4 Senja

Seperti hari-hari sebelumnya, aku tetap disini menatap langit dan mengenang senja, menjalani setiap hari mengharapkan kau kembali bersama janji yang telah kau ucapkan sebelum kau pergi.

Aku duduk diatas pasir putih, kutatap langit yang berubah warna kecoklatan bergradasi orange dengan campuran sedikit merah. Semilir angin menyejukkan tubuhku. hari ini aku kembali lagi di sini tempat dimana terakhir kali janji itu diucapkan.

"Apa kabarmu disana? Apa kau baik baik saja? Apa kau bahagia? Seberapa bahagia kau disana meninggalkan aku sendiri disini?." Nadanya terdengar sendu, air matanya mengalir perlahan. Tentang rindunya yang tak berkesudahan, tentang harapannya yang tak tersampaikan.

"Mengapa? Mengapa takdir begitu kejam mempermainkanku." Angin menerpa rambut coklatnya, seperti bernyanyi dan memeluk tubuhnya erat. Dinginnya tak meninggalkan ngilu, hanya sekedar singgah dan lepas.

Senyum getir terpancar di wajahku, sudah 5 tahun berlalu tapi sedetikpun aku tak mampu untuk tidak memikirkanmu. terlalu banyak kenangan yang tergores, terlalu banyak kenangan yang membuat luka di setiap sudut hatiku.

Kau pergi terlalu jauh bahkan aku tak mampu menggapainya, kau tenggelamkan aku hingga ke dasar. kau tinggalkan aku saat nafasku selalu berseteru mengucap namamu. Kau menyesatkan aku tanpa tau arah untuk pulang, dan kau menghilang seperti angin tak terasa.

"Aarrrkkkkkkkkkhhhhh!!!." Laki-laki itu berteriak kencang, terlalu kencang namun tak mampu merontokan rindu-rindu itu. ia mengusap rambutnya kasar, dunia terlalu kejam untuknya.

"Hei? Ada apa denganmu? Mengapa kau berteriak seperti anak kuda kehilangan ibunya" tanya seorang wanita yang tiba-tiba ada disamping laki-laki itu.

Aku menoleh ke sumber suara itu, dan betapa terkejutnya aku melihat wanita tersebut. dia bukankah sekertarisku? bagaimana bisa dia disini dan mengapa dari banyak orang aku harus bertemu dengannya, dalam keadaanku yg menyedihkan seperti ini. Dia nampak terdiam bingung memperhatikanku, sepertinya dia tidak menyadari bahwa ini aku Bos nya.

Ya mungkin dia tak akan menyadarinya, penampilanku sekarang berbeda, dengan rambut yang sedikit berantakan, tak ada kacamata besar lagi, tak ada tas Ransel lagi. Memakai baju putih polos dengan celana putih pendek.

Sebenarnya aku terlalu malas memperlihatkan penampilanku ini pada orang lain, selain mantan istriku dan keluargaku tentunya.

"Hei? Apa kau mendengarkan?" Tanyanya sambil mengibas ngibaskan tanganya di depan wajahku, dan seketika menyadarkanku dari lamunan.

" Ya aku baik baik saja" jawabku sekenanya dan berbalik menghadap ke arah lain.

"Ini" ucapnya, membuatku menoleh padanya, aku mengerutkan keningku heran dengan maksudnya.

"Pakailah ini" dia menyodorkan sapu tangan berwarna putih kepadaku. "Hapuslah air matamu itu, kau terlihat menyedihkan dengan muka seperti itu." Ia tersenyum, senyum yang cukup tenang.

" Ya terimakasih." timpal ku dan mengambil sapu tangan yang diberikan olehnya, dengan segera aku menghapus air mataku sungguh aku merasa malu saat dia melihatku seperti ini.

"Apa yang kau lakukan disini saat senja, sambil menangis tentunya dan berteriak seperti tadi?" Tanyanya penasaran padaku.

"Tidak ada." jawabku berbohong, lagipula apa urusannya juga, jika aku berkata jujur.

" Emmm benarkah? Kau sungguh lucu saat berusaha berbohong seperti itu" timpalnya padaku sambil tertawa kecil, aku jadi serba salah harus bagaimana menanggapi ucapanya. Akhirnya kuedarkan pandanganku ke arah pantai dan melihat air yang menerpa kakiku dengan tenang, aku tak menjawab pernyataannya, ku fikir biarkan saja dia menganggapku bagaimana, toh aku juga tidak peduli pemikiran orang tentangku.

"Bukankah indah senja di pesisir pantai? Tanyanya padaku, sambil melihat ke arah yang sama denganku.

"Eemmmm" gumamku kecil, membenarkan ucapanya.

