webnovel

SECRET BEHIND ME

Ketika masa lalu itu kembali datang. Rasa sakit jaritan pada perutnya itu menjadi pertanda bagi Nara. Arkana Damian Ezra, laki-laki tampan yang selama ini menjadi sarapan pagi bagi matanya, datang untuk mengambil ingatannya kembali. Semua ingatan tentang Percintaan, Perselingkuhan, Pemerkosaan, Sakit hati, dan kelahiran kedua anak kembar mereka. Semua kebusukan yang selama ini disembunyikan oleh keluarganya ditutupi dengan sempurna. Apakah Nara bersedia menerima ingatannya lagi atau melepaskan kepergian kekasih dan putranya begitu saja. “Kita bahkan tidak sempat menikah.” Sebuah intrik percintaan yang tidak hanya berisikan kebahagiaan dan kesenangan untuk pembacanya saja. Kalian dipaksa untuk mengetahui bagaimana besarnya keserakahan manusia saat menginginkan sesuatu yang mereka inginkan. Kekayaan, Harga diri, Martabat, bahkan sikap Possessive yang muncul hanya untuk memiliki seseorang. Laki-laki tampan yang sanggup menumbangkan banyak wanita itu kini berlutut memeluknya. “Kau milikku selamanya, Nara. Hanya milikku.”

MKaraaa · Teen
Not enough ratings
7 Chs

Fear

Masih dalam perjalanan, mencoba mengingat kembali. Wajah laki-laki tadi, kepalanya terasa sakit walaupun hanya sebentar. "Hh, mana mungkin kan dia-" merasa kebetulan. Laki-laki itu seharusnya kan single, tanpa pasangan.

Kalau Tuan Tampannya ternyata punya pasangan atau bahkan anak. Mungkin Nara akan terpuruk selama beberapa hari. Bagaimana tidak? Kan tabu hukumnya mengintip laki-laki yang sudah menikah! Jadi kalau dia masih single Nara masih ada hak untuk mengintipnya!

'Sarapan pagiku,' sedikit memijat keningnya yang sakit, berharap saja tadi hanya bayangannya saja. Dia sendiri tidak yakin laki-laki itu single.

Mengingat dirinya hanya mengintip saat pagi karena tirainya pasti terbuka, kalau malam hampir tidak pernah. Laki-laki itu termasuk sosok super sibuk yang selalu pulang malam, bahkan saat Nara tidur pun, kadang dia tidak pulang.

"Ah, tidak mungkin," mendesah panjang, meskipun ini salah satu aib terbesarnya. Setidaknya dia bisa mendapatkan semangat dari pemandangan tubuh indah itu!!

'Hh, aku ingin pulang, setelah itu mandi air hangat dan berbaring,' Jam masih menunjukkan pukul tujuh malam. Masih jauh dari waktu tidurnya, tapi Nara merasa tubuhnya sangat lelah dan bisa tumbang kapan saja.

.

.

Dalam perjalanan mereka, Arka menoleh ke arah putranya yang tengah duduk di belakang. Dia memang lebih suka menyetir sendiri dibandingkan mempekerjakan supir. Kenan nampak terantuk di sana, menahan agar tidak tidur.

Memastikan keadaan aman, berbicara setipis mungkin. "Kenapa kau membuat Kenan berbohong tadi?"

Melly masih fokus dengan handphonenya, "Maksudmu?"

"Siapa yang mengantar Kenan?" bertanya singkat, manik wanita itu melirik kearah laki-laki di sampingnya. "Kalau aku bilang Nara bagaimana? Kau terkejut?" sedikit kagum dengan akting Arka. Masih tetap tenang di situasi seperti ini.

"Jangan mengajarinya berbohong, Melly."

Melly masih nampak santai, menyampirkan anak rambutnya ke telinga, tersenyum anggun. "Aku hanya melakukan yang terbaik untuk kalian berdua." Berujar penuh arti.

Arka mengerti semuanya, laki-laki itu lebih memilih diam. Fokus kembali ke depan tanpa mengatakan apapun. Yang pasti semua perkataan Melly tadi sudah cukup membuatnya bungkam.

.

.

Getaran di dekatnya sukses mengalihkan perhatian Nara. Kebetulan mobilnya berhenti karena lampu traffic berwarna merah, mengambil handphonenya. Melihat siapa yang menghubungi. Tidak mungkin juga dari Ibu atau Ayahnya.

"Bella?" Bergumam tanpa sadar, sosok sahabat dengan rambut ikal pendeknya yang khas, dan suara cemprengnya mengagetkan Nara begitu saja.

