaksa harus mengulangi kembali penjelasan singkat yang baru saja diabaikan Nadia tadi. Kemudian, tanpa sadar Nadia kembali melihat ke arah lapangan basket itu tadi.

"Jadi, proposalnya memang harus dikumpulkan Minggu ini," kata Agra yang tadinya menunjuk ke arah lembar kertas yang dipegangnya, dan kemudian melihat ke arah Nadia kembali. Agra kembali mendapati Nadia melamun. Ampun! Kenapa Nadia senang sekali melihat ke arah lapangan itu, sih?! Pikir Agra. Ia lalu menutup laporannya dan meletakkannya di atas meja. Agra kembali memperhatikan Nadia.

"Nad? Hei!" panggil Agra sembari menjetiikkan hatinya beberapa kali di depan wajah Nadia, sehingga Nadia setengah terkejut dan menoleh ke arahnya.

"Ada apa Gra?" tanya Nadia dengan tatapan tanpa dosa.

"Ada apa?" ulang Agra dengan nada tanya. "Kamu bertanya padaku ada apa? Bukankah aku yang seharusnya bertanya padamu?" ujar Agra. "Dari tadi, kamu melamun terus!" keluh Agra. Nadia terdiam sambil tersenyum kaku. Ia juga sedikit menundukkan pandangannya. Agra memperhatikannya dengan seksama.

"Ada apa Nad? Kamu sedang memikirkan sesuatu?" tanya Agra pada Nadia. "Apa kamu sedang ada masalah?"

"Tidak," jawab Nadia menggeleng pelan.

"Sudahlah Nad, katakan saja apa masalahmu? Mungkin aku bisa membantumu?" tanya Agra dengan lembut. Nadia yang tadinya sedang setengah menundukkan pandangannya, mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Agra.

"Aku benar-benar tidak ada masalah," ucap Nadia masih menyanggah.

"Jadi, kamu tetap tidak mau cerita?" ujar Agra. Nadia diam. Tidak ada sesuatu yang tidak Nadia ceritakan pada Agra, dalam kehidupan kampusnya. Apapun itu. Pelajaran, keluarga, bahkan soal pribadi lainnya. Tapi kali ini, Nadia memilih untuk diam seraya menggeleng pelan.

"Aku tahu kamu sedang ada masalah. Tapi, paling tidak jangan sampai terlarut dan mengganggu kegiatan kampusmu," tutur Agra. "Kalau kamu tetap tidak ingin cerita, tak masalah," tambahnya. "Tapi, kapanpun kalau kamu sudah mulai ingin bercerita, aku siap mendengarkannya," kata Agra. Nadia hanya terdiam.

Drrrt... Drrrt... Drrrt...

Agra merasa ponsel di dalam sakunya bergetar. Ia segera mengambilnya. Saat Agra melihat layar di ponselnya, wajahnya tersenyum bahagia.

"Sebentar, ya," kata Agra sembari berdiri.

Nadia hanya mengangguk pelan. Agra berjalan menjauh ke arah lapangan basket. Agra berdiri hingga ia menutupi pandangan Nadia. Nadia memperhatikannya, tanpa Agra sadari sama sekali.

Di sebuah lapangan basket itu, sangat berkesan bagi Nadia. Di sana adalah pertama kalinya ia bertemu dengan Agra. Waktu ospek. Agra adalah teman satu kelompoknya. Ia tidak menyangka sama sekali, pertemuan itu akan berujung menjadi persahabatan mereka sampai sekarang.

Agra masih menerima panggilannya. Sedangkan Nadia tak lepas untuk terus mengamatinya. Nadia tidak bisa menyembunyikan kerisauannya. Ia terus saja melihat ke arah Agra dengan hati yang tidak tenang. Kadang Agra tersenyum, kadang tertawa dan bercanda dengan lawan bicaranya di dalam ponselnya.

Selang satu menit kemudian, Agra menutup panggilannya dan kembali ke arah Nadia. Nadia segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Berpura-pura untuk berfokus pada laptop yang menyala di depannya.

"Nad, maaf ya. Jadi, sampai di mana kita tadi?" tanya Agra.

"Lihat, sudah jam sembilan. Bukankah kamu ada kuliah?" ujar Nadia sambil menunjuk jam di layar laptopnya.

"Oh! Iya juga ya?" ujar Agra. "Kalau begitu, aku kuliah dulu. Nanti kita bicarakan lagi," ujar Agra pada Nadia. Nadia hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali.

Agra kemudian berdiri dan memasukkan kembali beberapa kertas yang ia sempat keluarkan tadi. Lalu, menutup tasnya kembali dan menyanggulnya pada bahunya. Agra sekali lagi melihat ke arah Nadia.

"Sudahlah Nad, jika ada masalah tidak perlu terlalu dipikirkan. Kalau kamu mau, ceritakan saja padaku. Aku pasti akan mendengarkanmu," kata Agra pada Nadia. Nadia hanya tersenyum mendengar Agra. Agra kemudian berjalan menjauhi Nadia. Nadia, melihat punggung Agra yang berjalan semakin menjauhi dirinya, melewati lapangan basket yang baru saja menyita perhatian Nadia. Ia diam, namun tetap tak melepaskan pandangannya pada Agra.

'Bodoh, kenapa kamu selalu datang dan memberikan perhatian di saat aku murung karena menperhatikanmu?' ungkap Nadia dalam hati. Tentu saja tidak dapat didengar Agra, bahkan siapapun juga di sana.

avataravatar
Next chapter