webnovel

Second Love (Duda Pilihan Papa)

Menikah dengan duda? Tidak pernah terbayang sebelumnya jika aku akan benar-benar mengalaminya. Aku seorang gadis berusia 26 tahun, terpaksa harus menerima jodoh yang dipilihkan oleh papa. Statusku berubah dalam kurun satu waktu, menjadi seorang istri sekalibus ibu bersamaan. "Aku mungkin bisa memberikan perhatian dan baktiku sebagai seorang istri dan ibu, tapi maaf tidak untuk cintaku." —Nisya Kailandra— "Hidup tidak melulu tentang cinta, satu yang aku tawarkan jika kamu menerima perjodohan ini. Aku akan selalu ada saat kamu butuh, dan akan jadi orang pertama yang melindungimu." —Ryan Ahmad Salim—

OryzaSativa · Urban
Not enough ratings
21 Chs

~5~ Tidak Semudah Itu

Sejak insiden siang pertama kami dua minggu yang lalu, hubunganku dengan Mas Ryan sudah satu langkah lebih maju, aku sudah mulai nyaman ketika Mas Ryan menunjukkan perhatiannya kepadaku.

Seperti rutinitas mengantar jemputku setiap hari, yang sudah dua minggu ini dilakukan oleh Mas Ryan. Dan aku sudah tidak kuasa lagi untuk menolaknya. Pun dengan perhatian-perhatiannya yang setiap jam istirahat selalu mengingatkanku untuk jangan sampai melupakan makan siang.

"Mas, hari ini Nisya berangkat sendiri, ya?"

"Kenapa?"

"Nisya ada urusan, nanti sore selepas mengajar."

"Mau kemana?"

"Boleh nggak? Kalau nggak boleh ya nggak apa-apa," tanyaku balik, sengaja aku nggak ingin Mas Ryan tau kemana aku akan pergi, nanti.

"Hanya hari ini, mas ijinkan?"

"Terimakasih, Mas," ucapku dengan senang.

"hhmm"

Akhirnya aku bisa mengunjunginya nanti, sudah dua minggu aku absen, rasanya kangen tapi tidak seperti dulu, sekarang perasaanku lebih tenang dan mulai bisa menerima keadaan kami.

"Nis, kok sudah berangkat sendiri lagi? Jangan bilang kamu lagi dalam mode kembali ke tahap awal lagi."

"Sembarangan kalau ngomong, aku sudah ijin sama Mas Ryan kalau mau berangkat sendiri."

"Kenapa?"

"Apanya."

"Berangkat sendiri?"

"Sudah dua minggu aku nggak ke sana."

"Apa bisa aku artikan, kalau kamu belum cerita masalah ini sama Mas Ryan?"

Aku hanya mengangguk, "Ya Tuhan Nisya! Kenapa?"

"Apanya yang kenapa?" tanyaku balik.

"Tidak menceritakan ini pada Mas Ryan?"

"Kamu pikir gampang Sen, aku seperti tidak punya keberanian kalau cerita ini sama Mas Ryan, lagian kami sudah sepakat untuk tidak membahas masa lalu."

Aku menghendikan bahu acuh, "Bisa gitu?"

"Kenapa enggak, toh Mas Ryan sendiri yang minta."

"Berarti, kamu emang pernah menyinggung masalah ini sama dia, kan?"

"Iya, kemarin aku tidak sengaja ketemu Mama desi di tempat makan langganan kita, pas aku sama Mas Ryan lagi makan di sana juga."

"Terus?"

"Nabrak!"

"Ngomong sama kamu asli ya, Nis, butuh ekstra kesabaran. Kamu cerita ke Mas Ryan, siapa beliau?"

Aku mengangguk saja, "Terus kenapa tidak cerita masalah 'dia' juga?"

"Kamu pikir segampang aku cerita kalau lagi berantem sama Mas Ryan sama kamu Arsena Nadhira! Aku belum siap, dan mungkin tidak pernah siap menceritakan masalah ini sama Mas Ryan, apa aku salah?"

"Entahlah, takutnya semakin lama kamu nggak cerita nanti malah jadi salah paham antara kamu sama Mas Ryan."

Aku diam, nggak tau harus ngomong apa lagi ada benarnya juga yang di bilang Sena, tapi untuk membuka kembali kisah lamaku sama 'dia' sungguh aku nggak sekuat itu, terlalu sakit jika harus aku buka kembali luka yang sudah mulai mengering ini.

Suara dering ponsel yang bisa dipastikan bukan milikku itu nyaring terdengar di ruangan ini, yang memang belum semua guru hadir, hanya ada beberapa orang saja diantaranya aku dan Arsena.