"Kei!!" menyebut nama panggilan khusus untuknya. "Suaramu seperti nenek lampir, Bel. Kecilkan sedikit!" telinganya jadi berdengung karena suara cempreng Bella.

Bella Christie, wanita yang menjadi sahabatnya sejak SMA dulu, ciri khas rambut hitam pendek yang ikal, kulit sawo matang, bibir tebal dan tubuh yang cukup tinggi. Ia akui pekerjaan sahabatnya itu cukup meyakinkan. Menjadi seorang dokter spesialis yang cukup hebat di usianya yang ke- 28 tahun.

Saat dirinya pindah ke sini, wanita itu justru ikut pindah dengan alasan ada pekerjaan. Meskipun Nara tahu, Bella ke Jakarta untuk terus memantau kondisinya selama ini. Dia berterima kasih karena itu.

"Kenapa lagi? Pasienmu sakit parah?" mencoba menebak dengan asal.

"Bukan! Bagaimana kabarmu? Seminggu ini aku belum sempat bertemu denganmu karena pekerjaan di luar kota,"

Mendesah sekilas, Nara tersenyum. Menjalankan kembali mobilnya saat lampu berwarna hijau. Tidak buruk juga berbincang dengan sahabatnya, menghilangkan sepi di dalam mobil.

"Kondisiku baik-baik saja, sampai kapan kau ingin mengkhawatirkanku seperti ini?"

"Hm, luka di perutmu masih sakit?" Bella tidak pernah absen menanyakan luka di perutnya. Jahitan yang cukup panjang, akibat kecelakaannya beberapa tahun lalu. Satu pengemudi truk yang tengah mabuk, menerjang beberapa orang yang tengah menyebrang jalan. Nara ada di sana tentu saja.

Tidak bisa menghindar, salah satu besi yang sedikit patah akibat tabrakan itu sedikit menancap di bagian perutnya. Merobek sedikit hingga membuatnya shock, dan pingsan berhari-hari.

Pengemudi meninggal di tempat, hanya dia yang selamat di sana. Tiga orang yang ikut menyebrang bersamanya ikut meninggal. Walau Nara tidak pernah tahu kenapa ini berhubungan dengan ingatannya yang hilang. Bella bilang kepalanya sempat terbentur aspal cukup keras. Nara sangat mempercayai Bella. Wanita itu sudah menjadi sahabat terbaiknya.

"Masih sedikit sakit kalau aku menundukkan badan terlalu keras, tadi pagi sempat perih lagi," menjelaskan semuanya. Bella benar-benar sudah menjadi dokter pribadinya.

"Jangan menundukkan tubuhmu terlalu sering,"

"Kau dimana sekarang?"

"Hm, baru saja kembali dari Surabaya. Ada apa? Pasti kangen dengan kecantikanku kan?" meledeknya di seberang sana. Sahabatnya yang tidak pernah berubah.

"Ayo ketemu sebentar, aku ingin bercerita banyak!"

"Kemana bagusnya," Bella nampak berpikir diseberang sana. Sementara Nara sudah memikirkan lebih cepat kemana mereka harus pergi. Satu rahasia lagi yang Ia sembunyikan dari semua keluarganya.

Siapa yang menyangka sosok penurut yang nampak culun dan cupu dalam modis ternyata menyukai Club Malam?

"Kita ke Blue House! Aku rindu jus apel di sana!" tapi tenang saja, biarpun dia agak nakal karena senang berdansa di tempat seperti itu. Nara sangat menghindari yang namanya alcohol. Dia hanya menyukai jus apel di sana, tempat yang sempurna melepaskan penatnya. Berdansa dan tertawa tanpa harus mengekang pribadinya.

"Hah?! Kau gila?! Ah, aku tidak mau!"

"Kenapa?! Bukannya dulu di Surabaya kita sering ke sana, kebetulan di sini ada cabangnya. Ayolah~" dengan nada memohon. Berharap kalau permohonannya dikabulkan.

"No!! Any places? Jangan yang itu, kita cari makan atau tempat nongkrong di restaurant saja gimana?"

Mengerucutkan bibirnya kesal, "Kau ini kenapa sih?! Sejak tinggal di sini, jadi jarang bisa kuajak pergi ke sana!"

"Oh, ayolah Kei, tempat yang lain saja oke?" entah apa yang membuat sahabat yang dulu sempat Ia ajak jadi berandal bersama sekarang berubah alim.

