webnovel

Second Love (Duda Pilihan Papa)

Menikah dengan duda? Tidak pernah terbayang sebelumnya jika aku akan benar-benar mengalaminya. Aku seorang gadis berusia 26 tahun, terpaksa harus menerima jodoh yang dipilihkan oleh papa. Statusku berubah dalam kurun satu waktu, menjadi seorang istri sekalibus ibu bersamaan. "Aku mungkin bisa memberikan perhatian dan baktiku sebagai seorang istri dan ibu, tapi maaf tidak untuk cintaku." —Nisya Kailandra— "Hidup tidak melulu tentang cinta, satu yang aku tawarkan jika kamu menerima perjodohan ini. Aku akan selalu ada saat kamu butuh, dan akan jadi orang pertama yang melindungimu." —Ryan Ahmad Salim—

OryzaSativa · Urban
Not enough ratings
21 Chs

~12~ Kencan

"Sudah semua, kan? Nggak ada yang tertinggal?"

"Sudah, Mas sendiri ada yang mau dibawa lagi?"

Mas Ryan menggeleng, "ayo!" ajaknya seraya membukakan pintu penumpang untukku.

Weekend ini aku diajaknya liburan entah mau kemana, Mas Ryan tidak memberi tahuku. Alshad, anak itu tidak ikut karena sejak kemarin sudah diambil papa untuk menginap di rumah beliau.

"Mas," panggilku.

"Kenapa?" Mas Ryan melirikku sekian detik setelah itu fokusnya kembali pada kemudinya.

Aku mengangkat tautan jemari kami, " Bisa nggak ini dilepas dulu? Nanti Mas susah dan makin capek nyetirnya."

"Biasanya juga seperti ini, kan?"

"Iya, tapi biasanya ...."

Aku tidak lagi bisa melanjutkan kata-kataku, karena Mas Ryan secara tiba-tiba membawa jemariku untuk dikecupnya, sambil menoleh kearahku dan tersenyum tipis.

"Kamu istirahat saja, nanti kalau sudah sampai mas bangunin," ucapnya sambil mengelus pelan pipiku dan menciumnya sekilas, sebab aku sedang menoleh kearahnya. Dan ini membuatku tak bisa berdiam diri lagi dengan perlakuan Mas Ryan.

"Mas, kenapa sekarang sering banget tiba-tiba cium Nisya? Untung di dalam mobil coba kalau di tempat umum, malu tahu," ucapku.

"Kenapa harus malu? Yang mas cium istri mas sendiri, bukan istri orang."

"Ck, kalau Sena lihat pasti habis aku habis dibully sama dia."

"Kenapa?"

"Yang Mas lakuin pas di sekolah kemarin, disaksikan oleh Sena, Mas Biru, plus ditambah keponakan sekaligus murid baruku yang ngeselinnya subhanallah, jadi kesel aku di cengin mereka seharian," rajukku.

"Jadi, kamu malu?"

Aku mengangguk, "Bisa nggak, kalau Mas mau skinship jangan lagi di tempat umum, atau minimal di dalam mobil saja bisa, kan?" ucapku ragu, takut jika Mas Ryan salah mengartikan keinginanku.

"Mas cuma mau nunjukin kepemilikan atasmu, biar nggak ada yang berani ngedeketin kamu lagi."

"Emang, siapa yang mau ngedeketin Nisya?"

"Banyak, saking banyaknya mas kadang pengen cepet-cepet jemput kamu dan mas bawa pulang."

Terlihat raut muka Mas Ryan yang menegang, "Mas tau Nis, arti dari tatapan mereka terhadapmu, mungkin kamu nggak sadar jika selama ini ada beberapa guru laki-laki yang diam-diam merhatiin kamu di sekolah."

Aku hanya diam mendengarkan penuturan Mas Ryan, "Jadi, apa salah jika mas berusaha untuk menunjukkan ke mereka semua, kalau kamu sudah menjadi milik mas?"

"Bukan salah, tapi apa nggak ada cara lain?"

"Ada, tapi mas nggak yakin kamu mau melakukannya."

"Apa?" tanyaku penasaran.

"Nggak usah ngajar lagi."

