webnovel

SECOND TIME

Mario Pratama, Mahasiswa UI yang meninggal terbunuh di rumahnya sendiri. Mendapat kesempatan kedua untuk menemukan siapa pembunuhnya karena polisi telah menutup kasus ini sebelum kasusnya selesai. Alifya Zahranti, salah satu siswi SMA PERMATA di Jakarta. Hidupnya menjadi berubah semenjak bertemu dengan pemuda aneh dan tampan yang meminta bantuannya untuk mengungkap kasus kematiannya.

dian_nurlaili · Teen
Not enough ratings
18 Chs

Part 12

Ify dan Gabriel sampai di sekolah tepat satu menit sebelum bel masuk berbunyi. Tanpa mempedulikan Gabriel yang terus memanggilnya, Ify berjalan cepat ke kelas hingga tak menyadari jika ada seseorang dari arah berlawanan tengah berlari.

Brukk!!

Ify memejamkan mata siap menerima rasa sakit jika dirinya jatuh menghantam lantai. Hingga beberapa detik ia tak merasakan rasa sakit apapun, saat itu juga ia membuka matanya.

Bola mata berwarna coklat adalah hal pertama yang ia lihat, hingga kemudian pahatan wajah yang sempurna dengan wajah bersih tanpa noda. Beberapa detik, Ify terpaku tanpa bisa berbuat apapun. Begitu pula pemuda itu yang juga diam saja.

"Jangan pegang-pegang!" Ify tersentak saat Gabriel menariknya menjauh dari pemuda yang menolongnya itu. Ia tak sadar jika posisi mereka yang seperti orang berpelukan itu telah mengundang perhatian banyak murid.

Pemuda yang dibentak Gabriel hanya menaikkan sebelah alisnya lalu pergi meninggalkan Ify dan Gabriel tanpa sepatah kata pun.

Ify masih memandangi pemuda itu hingga ia menghilang di belokan koridor kelas sepuluh.

"Ayo!" Tanpa ijin, Gabriel menggandeng Ify ke dalam kelas karena bel telah berbunyi.

Sampai di kelas Ify masih terdiam membuat Gabriel heran. Agni pun juga tak tahu menahu dengan perubahan Ify. Hingga istirahat tiba, Ify masih tetap dalam mode bungkamnya.

"Ada masalah?" tanya Agni yang hanya mendapat gelengan dari Ify. Jika sudah seperti ini, Agni pun memilih bungkam. Ify bukan tipe orang yang akan dibujuk dengan rayuan. Ia hanya akan bercerita jika mau, dan Agni memilih untuk menunggu.

Ify bangkit dari duduknya dan berlalu keluar kelas tak mempedulikan Gabriel yang berteriak-teriak memanggil.

"Jangan!" cegah Agni saat Gabriel bersiap untuk menyusul. "Biarin dia sendiri."

Gabriel menurut, tapi tetap melanjutkan langkahnya keluar kelas sementara Agni tetap diam di kelas karena kakinya yang sedikit memar akibat tendangan Ayahnya kemarin.

"Nih!" Agni menoleh dan mendapati Alvin tengah mengulurkan sebuah salep.

"Ini ... apa?" tanya Agni heran tapi tangannya terulur menerima salep dari Alvin.

"Salep," sahut Alvin singkat.

"Iya tahu, tapi buat apa?"

"Memar kamu!"

"Hah?!"

Alvin tak menjawab dan kembali duduk di kursinya. Saat Agni menoleh, Alvin sudah tenggelam bersama bukunya.

Berkali-kali Agni melihat salep di tangannya dan juga Alvin yang sibuk dengan bacaannya. Ada debat halus yang menyentak jantungnya hingga berdetak tak seperti biasanya. Agni tak ingin terlalu memikirkan, tetapi hal itu membuat sudut bibirnya terangkat dengan kupu-kupu beterbangan yang terasa geli di perutnya.

****

Ify menghempaskan bokongnya di bangku taman. Pikirannya menerawang jauh kejadian dua tahun silam. Kejadian yang membuatnya trauma dan tak mau berpacaran lagi. Baginya, laki-laki masih sama brengseknya ketika memainkan perempuan.

Meski sakit saat teringat, Ify juga tak memungkiri ada letupan rindu yang sempat ia rasakan saat menatap bola mata coklat yang sangat dekat seperti tadi.

"Nggak boleh!" desis Ify kepada dirinya sendiri. Bagaimanapun, ia tak mau lagi berurusan dengan siapapun itu yang akan membuat luka lamanya terulang kembali.

"Ternyata masih sama!"

Ify tersentak saat tiba-tiba saja orang yang sangat ingin ia hindari sudah duduk di sampingnya dengan wajah datar tanpa dosanya.

"Masih suka menyendiri dan sering ngomong sendiri!"

Ify masih terdiam tak berminat untuk menanggapi ocehan orang di sebelahnya. Sekuat tenaga, ia mencoba untuk mengabaikan.

"Apa kabar? Dua tahun tidak bertemu kamu masih sama aja!"

Ify bungkam, berniat pergi saat tangannya tertahan dengan sebuah genggaman hangat dari orang yang dulu sempat mengisi hari-harinya. Genggamannya masih sama, namun rasanya berbeda. Jika dulu Ify akan merasa terlindungi, kini ia merasa genggaman itu sanggup meremukkan tubuhnya. Sakit.