"Hh, baiklah. Tapi lain kali kau harus mau kalau kuajak ke sana,"

"Iya, iya berharap saja orang itu sedang pergi keluar kota yang jauh,"

"Ha? Siapa? Kamu ngelantur, Bel?" sering kali Nara mendapati sahabatnya itu bicara keluar jalur. "Kalau kau mengantuk, besok saja kita ke sana,"

Terdengar suara tawa di seberang sana, "Haha, maaf-maaf. Oke nanti kita ketemu langsung di tempat saja, kutunggu jam Sembilan,"

"Oke!" rasa lelah dan mengantuknya menghilang begitu saja. Setidaknya bertemu dengan sahabatnya setelah seminggu tidak bertemu lebih baik daripada guling-guling tidak jelas.

Siapa yang tahu bahwa sesampainya di rumah, mood Nara akan kembali turun drastis, bahkan lebih drastis lagi.

.

.

"Jagoan Ayah mau pesan apa?" pandangan Arka tidak pernah teralih dari putranya. Sosok mungil itu masih antusias memandang interior di dalam ruangan yang penuh dengan kartun hero favoritenya. Spiderman. Warna merah dan biru mendominasi.

"Kenan, ayo pesan dulu," Melly yang duduk di samping Kenan berusaha menginterupsi pemuda kecil itu.

Sedikit enggan, tapi begitu merasakan perutnya berbunyi, pandangannya menatap kearah Buku menu, "Hm," mencoba membaca dengan super hati-hati.

"Na---si—oyster, yang ini!" meskipun sedikit pelan, jemari mungilnya menunjuk ke sebuah gambar nasi Oyster dengan saus blackpepper yang manis, dilengkap dengan telur dadar dan nasi berbentuk kepala spiderman.

Semua menu di sini memang bertema family, tidak seperti restaurant mewah berkelas. Di sini khusus bagi para keluarga yang ingin mengajak anak-anaknya bersantai.

"Kau mau pesan apa?" bertanya pada Melly, wanita itu masih bingung memilih menu.

"Caviar—ah tidak ada, aku minta chicken salad with caesar salad saja dan air putih."

Benar-benar menu diet, Arka mendengus singkat, memesankan makanan kesukaannya. Sandwhich tomat dan segelas esspreso.

"Ayah, Kenan mau main di sana dulu!" sifat pemalu dan pendiam Kenan berubah drastis jika dia berada di dekat orang yang sangat Ia kenal, terutama Ayahnya. Tubuh mungil itu berlari menuju area bermain yang cukup luas, bersama anak-anak lainnya.

Meninggalkan Melly dan Arka berdua-

"Hh, lain kali jangan mengajarkan Kenan untuk berbohong, Melly." Menatap wanita yang sudah sangat Ia kenal lama. Melly hanya mengendikkan bahunya. "Aku mencoba menolongmu, Dummy."

"Tetap saja-"

Pandangan Melly menatap tajam, "Kenapa? Kau masih tidak lupa kan dengan janjimu dulu? Jangan karena aku memanggilmu Dummy selama ini kau benar-benar menjadi orang yang bodoh, Damian." Memanggil nama laki-laki itu dengan tegas.

Arka masih bungkam, menatap wanita di depannya. Wajah dingin itu masih nampak, "Kenapa kau suka ikut campur dengan masalahku?"

"Saat kau berpikir dirimu tidak pantas untuknya, seharusnya kau bisa berpikir juga-" bergerak menyentuh jemari Arka, menggenggamnya lembut. Melly tersenyum tipis.

"Dia mungkin tidak pantas untukmu. Ingat apa yang wanita itu perbuat padamu, semua cemohan dan tatapan yang melihatmu sebagai pecundang besar."

Tatapan legam itu menatap Kenan, sosok mungil yang masih bermain dengan puas. "Aku tidak tahu," bergumam sendiri. Memberikan jawaban tak pasti.

"Mungkin sudah saatnya kau mencari sosok yang bisa menjaga Kenan. Aku bisa membantumu," masih dengan senyumannya. Saat genggamannya sama sekali tidak lepas dari tangan Arka.

"Ini untuk kebaikan kalian berdua." kembali mengingatkan.

Sosok tampan yang menjadi incaran para wanita, tidak ada yang berani mencoba untuk sampai ke levelnya. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu. Mereka wanita-wanita biasa mungkin hanya bisa memandang dari bawah.

Tapi Melly berbeda, wanita itu sangat mencintai Arka. Selama bertahun-tahun berada di dekat laki-laki itu, tidak ada yang berani mengusik Arka selain dirinya. Dibalik senyuman anggun yang mampu memikat banyak orang.

Melly hanya menginginkan satu orang, hanya Arka. Arkana Damian Ezra.