"Mas, menyuruhku untuk berhenti mengajar begitu?" Aku cukup kaget dengan ucapannya, kenapa Mas Ryan punya pikiran seperti itu.

"Jangan salah paham dulu, mas tau kamu nggak mungkin mau berhenti mengajar. Maka dari itu mas hanya minta kamu terima saja apapun yang mas lakuin ke kamu bahkan jika itu di tempat umum sekalipun, lagian yang mas lakuin itu wajar kok dilakuin sama pasangan suami-istri."

Aku menimbang-nimbang tawaran yang Mas Ryan usulkan, lagian ada benarnya juga sih. Aku lantas mengangguk dari pada harus berhenti mengajar. Semakin ke sini aku merasa kalau Mas Ryan kerap kali menunjukan sikap posesifnya terhadapku. Apa ini imbas dari permintaanku yang menyuruhnya untuk berubah? Tapi bukan ini yang kumaksud, aku hanya ingin dia berubah menjadi tegas terhadap siapapun yang nantinya akan memperumit hubungan kami, terutama Mbak Sarah, mantan istrinya.

"Sayang, ayo bangun kita sudah sampai."

Perlahan aku membuka kedua mata lantas menyipit guna menghalau cahaya terang yang membuatku silau, mungkin hari sudah beranjak sudah siang. "Tunggu! Mas panggil aku apa tadi?"

"Sayang, kenapa?"

"Aneh banget Mas dengernya, bisa nggak ...."

"Lupa sama apa yang sudah kamu sepakati tadi?"

Mulutku sontak tertutup rapat Mas Ryan, bisa banget bikin aku gak bisa berkutik. Pun dengan perlakuan setelahnya, yang biasanya hanya mengandeng tanganku saja ketika berjalan, kini Mas Ryan lebih berani lagi untuk melingkarkan lengannya dipinggangku.

"Mau tahu, kenapa Mas pilih tempat ini?" tanyanya ketika kami sudah berada di kamar hotel tempat kami menginap.

Aku menggeleng, "Kenapa?" tanyaku sambil mengikuti Mas Ryan yang membawaku duduk di sofa.

"Sebelumnya mas ingin bilang dulu, jangan pernah berpikir yang macam-macam, atau jika ada yang mengganjal di pikiranmu katakan dan tanyakan saja langsung sama mas."

Sepertinya Mas Ryan akan membicarakan hal yang serius. "Oke."

Mas Ryan menceritakan semua tantang masa lalunya yang selama ini tidak kuketahui, tentang bagaimana bisa dia menikah dan soal kehadiran Alshad yang sangat tidak diinginkan oleh ibunya sendiri, Mbak Sarah.

Aku sendiri cukup terkejut dan merasa ada yang janggal dari runtutan kejadian yang diceritakan oleh Mas Ryan, sepertinya ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Tapi untuk menanyakannya langsung aku tidak seberani itu, takut menyinggung perasaannya karena ini hal yang sensitif menurutku.

"Jadi, Mas Ryan merasa bersalah?" tanyaku.

Dia mengangguk yakin. "Selama mas hidup, itu adalah kesalahan terbesar yang mas lakukan, Nisya," ucapnya sendu. Sebesar itukan perasaan bersalahnya Mas Ryan.

"Dan Mas percaya begitu saja? Kenapa tidak cari tau dulu kebenarannya, kurasa Mas juga sadar jika ada yang tidak beres, kan?"

"Nggak bisa Nis, selain dulu mas yang memang masih ada rasa sama dia, juga karena mas ingin segera bertanggung jawab atasnya."

Benar-benar definisi bucin yang sesungguhnya. Pantas saja sampai sekarang masih suka menuruti kemauan mantan istrinya. Awas saja jika setelah ini Mas masih mau menurutinya, aku tidak akan tinggal diam.

"Mas percaya jika seiring berjalannya waktu mas bisa bahagia bersamanya, apalagi dulu dia juga sempat membalas perasaan mas, dan mas cukup senang, ditambah kehadiran Alshad, walaupun saat itu sangat ditolak oleh ibunya tapi mas sangat bahagia."

