webnovel

Second Love (Duda Pilihan Papa)

Menikah dengan duda? Tidak pernah terbayang sebelumnya jika aku akan benar-benar mengalaminya. Aku seorang gadis berusia 26 tahun, terpaksa harus menerima jodoh yang dipilihkan oleh papa. Statusku berubah dalam kurun satu waktu, menjadi seorang istri sekalibus ibu bersamaan. "Aku mungkin bisa memberikan perhatian dan baktiku sebagai seorang istri dan ibu, tapi maaf tidak untuk cintaku." —Nisya Kailandra— "Hidup tidak melulu tentang cinta, satu yang aku tawarkan jika kamu menerima perjodohan ini. Aku akan selalu ada saat kamu butuh, dan akan jadi orang pertama yang melindungimu." —Ryan Ahmad Salim—

OryzaSativa · Urban
Not enough ratings
21 Chs

~20~ Luka Itu

Itu jelas bukan suaraku, melainkan sosok yang sedari tadi sudah memenuhi pikiranku. Mas Ryan, tanpa aba-aba langsung menarikku ke sisinya. Aku cukup terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba menyusulku ke sini.

"Maaf, kalau begitu saya permisi ingin menyusul anak-anak."

Pak Adit melangkah meninggalkanku dan Mas Ryan, kulihat dia sedang menahan emosinya, terlihat jelas dari rahangnya yang mengeras dan juga wajahnya merah padam.

Mas Ryan tanpa kata membawaku ke salah satu kamar hotel yang mungkin sudah dipesannya entah dari kapan, sepertinya Mas Ryan sempat beristirahat juga di sini melihat tempat tidurnya yang sudah tak serapi ketika pertama kali datang.

Dengan sedikit kasar Mas Ryan melepaskan genggaman tangannya, "Apa sudah cukup waktumu bersenang-senang, Nisya!" ucapnya penuh penekanan disetiap perkataannya.

"Maksud Mas apa?"

"Sepertinya kamu sangat menikmati kebersamaan kalian di sini."

"Nisya nggak ngerti sama arah pembicaraan Mas, dan juga kenapa Mas ada di sini?"

"Kamu nggak suka mas ada di sini, atau takut kebersamaan kamu sama dia terganggu akan kehadiran mas? Pantas saja kamu lupa kasih kabar sama mas, nyatanya di sini kamu sudah dapat perhatian darinya."

"Mas, Nisya hanya ...."

Mas Ryan memberi isyarat untuk aku tidak melanjutkan ucapanku, dengan menahan tubuhku untuk tetap menghadapnya. Aku mencoba menahan perih saat tangan Mas Ryan menyentuh memar dilenganku.

"Mas capek Nis, selama ini hanya mas yang berjuang, tapi kamu? Tidak pernah sekalipun bisa melihat perjuangan yang mas lakukan untuk kamu. Mas tahu jika kamu belum bisa mencintai mas, tapi jika kamu terus-terusan menghindar seperti ini apa yang bisa mas lakukan? Memaksamu? Mas yakin itu malah semakin membuatmu menjauh dari mas. Membiarkanmu? Seperti yang sudah belakangan ini mas lakukan, itu juga membuatmu terlena dan semakin mengabaikan keberadaan mas sebagai suamimu."

Terlihat jelas amarah yang berusaha dikeluarkan oleh Mas Ryan lewat ucapanya.

"Mas, bisa tolong lepasin tangan Mas? Ini sakit," pintaku. Jujur aku sudah merasa kesakitan dengan tekakan yang Mas Ryan berikan di lenganku.

"Kenapa? Mau menghindari mas lagi?"

Sontak aku menggeleng, karena tidak kuat lagi menahan rasa sakitku, isakan itu keluar juga dari mulut berikut dengan bulir-bulir bening yang seakan tak mau kalah ingin keluar juga dari singgasananya.

Mas Ryan, hanya diam dan masih menatapku tajam. Aku yang memang sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakit baik fisik maupun perasaanku  meluapkan semua itu lewat tangisan yang terdengar begitu menyesakkan.