.

.

.

.

Hari yang cukup melelahkan, mengendarai mobil masuk ke dalam area Apart. Berniat memarkirkan mobil, Manik Ambernya melihat satu mobil yang baru juga datang, lebih cepat darinya.

'Mungkin hanya tetangga,' membatin sekilas, dia ingin secepatnya masuk ke kamar dan berendam air hangat. Pemikirannya sedikit terhenti saat orang di dalam mobil itu perlahan keluar. Mengambil posisi parkir mobil yang pas.

Alisnya sedikit bertaut, "Nadine?" bergumam tanpa sadar begitu melihat sosok adiknya baru saja keluar dari dalam mobil. Ditambah lagi mengajak seorang laki-laki?

'Jangan bilang itu pacarnya yang ke-20?' kali ini bukannya merasa iri, Nara justru tertawa. Rupanya Nadine sudah berani mengajak kekasihnya untuk bertemu Ayah dan Ibu. Kalau biasanya wanita itu cukup menghabiskan waktu diluar saja dengan mantannya yang lain.

Sepertinya dia cukup serius, Nara mengangguk kecil, memperhatikan dari dalam mobil. Meneliti laki-laki itu, 'Oke, dia memang tampan tapi masih kalah dengan Tuan Tampanku di seberang, mobilnya cukup mahal,' kembali berpikir.

Nara mendesah panjang, mengingat bagaimana selera Nadine begitu tinggi. Persis seperti Nara, tapi bedanya, adiknya itu bisa mendapatkan laki-laki yang dia inginkan sesuai tipe, sedangkan Nara boro-boro dapet-

"Aish, aku merendahkan diri lagi!" menepuk pipinya kencang, memperbaiki kacamatanya. Nara bergerak menyampirkan tasnya, dan keluar dari mobil,

Berjalan menuju arah Nadine, cukup melempar senyuman saat mereka melihat. "Lho, Kakak baru datang?" wanita itu bertanya dengan nada khawatir, menghampirinya.

"A-ah, iya, tadi ada sedikit pekerjaan," menjawab seadanya. Merasakan bagaimana Nadine tiba-tiba memeluk lengannya. Bertingkah manis dan manja.

"Hm, Kakak pasti capek karena mengurus anak-anak seharian,"

Sedikit perempatan emosi nampak di kening Nara, wanita itu berjengit menahan kekesalannya. Masih tersenyum, 'Ini anak mulai lagi-'

"Tentu saja, karena pekerjaan ini Kakak bahkan bisa membeli mobil sendiri," menjawab tenang, Nara seolah hapal semua sifat Nadine. Adiknya tidak akan pernah berhenti mencari perhatian orang lain, ya dengan cara merendahkannya seperti ini.

Tenang, Nara sudah terbiasa, dia cukup tahan banting.

"Wah, tentu saja Kakakku hebat." Nadine masih mempertahankan senyumannya, kali ini mencoba mengalihkan perhatian. "Oh, iya Kak. Aku belum mengenalkanmu, ini Rian Baskara, kekasihku." Menatap sosok tegap di sampingnya.

Laki-laki berambut pendek, dengan sedikit gelombang di sana, manik berwarna kecoklatan. Oke, dia memang tampan.

"Ini Kakak yang aku ceritakan. Namanya Vania Nara, cantik kan?"

'Lagi-lagi,' mendecih dalam hati. Bisa Nara lihat bagaimana pandangan laki-laki itu seolah menahan tawa saat Nadine mengatakan kata 'cantik'.

Shit! Nara tahu kok dia hanya tidak suka berdandan, rambut hitamnya juga sengaja Ia potong karena merasa gerah mempunyai rambut panjang saat di Surabaya dulu!

"A-ah, iya, cantik. Salam kenal Kak Nara,"

Memutar kedua bola matanya, Nara meringsek, melepaskan pelukan Nadine. Masih memasang senyumannya. "Kalau begitu Kakak duluan, kau ajak saja dia bertemu Ayah dan Ibu." Menatap Nadine, sebelum akhirnya berjalan mendahului keduanya.

Rasa lelahnya kembali datang, ah sial. Nara sudah bisa menebak acara makan malamnya akan berubah jadi apa nanti.

.

.

Bi Ina menyambutnya saat masuk ke dalam Apartement mereka, satu lantai khusus yang didesain oleh Ayahnya. Khusus untuk keluarganya saja. Memberikan segelas air putih dingin padanya.

