webnovel

Second Love (Duda Pilihan Papa)

Menikah dengan duda? Tidak pernah terbayang sebelumnya jika aku akan benar-benar mengalaminya. Aku seorang gadis berusia 26 tahun, terpaksa harus menerima jodoh yang dipilihkan oleh papa. Statusku berubah dalam kurun satu waktu, menjadi seorang istri sekalibus ibu bersamaan. "Aku mungkin bisa memberikan perhatian dan baktiku sebagai seorang istri dan ibu, tapi maaf tidak untuk cintaku." —Nisya Kailandra— "Hidup tidak melulu tentang cinta, satu yang aku tawarkan jika kamu menerima perjodohan ini. Aku akan selalu ada saat kamu butuh, dan akan jadi orang pertama yang melindungimu." —Ryan Ahmad Salim—

OryzaSativa · Urban
Not enough ratings
21 Chs

~16~ Rindu Tapi Semu

"Selamat pagi, Bu Nisya." Sapa salah satu murid yang kata Sena kesayanganku, aku memanggilnya karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya.

Alina, aku bangga memiliki murid sepertinya. Selain pintar dia juga mandiri, apalagi setelah tahu satu fakta yang membuatku semakin respect sama pribadinya. Alina, ternyata tumbuh sebagai korban broken home, sejak usianya sepuluh tahun dia sudah diasuh oleh tantenya, adik dari mendiang ibunya.

Dari Sena aku mengetahui fakta ini, karena abang dari Mas Biru belum lama ini menikah dengan tante dari Alina. Dan ada satu fakta lagi yang baru kuketahui beberapa hari terakhir, Alina dia juga bekerja paruh waktu untuk biaya sekolah dirinya dan juga sang adik yang masih duduk di kelas 9 SMP.

"Alin, nggak mau jadi beban buat tante lagi, Bu. Sudah cukup selama ini kami menyusahkanya, dengan kehadiran Alin dan juga adek. Banyak yang harus dikorbankan oleh tante kami, bukan hanya waktu juga materi tapi juga kebahagiannya pun dikorbankan tante demi kami. Maka dari itu Alin memilih untuk bekerja selagi Alin mampu."

Ungkap Alina saat aku menjumpai dia tengah melakukan pekerjaannya sebagai waiters di cafe dekat rumah pribadiku. Ya, aku memang mempunyai hunian sendiri yang sampai saat ini belum diketahui oleh Mas Ryan.

"Alina, bisa ikut ibu sebentar?"

Dia mengangguk dan mengikuti langkahku dari belakang. Kuajak dia menuju ruang BK yang memang hanya disana tempat sepi dari aktivitas para murid.

"Kamu, masih bisa pikirin ini masak-masak Alina. Satu bulan ibu rasa itu waktu yang cukup sembari kamu mempersiapkan ujian yang akan segera berlangsung."

"Apa Alin bisa, Bu? Alina merasa tidak yakin mampu untuk pekerjaan yang ibu tawarkan."

"Melihat kemampuanmu selama ini, ibu yakin kamu bisa Al, lagian ibu juga carinya yang mudah kamu pelajari. Dari pada kamu harus kerja di sana, kan."

Aku memberi tawaran pekerjaan di kantor milikku, kebetulan Yasa memang lagi butuh seseorang untuk membantunya, dan Alina sepertinya cocok dan sesuai dengan kriteria yang Yasa inginkan.

Tapi aku baru bisa membawanya setelah dia selesai ujian, tepatnya satu bulan lagi. Alina dan juga semua murid didikku akan melakukan ujian kelulusan sekolah.

"Oh, iya. Untuk selanjutnya kamu sudah ada pandangan mau lanjut kuliah di mana?"

"Alin sedang mempersiapkan untuk ikut seleksi beasiswa yang diadakan oleh salah satu kampus negeri di sini, Bu. Mohon doanya ya Bu Nisya, agar Alin bisa lolos."

"Pasti! ibu yakin kamu pasti lolos, semangat lagi belajarnya. Ibu akan selalu mendoakan kalian semua, semoga rencana dan keinginan kalian bisa berjalan sesuai harapan."

Setelah perbincangan kami, aku menyuruhnya kembali ke kelas, aku sangat yakin dengan kemampuan yang dimiliki Alina. Pun dengan Yasa yang pasti dia akan sedikit terbantu dengan kehadiran Alina di kantor nanti.

******************************************

"Mas, mau kemana?"

Ini hari minggu, tidak biasanya dia berpakaian rapi seperti ini. Apalagi sebelumnya tidak ada bilang kalau akan pergi atau sedang ada janji temu dengan seseorang.

"Mas ada kerjaan mendadak, Sayang! Barusan dapat telepon dari kantor, kamu nggak papa kan, di rumah sendirian? Atau mau ikut mas saja, tapi mas nggak janji bisa cepat selesainya, sih."

"Nisya di rumah saja, tapi nanti kalau bosan boleh nggak Nisya pergi? Paling ke rumah mama atau Sena, itu juga kalau nggak males, sih," ucapku sambil tersenyum canggung.

Kulihat Mas Ryan malah ikutan tersenyun melihat tingkahku, tangan kananya terulur mengusap lembut pipiku, disusul tangan kirinya yang sekarang menangkup wajahku, akupun membalas tatapan manik legam netranya.