Kulihat wajah sahabatku itu sedikit kesal saat dia melihat layar ponselnya, "Aku speaker, kamu dengerin baik-baik, gimana ngeselinya dia."

"Oy, tante!"

"Sopan kali kau, sama orang tua!"

"Kenapa pagi-pagi sudah culik, Om Biruku?"

"Lhah, kenapa? Masalah gitu, pacar sendiri ini kecuali pacar orang yang aku culik itu yang jadi masalah."

"Awas saja sampai aku telat hari ini, aku aduin ke papa, kalau kalian suka berduaan di rumah."

"Bertiga, kan kamu setannya."

"Sembarangan! sampai aku telat beneran, lihat saja besok aku minta papa buat pindah ke sekolah tante."

"Coba saja kalau bisa, sekolah tante tuh tidak menerima anak setengah jadi macam kamu."

"Tante! suka bener deh kalau ngomong, tunggu aku ya tan, besok pasti aku pindah ke sekolah tante, lumayan kalau bikin ulah di sekolah tak perlu lagi guru BK panggil papa karena sudah ada tante di sana."

"Tak sudi aku, jadi wali murid macam kau ini."

"Ish, tuh kan tambah makin telat aku gara-gara telepon sama tante, pokoknya tunggu aja, besok aku pasti sudah ada di sekolahnya tante! By."

Obrolan mereka terputus ketika si penelepon menutup panggilannya, menurutku cukup lucu mendengar interaksi mereka, ini baru lewat telepon. Aku tidak bisa bayangkan ketika mereka bertatap muka langsung seseru apa mereka kalau berdebat seperti tadi. Pantas saja Sena sering dibuat jengkel olehnya.

"Lihat sendiri kan, pakek segala mau pindah ke sini lagi, makin stres aku dibuatnya. Baru seminggu sekali ketemu aja sudah bikin tekanan darahku naik, apalagi kalau setiap hari mesti ketemu sama setan kecil itu, tak bisa kubayangkan gimana nasibku nanti."

"Memang, dia beneran mau pindah?"

"Sepertinya begitu, sudah kubilang kan dia itu setan kecil yang kerjaannya selalu bikin ulah, terhitung sudah 3 kali yang ini dia pindah sekolah."

"Kayaknya habis ini cobaanmu tambah berat, Sen," ucapku terkekeh geli melihat ekspresi sahabatku itu.

"Sepertinya begitu," ucapnya lesu.

Dari cerita Sena, kalau keponakan Mas Biru itu tumbuh tanpa seorang ibu, hanya ada papa dan Mas Biru sebagai keluarganya. Kasian sebenarnya mungkin kenakalannya itu bertujuan untuk menarik perhatian saja, khususnya Sena yang sudah masuk dalam daftar keluarganya, meski belum resmi menikah dengan Mas Biru, seenggaknya Sena satu-satunya wanita yang ada di lingkaran keluarga itu.

Bisa jadi anak itu rindu akan sosok ibu, yang dimana sosok itu bisa dia temukan pada diri Sena, makanya dia selalu merecoki Sena semata-mata hanya untuk menarik perhatiannya saja, itu sih kesimpulan yang bisa kuambil dari hubungan antara Sena dan keponakannya Mas Biru.

Karena terlalu asyik mengobrol dengan Sena tak sadar jika ruangan ini sudah mulai penuh sama kehadiran para guru pengajar. Kita pun segera memisahkan diri dan kembali ke meja masing-masing.

Aku pun sudah bersiap untuk pergi ke kelas dimana jam pertamaku mengajar ada di kelas 12 IPA 1, kelasnya para juara di sini, berisi para murid-murid yang berprestasi.

Sampai pada waktu jam mengajarku telah usai dan aku sedikit bisa pulang lebih awal dari biasanya, segera aku pamit kepada para guru dan juga Sena tentu saja.

Sesuai sama rencanaku, aku akan mengunjunginya tapi sebelum itu aku harus pergi ke kantorku dulu untuk mengecek apa ada masalah atau tidak.

Ya, aku memang punya usaha sendiri dari mulai lulus kuliah yang berjalan di bidang desain atau bisa dibilang arsitektur.

Bersama dengan satu temanku yang saat ini memegang penuh usaha itu, karena aku memilih untuk mengabdikan diri sebagai pengajar di sini.

Kantor yang aku bangun letaknya tidak terlalu jauh dari tempat Mas Ryan bekerja, semoga saja Mas Ryan tidak sedang ada pekerjaan di luar sehingga bisa bertemu dengannya.

Aku langsung menuju ke ruanganku, tapi seseorang yang tengah fokus sama layar komputer itu menarik perhatian ku. Tanpa mengetuk pintu lebih dulu, aku langsung masuk dan itu membuat sang empunya ruangan mengumpatiku seketika.