"Lho, tumben Non Nara pulang malam? Minum dulu Non,"

Nara mengambil gelas tersebut, menegak cepat. Tanpa meninggalkan setetes pun di sana. Dia sangat haus, air dingin tadi sukses membuat pikirannya jernih kembali. Menarik napas panjang, menatap Bibi-nya-

"Bibi ada buat makan malam ya sekarang?" bertanya sekilas, jika pagi hari dirinya selalu diharuskan untuk sarapan pagi bersama keluarga, lain halnya malam. Mereka hanya kadang-kadang makan bersama, itupun karena Ayah, Ibu atau Nadine tidak tentu jam pulangnya.

"Iya Non, katanya pacarnya Non Nadine mau ke sini. Mau dikenalin katanya, jadi Tuan dan Nyonya minta Bi Ina buatkan makan malam yang enak," wanita paruh baya itu mengangguk dan tersenyum senang.

Sementara Nara mendesah panjang, 'Untung saja aku pergi jam 9,' tapi tetap saja dia malas harus berkumpul dengan keluarganya. Apalagi pertama kalinya Nadine mengajak pacarnya yang tampan dan kaya itu ke Apart. Langsung makan malam bersama lagi?

"Hh, ya sudah nanti panggil saja kalau semua sudah di ruang makan." Menaruh gelas itu diatas nampan, Nara berjalan melewati Bibinya.

"Non Nara jangan ketiduran lho ya!"

"Ya mana mungkin aku tidur jam segini, Bi Ina,"

.

.

Arka berusaha fokus pada putranya saja hari ini, melihat pemuda mungil itu menyantap makanan kesukaannya dengan lahap. "Bagaimana harimu di Day Care tadi?" mencoba bertanya, sembari menyantap sandwhichnya.

Mengabaikan delikan Melly di sebelahnya, Kenan menengadahkan wajahnya, menatap sang Ayah sedikit bingung. "Mm-Kenan belum bisa beradaptasi di sana," menjawab tipis,

"Lalu?"

"Tadi ada teman-teman ngajak Kenan main, tapi Kenan takut, Ayah."

Arka mengangguk paham, mengusap rambut hitam putranya lembut, "Jagoan Ayah masih ingat kejadian di Surabaya dulu?" Kenan menunduk, Arka mengira bahwa pemuda kecil itu akan menangis atau merengek.

Tapi wajahnya kembali terangkat, kali ini dengan senyuman, "Tapi Ibu Nara bilang kalau di sana itu beda, Ayah." Berujar sedikit ragu, bingung bagaimana menjelaskannya.

"Teman-teman Kenan di sana tidak ada yang marah atau kesal liat Kenan naik mobil warna-warni tiap pagi, mereka semua ingin main sama Kenan," tersenyum memperlihatkan deretan gigi susunya.

Arka mendengarkan dengan seksama, masih mengelus puncak kepala Kenan, "Hm, terus?"

"Ibu Nara baik sekali, masak dari siang sampai sore ngejar Kenan terus. Buatin Kenan susu, terus pas napas Kenan sesak Ibu Nara peluk seperti ini, erat sekali. Napas Kenan yang sesak jadi hilang," bercerita panjang lebar mengenai wanita itu.

Melly tidak menyangka bahwa celotehan Kenan mampu membuat senyuman tipis tercetak di wajah Arka, saat mendengar nama Nara. Laki-laki itu seolah terfokus pada putranya saja.

Mengabaikannya?

Manik Hazelnya menatap satu gelas wine yang sempat Ia pesan, mengambil, dan menyesapnya sekilas. Tepat saat salah seorang pelayan berjalan ke arahnya. Mencoba mengambil piring yang sudah kosong agar segera dibersihkan.

"Permisi," berujar singkat-

Menyisakan sedikit wine tersebut, dengan sengaja menyenggol lengan pelayan tersebut, membuat wine yang ada di tangannya terjatuh begitu saja. Mengenai pakaian yang Ia gunakan,

"Astaga," merasakan dingin cairan itu mengenai baju dan roknya, satu hal itu sudah cukup membuat perhatian Arka teralih.

"Ma-maaf, saya tidak sengaja menyenggol tangan Nona," pelayan itu meminta maaf, sementara Melly tersenyum tipis.

"Ah, tidak apa-apa, lain kali berhati-hatilah."

"Maaf! Nanti akan kami ganti kerugiannya."

Menggeleng singkat, "Tidak usah, selama ini bisa dibersihkan." Mengambil tisu dan membersihkan pakaiannya.

"Kau tidak apa-apa?" suara Arka bertanya padanya, sementara Melly masih fokus membersihkan bajunya. "Aku tidak bisa pulang menggunakan baju seperti ini. Ayah pasti marah,"

"Memangnya kau ini anak-anak, Paman memarahimu gara-gara itu saja?" Arka menahan tawanya, sedikit menggeleng melihat tingkah Melly.