Melihatku menangis seperti ini, Mas Ryan agaknya mulai luluh, namun tangannya masih tetap tidak mau melepaskan cengkramanannya dari lenganku, walau aku sudah memintanya.

"Tolong lepas Mas, sakit," ucapku dengan terbata.

Kembali aku memintanya, dengan tanganku yang mencoba mengendurkan cengkramannya. Sepertinya Mas Ryan mulai sadar jika ada yang tidak beres, diperiksanya lenganku dengan menggulung keatas baju yang kukenalan dibagian lengan sampai bahu. Di sana terlihat jelas memar yang sudah membiru bekas cengkramannya kemarin, ditambah lagi aksinya barusan yang semakin membuat rasa sakitnya bertambah.

Kupikir Mas Ryan juga tidak sadar jika sudah menyakiti fisikku sedemikian rupa, sebab dia sendiri terkejut melihat bukti amarahnya yang terdapat di tubuhku.

"Sayang, i... ini?" kagetnya sambil menatapku sendu, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Begitu cepatnya perubahan yang Mas Ryan tunjukkan, dari yang awalnya marah sekarang lihat saja, Mas Ryan sudah seperti orang yang telah melakukan dosa besar. 

"Apa ... ini ulah mas kemarin malam?" sambil menggeleng pelan, "Ya Tuhan, kenapa kamu nggak bilang sama mas, Sayang!"

Kedua tangannya lantas menangkup wajahku sembari mengusap lelehan air mata yang sudah membasahi seluruh permukaan wajahku. "Maaf," ucapanya lirih.

Mas Ryan beralih membawaku ke dalam dekapanya, sambil terus mengucapkan kata maaf tiada henti. Aku tahu dia sangat menyesal telah membuatku terluka tanpa sadar, karena terlalu dikuasai oleh amarah saat melakukan ini kepadaku kemarin malam.

"Apa ada yang sakit lagi, selain yang ini?"

Aku hanya bisa menggeleng pelan menanggapi pertanyaannya, dengan wajah yang masih tenggelam di dada bidangnya.

Mas Ryan mengecek kembali lenganku, mungkin dirasanya lenganku yang hangat, lantas tangannya berpindah kedahiku untuk memastikan suhu tubuhku yang memang kurasakan sudah semakin panas.

"Kamu demam, Sayang." kagetnya,  "pasti ini gara-gara ulah mas. Demi apapun mas tidak akan memaafkan diri mas sendiri jika sampai kamu kenapa-kenapa," ucapnya dengan lembut menatapku.

"Maafin mas ya, mas sangat menyesal," kembali Mas Ryan meminta maaf, entah sudah yang keberapa kali kata itu keluar dari mulutnya.

"Nisya capek, Mas."

"Istirahat ya, di sini saja biar mas temani."

Aku menerima tawarannya karena sudah sangat letih, Mas Ryan membantuku membaringkan tubuh dan akupun segera memejamkan mata, berharap rasa pusing ini lekas mereda, pun juga demam yang mulai kurasakan efeknya, aku merasa kedinginan dengan suhu badanku yang semakin terasa panas.

Entah sudah berapa lama aku tertidur, perlahan kelopak mataku mulai menyipit guna menormalkan pandanganku.

"Nggak bisa, Sar! kali ini aku benar-benar nggak bisa kembali, Nisya sedang sakit jadi kumohon kamu cobalah beri pengertian kepadanya. Waktuku bukan cuma untuk kalian saja, ada Nisya yang juga butuh perhatianku."

Sayup-sayup kudengar suara Mas Ryan sedang mengobrol, saat kulihat dia begitu serius berbincang dengan lawan bicaranya lewat telepon. Sepertinya Mbak Sarah yang sedang menghubunginya karena aku sempat mendengar Mas Ryan menyebutkan nama itu. 

Kuputuskan untuk beranjak pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara dan menganggu obrolan Mas Ryan dengan mantan istrinya. Yang pasti ada nama Alshad di dalamnya, anak yang sampai saat ini masih begitu kurindukan, tapi sayangnya aku sudah tidak ada hak lagi untuk menemuinya.

