webnovel

Second Love (Duda Pilihan Papa)

Menikah dengan duda? Tidak pernah terbayang sebelumnya jika aku akan benar-benar mengalaminya. Aku seorang gadis berusia 26 tahun, terpaksa harus menerima jodoh yang dipilihkan oleh papa. Statusku berubah dalam kurun satu waktu, menjadi seorang istri sekalibus ibu bersamaan. "Aku mungkin bisa memberikan perhatian dan baktiku sebagai seorang istri dan ibu, tapi maaf tidak untuk cintaku." —Nisya Kailandra— "Hidup tidak melulu tentang cinta, satu yang aku tawarkan jika kamu menerima perjodohan ini. Aku akan selalu ada saat kamu butuh, dan akan jadi orang pertama yang melindungimu." —Ryan Ahmad Salim—

OryzaSativa · Urban
Not enough ratings
21 Chs

~18~ Menghindar

Aku menepati ucapanku kemarin untuk pulang pagi-pagi sekali. Sampai rumah kulihat Mas Ryan sedang berada di kamar mandi, akupun langsung berganti pakaian dengan baju kerja sesuai jadwal hari ini.

Mas Ryan, sepertinya cukup kaget melihatku yang sudah berada di kamar. Sesuai permintaannya kemarin, aku sudah siap untuk diajaknya bicara.

"Kamu menghidar dari mas, Nisya?" tanyanya memulai obrolan kami.

"Jujur iya, Nisya merasa sedikit butuh menjauh dari Mas untuk memulihkan kembali otakku agar tidak ada prasangka buruk terhadap, Mas."

"Prasangka buruk tentang mas?" menunjuk dirinya sendiri, "memang, apa yang sedang kamu pikirkan tentang mas? Apa mas ada buat salah sama kamu?"

"Mas, merasa ada salah nggak sama Nisya?" Aku menjawab pertanyaan dengan pertanyaan kembali.

"Mas minta maaf kalau ada salah sama kamu."

"Memang apa kesalahan, Mas?"

Dia menggeleng lesu, "lantas untuk apa Mas minta maaf, jika tidak tahu kesalahan Mas?" cecarku.

"Nisya sudah tahu, Mas. Pantas saja selama ini Mas melarangku untuk bertemu dengan Alshad, ternyata memang benar apa yang Mas katakan, jika Alshad sudah bahagia bersama ibu 'kandungnya' sendiri," sengaja aku menekankan kata kandung dihadapanya. "Berikut Mas yang sepertinya ikut menikmati waktu kebersamaan kalian," sambungku.

"Mas beneran nggak ngerti, sama apa yang kamu omongin."

Aku tersenyum miris, "Nisya tahu Mas, dan sudah melihatnya sendiri. Betapa bahagianya kalian kemarin siang, mungkin jika orang yang tidak tahu pasti akan mengira kalau kalian memang sebuah keluarga yang harmonis."

Mas Ryan, dia terlihat terkejut mendengar pengakuanku, agaknya dia sudah mulai mengerti ke mana arah pembicaraanku. "Sayang, mas bisa ...."

Ucapanya terpotong tatkala terdengar suara ringtone ponsel yang berbunyi, bukan milikku melainkan ponsel Mas Ryan sendiri yang berada di atas nakas samping tempat tidur. Fokus Mas Ryan sudah teralihkan oleh benda persegi itu yang kini berada di genggamannya dan mengabaikanku.

Aku yang memang sedang menyimpan kekecewaan terhadapnya tidak lagi ingin melanjutkan obrolan ini, dan memilih untuk berangkat ke sekolah. Meninggalkan Mas Ryan yang entah apa yang dirasakannya sekarang, setelah aku mengetahui apa yang berusaha ditutupinya dariku.

************************************************

"Mas yakin, ini tempat yang pas untuk kita bicara?"

"Nggak ada pilihan lain, takutnya kamu menghindar lagi dan memilih pulang ke rumah mama seperti kemarin. Mas nggak bisa jika harus berjauhan dari kamu, sudah dua hari mas nggak bisa tidur dengan tenang. Takut tiba-tiba kamu pergi dan nggak kembali lagi."