Wanita itu mengerucutkan bibirnya, "Ish, setidaknya berbaik hatilah meminjamkan kamar mandimu sebentar. Kan Apartmu tidak terlalu jauh dari sini," memberikan kode keras.

"Lalu setelah itu kau baru mau pulang?"

Melly mengangguk cepat, "Tentu saja, kau yang mengajakku ke sini. Kau juga yang harus bertanggung jawab," tersenyum manis. Laki-laki itu hanya menghela napas panjang.

"Hh, akan kubelikan kau baju baru di dekat sini, itu sudah cukup kan?"

Gemas, wanita itu mengalihkan pandangan, sedikit marah, "Aku tidak mau pulang dengan bau wine seperti ini,"

Arka menyerah, jika menanggapi sifat keras kepala Melly, dia akan selalu kalah. "Baiklah." Menjawab singkat, satu jawaban itu sudah cukup membuat senyuman wanita itu makin tersungging.

"Kalau bisa menginap, aku mau-"

"Dalam mimpimu."

.

.

.

Entah kenapa satu menit berasa satu tahun. Seperti biasa Nara selalu merasakannya, ditambah lagi sekarang. Menggunakan baju kesayangannya, baju oblong berwarna abu-abu dan celana panjang. Rambut hitamnya masih terikat, dan setia dengan kacamata bulatnya.

Menunggu beberapa makanan lagi yang sebentar lagi datang, Nara berniat mengambil buah apel diatas meja sebagai cemilan.

"Nara, jangan makan dessertnya dulu sebelum makanan utama." Ibunya langsung melarang, di depan banyak orang termasuk kekasih Nadine yang kini duduk di samping adiknya.

Berniat protes sebelum dirinya sadar kembali, "Hh, baiklah, maaf." Mendesah panjang.

Perhatian Ibunya teralih menatap Nadine dan kekasihnya dengan wajah bangga, "Oh, iya kalau Tante boleh tahu. Pekerjaan Rian sekarang apa?" seperti biasa, bertanya mengenai bibit, bobot, bebet menantunya.

Bukan hanya Nadine, standard Ibunya bahkan bisa lebih tinggi, terutama jika menyangkut pekerjaan. Setidaknya memiliki posisi penting dalam perusahaan, atau mungkin seseorang yang terkenal, karena jika Nadine memiliki kekasih seorang pegawai biasa.

Wah, langsung ditolak mentah-mentah. Ya, memang tidak ada salahnya sih, toh buat kebaikan putrinya sendiri. Tapi tetap saja, kalau misalnya nanti Nara malah jatuh cinta sama laki-laki biasa bagaimana? Apa mereka mau menerima calon suaminya?

"Sekarang saya jadi General Manager di Cabang ke-2 Perusahaan elektronik Sankai,"

Membulatkan bibirnya, tentu saja semua orang di sana mengangguk kagum. Diusianya yang menginjak 34 tahun menjadi seorang General Manager. Hebat, Nara mengangguk kecil.

"Wah, berarti posisi Rian penting sekali di Perusahaan itu dong. Tante dengar Perusahaan elektronik Sankai kan cukup terkenal." Ibunya menepuk kedua tangan kagum. Nara sudah bisa menebak, wanita itu pasti senang sekali.

"Walaupun belum bisa mengalahkan Perusahaan Tashiba, kami sudah menjadi nomor dua di Indonesia sekarang." Rian menjawab dengan yakin. Ibunya hanya mengangguk paham.

Bahkan Ayahnya pun ikut kagum, "Umurmu masih mudah dan sudah bisa menjadi General Manager, hebat. Paman bisa tenang menitipkan Nadine padamu nantinya."

Wajah Nadine memerah, "A-ah, Ayah. Jangan bicara seperti itu, aku malu," mengibaskan tangannya lembut,

"Tentu saja saya siap,"

"Rian!" memukul pelan pundak kekasihnya, semua orang di sana tertawa. Oke, Nara harus ikut tertawa. Ikuti arus, jangan mengambil tindakan lebih sebelum kamu menginjak bom bunuh diri.

'Jangan menonjol, hindari tiap momen pertanyaan terarah padamu, Nara.' Wanita itu berusaha keras agar tidak menarik perhatian kedua orangtuanya.

Saat Bi Ina datang membawa satu mangkuk makanan, menempatkannya diatas meja, "Ini makanan kesukaan Non Nara. Ayam pedas level 10," menyebut namanya dengan polos.