"Bu Nisya, sakit? Wajah Ibu pucat dan terlihat lemas, silahkan duduk dulu Bu," ucap salah satu muridku sambil menarik satu kursi kosong untukku.

Aku menghampiri mereka yang lagi bersiap diri untuk acara final yang sebentar lagi akan di mulai. Semua peserta juga satu persatu sudah mulai berdatangan.

"Bu Nisya, kalau sakit istirahat saja biar kami yang mendampingi anak-anak, bukanya tadi ada suami Ibu juga?"

"Iya, saya hanya ingin memastikan anak-anak saja tadi."

Melihat kedatangan Mas Ryan yang akan menghampiriku, aku segera pamit undur diri kepada semuanya, tak lupa kuucapkan sedikit kata sebagai penyemangat untuk mereka yang akan berjuang kembali.

"Kenapa keluar? Apa kamu mendengar pembicaraan mas ditelepon tadi?"

Kugerakkan kepala kekanan dan kekiri bergantian, "Justru nggak mau mencuri dengar obrolan Mas, makanya Nisya keluar."

"Sarah yang telepon, dia bilang ...."

"Stop Mas! jangan dilanjutkan jika itu menyangkut anak kalian. Nisya sudah berusaha untuk tidak memikirkannya lagi, jadi Nisya mohon sama Mas jangan sebut namanya dihadapan Nisya, karena sungguh hanya mendengar namanya saja Nisya sudah bisa merasakan sakitnya."

"Apa maksudmu, sayang? Kamu mau melupakan Alshad, dan tidak mau memikirkannya lagi?"

"Bukanya kalian sendiri yang menginginkan ini, kenapa sekarang sepertinya Mas nggak terima?"

Perbincangan kami terpotong karena ponsel Mas Ryan yang tak berhenti berbunyi, aku yang sudah merasa muak sekaligus capek merebut ponsel itu dari genggamannya dan menerima panggilan yang ternyata dari mantan istrinya.

"Ryan! kamu apa-apaan sih, ini acaranya sudah mau selesai dan kamu malah masih asyik dengan istrimu di sana. Alshad sudah nanyain kamu terus sedari tadi."

Aku mengerutkan dahi karena tidak mengerti maksut ucapanya, "Acara? Memang Mbak lagi dimana?" tanyaku untuk memastikan maksud dari ucapanya.

"Oh, pantes kamu yang pegang ponselnya Ryan ternyata. Bilang suamimu jika kami sudah akan selesai dan anaknya tidak mau pulang jika ayahnya tidak kembali ke sini secepatnya!"

"Aku tanya, Mbak ada dimana sekarang?"

"Memang Ryan nggak bilang sama kamu? Kita sedang mendampingi Alshad tour yang diadakan sekolahnya."

Deg.

Sekarang giliranku yang terkejut mendengar fakta ini.

"Baiklah, nanti kusuruh Mas Ryan untuk segera kembali ke sana."

Aku yang mengakhiri panggilan itu dan memgembalikan ponsel milik Mas Ryan.

"Mungkin Aku yang terlalu percaya diri, mengira bahwa Mas memang benar-benar datang menyusulku kesini atas keinginan Mas sendiri. Tapi nyatanya Mas hanya singgah, kan? Dan sekarang sudah waktunya buat Mas kembali kepada mereka. Pergilah! Nisya nggak mau jika disalahkan oleh mereka lagi kalau sampai Mas terlambat datang. Entah apa yang sudah Mas katakan kepadanya tentangku, sehingga Mbak Sarah terlihat begitu membenciku. Mas marah ketika melihatku hanya sekedar berbincang saja dengan rekanku, lalu yang Mas lakukan sekarang apa? Pergi bersama wanita lain sebagai pendamping Alshad, dengan status kalian yang sudah berpisah, dan juga tanpa sepengetahuan aku istri Mas yang sekarang. Apa menurut Mas itu pantas dilakukan oleh pasangan yang sudah resmi bercerai?"