Mendadak Mas Ryan mengunjungiku di sekolah dan memintaku untuk melanjutkan obrolan yang terputus pagi tadi. Ini belum pernah dilakukan sebelumnya, dan aku sumpah demi apapun tidak akan mau untuk membicarakan masalah rumah tangga di sini.

"Mas tahu kalau ini tempat umum?"

Dia mengangguk.

"Terus kenapa Mas ingin menyelesaikan masalah rumah tangga di siini? Menurut Mas apa ini pantas?"

"Oke, mas minta maaf, tapi apa kamu bisa berjanji untuk tidak pulang dulu sebelum mas datang menjemputmu?"

"Nisya bawa motor! Dan nanti akan pulang sendiri ke rumah, Nisya janji," ucapku meyakinkannya.

Sepertinya Mas Ryan masih teguh sama pendiriannya, dia tetap bersikeras ingin menjemputku. Mengangguk pasrah aku lantas menyetujuinya agar pembicaraan ini cepat selesai.

Mas Ryan menggeser kotak makan yang dibawanya tepat dihadapanku, "Makanlah, mas yakin kamu belum sempat sarapan tadi pagi."

"Mas, mau suruh Nisya makan sebanyak ini?" cetusku melihat tumpukan kotak makan yang dibawanya.

"Ya nggak sendiri juga, Sayang! Mas juga mau lagian tadi mas belinya memang banyakan. Soalnya kamu juga suka ngajak Sena untuk makan bareng, kan."

"Aku suruh Sena kesini, Mas nggak keberatan memangnya?"

"Nggak masalah, sekalin Mas mau bilang terimaksih sama dia kemarin sudah repot anterin kamu pulang."

Setelahnya kami makan siang bersama dengan diselingi obrolan dari Sena dan juga Mas Ryan, mereka memang jarang sekali bertemu tapi sekalinya bertatap muka sudah seperti tidak ada aku diantaranya. Karena Sena sudah seperti radio rusak, mengoceh kesana kemari dan Mas Ryan mau-maunya menanggapi ocehan unfaedah dari Arsena.

"Mas Ryan, terimaksih ya kalau bisa sering-sering mampir sini biar bisa makan bareng lagi."

Aku mendengkus mendengar perkataan sahabatku ini. "Enak di kamu, suka banget sama yang berbau gratisan."

"Siapa yang nggak suka sama yang gratisan Nisya Kailandra! Kamu lupa apa pura-pura nggak ingat. Sendirinya kalau lihat makanan yang kubawa pasti mau mau saja kukasih."

"Tidak semua juga Arsena Nadhira! Hanya kalau bekalmu itu dari Mas Biru, selebihnya mana mau aku apalagi jika itu hasil masakanmu sendiri, mending aku nahan lapar dari pada harus sakit perut."

Perdebatanku dengan Sena berakhir kala Mas Ryan pamit untuk kembali ke kantornya, karena jam istirahatku juga dirinya sudah akan berakhir. Aku mengantarnya sampai depan dan menunggu hingga mobil yang dikendarainya menghilang dari pandanganku.

************************************************

"Kamu salah Nisya, jika prasangka buruk tentang mas yang kamu maksud pagi tadi itu berpusat pada kesibukan mas belakangan ini. Mas memang benar-benar sedang disibukkan dengan pekerjaan di kantor, tidak ada niat mas untuk menyembunyikan apapun dari kamu. Mas mendapatkan promosi kenaikan jabatan, dan untuk menerima itu semua tidaklah mudah Nisya. Mas harus menyelesaikan pekerjaan mas yang sekarang sebelum serah terima jabatan baru, dilakukan bulan depan."

Mas Ryan mengawali pembicaraan setelah kami selesai makan malam, memilih ruang tengah yang hanya terpisahkan lemari pembatas antara ruang makan dan dapur yang menjadi satu. Kami duduk bersisihan untuk menyambung obrolan yang tertunda, Mas Ryan terlihat serius dan bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya, tidak terlihat jika dia sedang berbohong dari tatapan manik legamnya.