Saat itu juga Nara ingin terjun ke lubang dalam tanpa dasar, "Tidak mungkin kan aku menikah mendahului Kak Nara,"

Nah kan, 'Ah, sial!' merutuk dalam hati. Nara reflek mengalihkan pandangan, menggigit bibir dan mengepalkan salah satu tangannya gemas. 'Ah, Bi Ina sih!! Kan, kan mereka mulai lagi!!'

"Ngomong-ngomong selama ini rasanya Kak Nara tidak pernah mengajak kekasihnya ke sini,"

'Dasar nenek lampir bermuka malaikat,' merutuk lagi. Nara kembali menatap ke depan, mencoba tersenyum polos.

"Kakak sama sekali tidak keberatan jika kau menikah lebih dulu, Nadine." Menjawab halus. Wajah adiknya mengerucut, mendekati Rian bahkan tak ayal menyenderkan bahu di pundaknya.

"Tapi kan aku tidak mau begitu, bagaimana dengan pandangan orang tentangku nanti? Aku menikah lebih dulu dari Kak Nara." Wanita itu mencoba memojokkannya. Tenang saja, Nara sudah terbiasa.

"Tidak akan ada yang berpikiran buruk tentangmu, Nadine. Lagipula kasian Rian, umurnya kan sudah mau kepala empat, kau tidak mungkin menunggu Kakak menikah sampai dia tua nanti kan?" tersenyum, mengambil minuman di dekatnya dan menyesap singkat.

Bisa Nara lihat bagaimana pandangan adiknya menyipit, dalam hati Nara sudah ketawa keras. 'Haha, rasakan!'

"Nara benar,"

Hampir saja memuncratkan minuman yang Ia teguk tadi, manik Nara melebar menatap wanita di dekat Ayahnya tak percaya. Barusan dia bilang apa? Ibunya baru saja membela-dia?

Nara berniat mengangguk dan terharu, tapi kalimat wanita itu selanjutnya membuat dia dongkol, "Dengan penampilannya yang sekarang, rasanya tidak mungkin ada laki-laki yang suka atau mau menikahinya. Setidaknya perbaiki dulu dandananmu, Nara."

Seperti biasa, Ibunya tidak akan pernah berada di sisinya, dia akan selalu melakukan backing pada Nadine. Kapan pun itu, seperti sekarang ini-

"Sudah jangan berdebat. Melinda seharusnya kau mendoakan agar putri sulungmu bisa mendapatkan pasangan yang pantas."

"Hh, aku hanya berusaha mengucapkan yang terbaik untuk Nara. Setidaknya dia harus mendapatkan kekasih seperti Rian juga."

Entah harus merasa lega atau kesal dengan perkataan Ayahnya. Laki-laki itu juga tidak kalah ketatnya dalam memilih pasangan untuk kedua putrinya.

Nara tidak bisa berharap lebih, jika nanti ada saat dimana sang Ayah menjodohkannya bahkan dengan laki-laki yang tidak Nara suka-

Saat itu juga Nara terpaksa memberontak-

.

.

Pukul 20.30 pm

Memarkirkan mobilnya di basement khusus, "Kau yakin tidak ingin kuantar langsung pulang?" menatap Melly di sampingnya, wanita itu masih bersikeras.

"Setidaknya sampai wine ini menghilang,"

Mendesah panjang, Arka menoleh ke belakang, bukannya mendapati Kenan tertidur di sana seperti biasanya, pemuda kecil itu justru nampak sibuk dengan mainan spidermannya yang baru.

"Ayah kira Kenan tidur," bergumam tipis, keluar dari mobil, dan membuka pintu belakang. "Ayo mainnya selesai dulu," menggendong tubuh mungil Kenan dengan pelan.

"Yah, Kenan masih mau main."

"Setelah ini Kenan harus istirahat, tadi kan capek main di Daycare terus," berbicara sembari melangkahkan kaki menuju lobby. Melly mengikuti langkah laki-laki itu.

"Ish, jangan meninggalkanku, Dummy!"

"Hh, sudah kubilang hentikan panggilanmu itu, Melly."

.

.

"AHHH!!" berteriak sepuasnya, setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Nara langsung merebahkan tubuhnya ke kasur, merasa tidak kenyang karena dia hanya makan sedikit tadi. Bagaimana bisa dia makan dengan tenang kalau pembicaraan tadi selalu menyinggung ke arahnya.

"Ck, padahal Ibu sendiri yang mengeluarkan suara saat makan, eh tahu-tahu tadi Ibu yang paling berisik." Mendumel kesal.