"Maaf!"

Ify menoleh mendengar ucapan maaf yang begitu mudah terucap.

"Udah, Zy! Aku rasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara kita," ucap Ify sambil mencoba melepaskan genggaman tangan Ozy.

"Banyak, Fy! Tolong jangan menghindar lagi, aku harus meluruskan semuanya!" pinta Ozy. Ify hampir saja luluh jika saja ia tak melihat Rio tengah berdiri menyandar di pohon dengan kedua tangan terlipat di dada.

Secepat kilat, ia melepaskan tangan Ozy dan berlari ke kelas. Tepat saat sampai di pintu kelas, Ify menghentikan langkahnya.

"Kenapa aku harus lari? Kenapa aku tak ingin Rio melihat dan salah paham?" gumam Ify kepada dirinya sendiri.

"Nggak! Aku pasti sudah gila!"

"Kalau terus ngomong sendiri sih bisa dikategorikan gila."

Ify berjengit kaget saat Gabriel sudah berdiri di belakangnya.

"Sejak kapan?"

"Ha?!" Gabriel melongo tidak paham dengan maksut pertanyaan Ify.

"Sejak kapan kamu ada di sini?" Ify memperjelas pertanyaannya.

"Emm, sejak kamu ngomong sendiri, mungkin?"

"Lupakan apa yang aku katakan! Anggap saja kamu nggak denger apa-apa," ucap Ify lalu masuk ke dalam kelas.

Gabriel terdiam. Ia mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh Ify, tapi ia tak tahu apa maksutnya.

****

Pulang sekolah Ify berniat untuk tidur dan melepaskan semua beban pikirannya. Namun itu hanyalah niat, realitanya kini ia kembali tersasar di depan rumah Dea setelah berdebat dengan Rio yang memintanya kembali menyelidiki kasusnya.

Setelah membunyikan bel, tampak wanita paruhbaya berjalan ke arah gerbang. Itu wanita yang sama seperti tempo hari. Ify hampir saja berbalik pulang jika Rio tidak menatapnya dengan pandangan memohon yang membuat Ify luluh begitu saja.

Pintu gerbang terbuka dan wanita paruhbaya itu kembali menatap Ify dengan pandangan menilai.

"Masih ingat dengan saya? Saya yang beberapa hari yang lalu ke sini!" ucap Ify membuka pembicaraan.

Wanita paruhbaya itu mengangguk.

"Boleh saya bertemu Dea?"

"Berapa kalau saya katakan kalau Non Dea sudah meninggal?" Nada wanita paruhbaya itu meninggi.

"Tapi saya bertemu dengannya beberapa hari yang lalu." Ify tetap ngotot

"Itu bukan Non Dea, itu Non Della."

Ify melirik Rio, tampak raut wajah pemuda itu menegang.

"Memangnya Dea punya kembaran?" tanya Ify.

"Bukankah kau mengaku temannya? Kenapa tidak tahu jika Non Dea mempunyai kembaran?" Wanita itu bertanya menyelidik.

Ify mengumpat. Enggak di sini, enggak di rumah Rio kenapa semua pembantunya sangat kritis? Mereka seolah terlatih untuk tak begitu mudah mempercayai orang asing.

"Dea sangat tertutup dan dia nggak pernah bercerita apapun kepada saya, kami nggak begitu dekat hingga mengetahui latar belakang keluarga masing-masing."

Ify tertawa di dalam hati. Kenal saja tidak bagaimana mungkin mereka saling bercerita?

"Kalau begitu, silahkan pergi! Saya rasa sudah cukup!" Pembantu itu hampir saja menutup pintu gerbang sebelum Ify berteriak.

"Tunggu!"

Gerakan wanita itu terhenti.

"Bagaimana saya bisa yakin kalau itu bukan Dea?"

Wajah wanita paruhbaya itu berubah kecut. Ia kesal karena Ify begitu banyak bertanya dan mengganggunya yang sedang memasak.

"Tunggu sebantar!"

Wanita paruh baya itu melenggang masuk meninggalkan Ify yang terdiam di depan pintu gerbang.

"Kenapa kamu nggak masuk?" tanya Rio heran.

"Kamu mau aku digebukin? Pembantunya aja songong kaya gitu, gimana majikannya?" sungut Ify.

Rio dan Ify terdiam saat wanita paruhbaya itu keluar. Di tangannya terdapat sebuah pigura.

"Ini buktinya!"

Ify menyambut pigura yang disodorkan wanita paruhbaya itu dan tercengang melihat foto dua orang remaja yang mempunyai wajah bagai pinang dibelah dua. Ify tidak bisa membedakan mana Dea dan juga Della.

"Bagaimana? Percaya bukan?" tanya pembantu itu dan kembali mengambil pigura dari tangan Ify.

Ify mengangguk dan pintu gerbang tertutup begitu saja.

"Dasar! Pembantu aja songongnya sampai ubun-ubun!" sungut Ify sambil berbalik pergi.

****

See u next chapter 👋👋

Thanks

_Dee

Sidoarjo, 14 Maret 2020