"Maaf ya, belakangan Mas disibukkan dengan pekerjaan, dan tidak bisa menemani kamu di rumah weekend ini. Maaf juga mas masih belum bisa antar jemput kamu lagi."

Pernyataan Mas Ryan seakan dirinya sangat merasa bersalah terhadapku, meskipun sebenarnya aku nggak papa jika harus kembali menggunakan motor kesayanganku untuk bekerja, karena memang sudah terbiasa.

Apa yang sudah dikatakan Mas

Ryan pun terjadi, hari sudah hampir gelap. Cahaya senja pun sinarnya sudah mulai memudar berganti bayangan awan gelap menghiasi langit sore. Tampaknya akan turun hujan sebentar lagi dan Mas Ryan, sejak keluar dari rumah tidak ada pesan ataupun teleponnya yang masuk ke ponselku.

Terhitung sudah lebih dari satu minggu, Mas Ryan semakin sibuk dengan pekerjaannya. Aku jadi kasihan jika seperti ini terus, bisa-bisa Mas Ryan akan jatuh sakit. Mengingat dia yang sering melupakan makan siangnya.

"Mas, sudah pulang?"

Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk menghalau cahaya lampu yang dinyalakan Mas Ryan. Ternyata aku ketiduran di ruang depan, karena menunggu kepulangannya yang tak kunjung memberi kabar.

"Kenapa tidur di sini?" tanyanya sambil membantuku untuk bangun dari posisiku yang semula rebahan diantara tumpukan bantal sofa.

"Nisya nungguin Mas tadi, seharian juga nggak ada kabar akan pulang jam berapa."

Bukan membalas ucapanku, Mas Ryan malah merengkuhku ke dalam dekapanya. "Ponsel mas mati, lupa nggak bawa power bank juga tadi."

"Mas kebiasaan banget, deh," ucapku cemberut.

"Iya, mas minta maaf, ya. Ayo kita pindah ke kamar," ajaknya seraya membimbingku berjalan.

"Mas, sudah makan memangnya?"

"Sudah, tadi sekalian makan di luar. Kamu sudah makan apa belum?"

Kepalaku sontak menggeleng, "Nisya tungguin Mas, sampai ketiduran dan nggak sempat makan."

"Ayo, mas temenin makan."

"Nggak usah, Mas. Nisya sudah terlanjur ngantuk juga, kita langsung istirahat saja, ya."

Belum sempat Mas Ryan menjawab pertanyaanku, tiba-tiba telepon rumah berbunyi, aku segera menjawabnya namun tidak ada suara dari seberang sana. Aku lantas menutupnya dan kembali melanjutkan langkahku menuju kamar bersama Mas Ryan.

Baru dua langkah, telepon itu berbunyi lagi. Akupun menjawabnya dan sama seperti sebelumnya tidak ada suara apapun dari seberang sana. Ini aneh, siapa sebenarnya yang menelepon malam-malam begini? Mas Ryan juga sepertinya tidak mau ambil pusing, dan tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar kami.

Kulihat dia tengah mengisi daya ponselnya, lalu meletakkan di atas nakas dan berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku sendiri segera merebahkan tubuhku di sisi tempat tidur setelah menyiapkan baju ganti untuknya.

Sembari menunggu Mas Ryan selesai, tanganku terulur untuk mengambil buku yang ingin kubaca, tapi bukan buku yang kudapat melainkan ponsel Mas Ryan yang sedang berdering karena ada telepon masuk.

Nama Mbak Sarah yang muncul di layar, aku menimang-nimang antara kujawab atau tidak panggilan darinya. Namun pada dasarnya jariku ini yang tidak bisa kuajak kompromi dengan lancarnya menggeser icon hijau pada layar ponsel Mas Ryan. Itu artinya aku sudah terhubung dengan panggilan Mbak Sarah.

"Susah banget hubungin kamu seharian ini Ryan! anakmu demam aku butuh uang untuk membawanya berobat."

"Mas Ryan masih di kamar mandi, Mbak. Biar nanti kami yang kesana dan membawanya berobat, sudah dari kapan dia demamnya?" jawabku.

"Jangan berani-beraninya datang kesini! Aku tidak butuh kehadiran kalian, yang kubutuhkan hanyalah uang agar bisa membawa Alshad segera berobat!"

Kudengan Mbak Sarah sedikit mengatur napasnya, mungkin masih ada yang ingin dikatakannya.

"Bilang sama suamimu, untuk segera mengirimkan uang sekarang juga!" 

Ucapan terakhirnya karena setelah mengatakan pesan itu, Mbak Sarah langsung mematikan sambungan teleponnya.

Dari layar utama ponsel Mas Ryan, terlihat begitu banyak pesan dari Mbak Sarah yang belum dibukanya. Tidak ingin berlaku lancang untuk yang kedua kalinya, aku mengembalikan benda persegi itu ke tempat semula tepat saat Mas Ryan membuka pintu kamar mandi.

"Ada telepon masuk?" tanyanya menghampiriku.

"Mbak Sarah, minta kiriman uang katanya Alshad demam."

Aku beranjak keluar dari kamar ini menuju kamar sebelah, kamar yang dulunya di tempati oleh Alshad. Rasa rinduku terhadap anak itu sudah pada level tertinggi, janji yang Mas Ryan utarakan bahkan sampai saat ini belum juga direalisasikannya untuk membawaku menemui anaknya.