Menggoyangkan kakinya cepat, kedua tangannya memukul bantal berulang kali. Sebenarnya acara mereka belum selesai, kekasih Nadine masih bersama Ayahnya di ruang tamu. Katanya sih mau berbicara mengenai apa gitu.

Nara tidak peduli! Biarkan saja mereka bersenang-senang di sana-

"Mereka tidak pernah berhenti memojokkanku, hh lama-lama aku lelah." Mendesah panjang, membalikkan tubuh. Menatap langit-langit kamarnya. Untung saja dia punya acara malam ini dengan Bella.

Sebelum itu, dia harus bersiap-siap. Berniat bangkit dari posisinya, Nara seolah teringat sesuatu yang super penting. Tidak perlu waktu lama, keringat dingin mulai mengucur dari pelipisnya, maniknya membulat shock.

"Ahh!! Teropongku!!" meringsek bangun dari posisinya, reflek menundukkan tubuh, mencari-cari benda itu. "Dimana aku membuangnya, dimana!" mencoba mengingat kembali. Semoga saja Bi Ina belum sempat membersihkan kamarnya.

Meraba-raba ke bawah kasurnya, "Ini dia," tangannya berhasil mengambil benda itu, berdoa supaya teropong kesayangannya tidak rusak.

Hampir bersujud, "Syukurlah!!" berteriak senang, mengangkat teropongnya, senang karena kondisi benda itu baik-baik saja. Senyuman Nara mengembang, saat mencoba mengecek bagian lensa-

"Eh-" senyumannya memudar cepat, terdapat retakan di kedua lensanya, bagian terpenting. Nara menangis darah. "Noo!! Ah, kan beneran rusak!!" mendumel kesal, dengan panik wanita itu berjalan menuju jendela kamarnya.

Meskipun dia tidak pernah sama sekali mengintip laki-laki itu saat malam hari. Karena dia selalu pulang malam atau bahkan tidak menyalakan lampu ruangan. Kali ini inginnya Nara mengecek keluar saja, berharap lensa teropongnya masih baik-baik saja.

Tubuh Nara menegang, melihat lampu ruangan laki-laki itu tiba-tiba hidup, dengan tirai jendela yang sudah tertutup. Mengarahkan teropong tersebut, meskipun tirainya tertutup-

'Tumben dia datang secepat ini, ditambah lagi lampunya hidup?' manik Ambernya membulat shock saat melihat tidak hanya siluet tubuh laki-laki itu saja yang ada dalam ruangan, melainkan satu siluet dengan lekukan tubuh, dan siluet anak kecil?

Wanita dan anak kecil?!

'Tu-tunggu dulu,' menajamkan penglihatannya, saat tak sengaja tirai tersingkap karena anak kecil itu tengah bermain lari-larian. Manik Nara hampir keluar dari tempatnya-

'L-lho bukannya itu,' masih dengan posisinya yang memegang teropong, tubuhnya gemetar. Antara shock dan sakit hati-eh.

Pose yang sangat memalukan, bak stalker yang mesum. Saat laki-laki tegap itu bergerak mendekati anak kecil di dekat tirai. Wajah tampan itu menengadah-

Menatap ke arahnya, memberikan sensasi kejutan listrik bagi Nara. Manik Amber dan Hitam legam itu bertemu, walau hanya sesaat, tirai tertutup kembali.

Meninggalkan Nara yang membeku di tempatnya, mendapatkan kejutan berulang kali.

Nama Kenan langsung muncul di kepalanya, ketampanan anak itu, berada dalam satu Apart yang sama dengan idolanya. Laki-laki tampan yang Nara kira masih single, ditambah lagi dengan keberadaan wanita penuh lekukan itu.

Nara ketahuan mengintip, padahal belum satu tahun. Usianya 27 tahun, tidak punya pacar, dan sekarang saat tahu laki-laki super tampan itu ternyata Ayah Kenan dan sudah punya istri. Kenapa dia baru sadar sekarang?

Vania Nara Keisya, patah hati.

Maaf baru bisa update guys, terimakasih sudah mau setia komen dan vote cerita iniii XDD Aku seneng bangettt XDD, Tapi aku mau kasih pengumuman kecil, :( kalau cerita ini udah dipinang oleh aplikasi sebelah.

Sudah tamat lho!! Jadi kalian nggak perlu nungguuu XD Ayuk mampir ke sanaa!!

Cari aja : Dreame

Akun : M.Karaaa

Untuk cerita Teach Me How to Play tetap akan aku update mulai sekarang :3

MKaraaacreators' thoughts