"Terus, yang kemarin siang itu?" tanyaku.

"Bukan hanya kamu yang khawatir dengan kondisi Alshad, Sayang. Mas pun sama, setelah tahu dari kamu malam itu mas segera memastikan sendiri dengan menghubungi Sarah balik, dan dia bilang kalau Alshad beneran sedang demam, tapi setelah mas selesai telepon kamu sudah tidak ada di kamar lagi."

Mas Ryan memberi jeda atas ucapanya.

"Dan untuk makan siang yang kamu lihat kemarin siang, memang benar mas ada di sana menemani mereka, namun hanya sekedar menemani saja tidak lebih. Mas datang ke rumah Sarah ingin melihat kondisi Alshad, sampai di sana kulihat anak itu sudah nampak ceria kembali. Dia sangat senang melihat kedatangan mas lalu meminta supaya mas mengajaknya untuk makan di sana yang memang kesukaan dia, kan." jelasnya.

"Kenapa Mas tidak mengajak Nisya?"

Terlihat raut wajah Mas Ryan berubah, yang awalnya serius menjadi sendu membalas tatapan mataku. "Jujur, ini bukan yang pertama kali mas mengunjunginya," Mas Ryan mengambil tanganku untuk digenggamannya, "mas minta maaf selama ini tidak melibatkanmu untuk ikut serta."

Mas Ryan seperti merasa bersalah setelah selesai mengatakan itu. Akupun cukup terkejut mendengar pengakuannya ini, selama ini aku yang selalu mengajaknya untuk menemui Alshad, tapi selalu Mas Ryan menolaknya dengan alasan yang sama setiap kali aku meminta.

"Kenapa?" lirihku.

Aku sedikit tidak terima dengan apa yang dilakukan Mas Ryan, sekarang aku jadi merasa jika kehadiranku memang sudah tidak diharapkan lagi. 

"Maaf, ini merupakan permintaan dari Ibunya, Sarah," tatapan penyesalan yang ditunjukan Mas Ryan padaku tak lantas membuatku luluh.

"Ibunya ya, Mas." Aku tersenyum getir, dengan pandanganku yang sudah mulai kabur  "apa bundanya ini sudah tidak berhak lagi untuk menemuinya?"

"Bukan seperti itu, sayang!"

"Lalu apa?" Aku sedikit meninggikan suaraku, "hanya itu yang kutangkap dari penjelasan Mas, kalian memang ingin aku tidak menemuinya lagi bukan. Aku mengerti sekarang, bagaimanapun juga aku hanyalah orang luar diantara kalian. Sebaik apapun aku memperlakukan anak itu dulu, seakan tidak ada artinya bagi kalian. Apalagi statusku hanya sebagai ibu sambung, pasti banyak yang mengira kalau aku tidak tulus merawat dan menyayangi Alshad selama tinggal bersamaku."

Aku segera meninggalkan Mas Ryan yang ingin mencoba menjelaskan kembali maksut dari perkataan yang diucapkannya tadi, tapi aku menolak dan pergi dari hadapannya. Aku tidak menyangka jika Mas Ryan bisa setega ini padaku dan menuruti permintaan Mbak Sarah untuk tidak membawaku menemui anaknya. Demi apapun Alshad, sudah kuanggap sebagai anak kandungku sendiri.

Selama ini aku tulus merawatnya, tidak pernah sekalipun aku berbuat kasar pada anak kecil itu. Kasih sayangku benar-benar tulus untuk Alshad, sehingga aku sangat merasa kehilangan saat Mbak Sarah mengambil hak asuhnya dariku.

Setiap hari aku selalu merindukan sosoknya, Alshad yang tidak pernah mau jauh dariku ketika di rumah. Alshad yang kerap kali meminta dibuatkan puding kesukaannya. Alshad yang selalu tidur dalam dekapanku setiap malamnya. Semua tentang anak itu sekarang hanya tinggal kenangan belaka.

Aku sudah tidak lagi bisa bertemu dengannya, pun dengan kedua orang tuanya yang tidak ingin lagi aku punya hubungan apapun lagi dengan anak semata wayang mereka.