"Apakah kau suka air di pantai seperti ini?" Tanyanya padaku.

"Tidak" jawabku singkat.

"Mengapa?" Tanyanya lagi padaku, aku mulai jengah dengan pertanyaannya, sepertinya dia terlalu ingin tau tentang hidup orang lain.

"Air itu selalu menenggelamkan" ucapku padanya .

"Sungguh? Kau membenci Air karena dia menenggelamkan? Kau lucu sekali "ia terkikik geli mendengar jawabanku, apanya yg lucu batinku.

Apakah kata kata itu bagai lelucon? Sepertinya wanita ini sedikit tidak waras.

"Kau tau? Air memang mampu menenggelamkan, wujudnya yang cair hampir tak tersentuh, sekalipun bisa dia hanya mampu ditampung bukan di genggam. Tapi Air tak pernah mengkhianati Alam. Air mengalir sesuai kodratnya dari tempat tertinggi ketempat yg rendah. Jika manusia memakai prinsip air dia tak kan mengkhianati Bumi yang telah rela menampungnya, karena menurutnya saat seseorang telah percaya kepada kita, kita harus menjaga kepercayaan itu." ucapnya sambil tersenyum kepadaku.

"Well? Lalu? Mengapa Air mampu membuat tsunami dan banjir dimana mana?" Tanyaku sedikit kesal.

"Karena tsunami adalah rencana alam sendiri, dimana bumi bergeser karena perubahan yang tak menentu, Air hanya ikut adil dalam perubahan itu, dan banjir? Bukankah kau tau penyebab banjir adalah ulah manusia yang menebang pohon dan membuang sampah sembarangan? Air hanya tak rela Alam yang telah menjaganya di kotori oleh tangan tangan mereka, maka dari itu Air hanya membersihkannya.

Percayalah semua yang telah terjadi di dunia ini adalah takdir alam. yang hilang, yang tumbuh, yang berkembang semua sudah di tulis dalam takdir yang alam, jangan disesali dan dipertanyakan, jalani yang ada saat ini karena apa yang kita tentukan hari ini itu yang akan mengubah hari esok." katanya padaku dia menatap mataku sambil tersenyum, aku terpaku karena cerita yang dia sampaikan baru saja.

Mengapa dia seperti tau bahwa aku menyalahkan takdir? Tak ku sadari bibirku tertarik keatas dan melengkung aku tersenyum saat dia menunjukkan senyumnya itu padaku.

"Terimakasih" kataku.

"Untuk apa?." Tanyanya heran.

"Untuk ceritamu itu" ucapku dan mengalihkan tatapan ku ke arah lain.

Dia hanya Ber Oh- ria aku kembali menatap ke arahnya dia tulus mengucapkan cerita itu tanpa beban.

Reista tersenyum saat laki laki disebelahnya mengucapkan terimakasih atas ceritanya, ia tak tau mengapa menceritakan cerita yang pernah ibunya katakan saat ia pergi liburan di pantai saat ia kecil dulu.

Tapi hatinya berkata bahwa dia adalah laki laki yang baik, tapi sepertinya dia sangat rapuh terbukti saat di menangis tadi. Tapi jika diperhatikan Reista seperti pernah melihatnya tapi ia lupa dimana. Reista hanya memperhatikan wajahnya sekilas dan mulai memandang laut lagi.

" Emmm oh ya kita sudah banyak berbicara tapi aku tak tau siapa namamu?" Tanyaku padanya.

"Eh... Itu.. na..maku?" Jawabnya sedikit gugup, ada apa dengannya aku hanya bertanya nama tapi gelagatnya seperti sedang ketahuan mencuri.

"Iya namamu? bagaimana jika aku perkenalkan namaku terlebih dahulu, aku Reista Anyelir Wiltson" ucapku bangga, ku ulurkan tanganku padanya dia membalas uluran tanganku.

" Aku? namaku Gerarld, ya Gerarld" jawabnya padaku.

"Oh nama yang bagus" sahutku padanya sambil tersenyum, entahlah saat melihat wajahnya aku selalu tersenyum, dia menyenangkan menurutku ya walaupun dia sedikit irit bicara tapi tak apalah.

"Iya terimakasih" dia membalas senyumanku dan melihat jam dipergelangan tangannya,"sepertinya aku harus pergi." ucapnya sambil melirikku.

"Ya pergilah, aku juga sudah mau pulang" jawabku dia membalikkan badannya dan perlahan mulai menjauh aku hanya melihat punggungnya yang semakin menghilang.

Ia laki-laki yang cukup menyenangkan menurut Reista, semoga saja ia bisa bertemu lagi dengan laki-laki itu.

avataravatar
Next chapter