Melihatku yang terdiam Mas Ryan lantas menyadarkanku dari lamunan tentangnya, aku memang sedang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi antara Mas Ryan dan mantan istrinya bahwa sebucin apa dirinya dulu terhadap Mbak Sarah. Dan kenapa hanya membayangkannya saja sudah membuatku merasakan sedikit rasa nyeri di dalam sana.

"Sudah, nggak usah dipikirkan, ayo kita keluar jalan-jalan sama cari makan sekalian, maaf jika cerita mas tadi malah membuatmu berpikir keras."

"Mas Ryan!" panggilku ketika dia akan beranjak.

Tanpa aba-aba aku langsung memeluknya, agaknya Mas Ryan terkejut dengan aksiku ini, terbukti tubuhnya yang langsung menegang.

"Maafin Nisya, karena selama ini sudah menuduh mas yang tidak-tidak."

"Nggak usah minta maaf, tapi ini lepas dulu ya soalnya mas ...."

"Kenapa? Mas nggak mau kupeluk?!"

"Bukan begitu Sayang! mas belum selesai ngomong, mas susah napasnya kamu peluknya kenceng banget tadi," akunya.

Aku jangan ditanya, kupastikan wajahku sudah seperti kepiting rebus. Aku sampai tidak berani mengangkat wajahku dan tetap bersembunyi di pelukan Mas Ryan. Hanya karena mendengar kata sayang yang keluar dari mulutnya tapi efeknya bisa sampai seperti ini, aku sudah mirip remaja yang baru merasakan jatuh cinta.

"Angkat wajahmu, Sayang."

Perlahan kuturuti permintaannya, jarak antara wajah kami hanya letebal kertas. Bisa kurasakan hembusan napasnya yang menenangkan, sampai kurasakan sapuan bibirnya membelai lembut bibirku, aku pun tidak tinggal diam dan ikut membalasnya. Tangan kanannya meraih tengkukku guna memperdalam ciuman kami, sementara tangan kirinya seakan tidak mau kalah untuk terampil mengeksplor tubuh bagian atasku.

"Aahhh..." leguhku disela permainan yang kami lakukan.

"Mas!" Aku menggeleng saat Mas Ryan menghentikan permainannya.

"Kenapa?" tanyanya dengan suara parau yang kupastikan jika Mas Ryan juga sama sepertiku yang sudah tidak bisa menahan hasratnya lagi.

Aku hanya bisa pasrah dengan setiap sentuhan yang diberikan oleh Mas Ryan, itu terasa begitu memabukkan. Bahkan tanpa terasa aku sudah sangat basah di bawah sana, dan Mas Ryan masih belum juga memulai permainannya.

"Mas Ryan, please!" pintaku memohon.

Katakanlah aku terlalu bernafsu, karena memang kenyataannya seperti itu, aku sudah berada di puncaknya dan Mas Ryan masih belum puas untuk melakukan foreplay terhadap tubuhku yang kini sudah dalam keadaan tanpa kain penutup. Mungkin terlalu sibuk dengan gairahku, sehingga aku tidak sadar jika keadaanku sudah polos dengan baju yang sudah tergeletak di atas lantai tak beraturan. Cukup satu kali hentak dan Mas Ryan sudah berhasil memenuhiku, selanjutnya kurasakan hentakan-hentakan kecil terus dilakukan dengan seirama sehingga membuat sensasi yang semakin memabukkan.

"Your my sexy wife, Sayang," lirihnya disela-sela aktivitas kami.

"Mas ...."

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku Mas Ryan dengan cepat membungkam bibirku kembali, namun kali ini dengan gerakan kasar dan menuntut. Tubuhku sudah bergetar hebat menikmati setiap sentuhan yang semakin lama semakin dipercepat tempo gerakannya. Sampai aku merasakan ada yang akan meledak di dalam sana.

"Mas Ryan, Nisya ...."

"Tahan ya, kita sama-sama."

Seakan paham apa yang kuinginkan, Mas Ryan kembali menaikkan tempo hentakannya yang kian cepat sampai pada akhirnya kami sama-sama merasakan sensasi panas yang luar biasa berikut cairan kental kurasakan mulai membanjiri inti bawahku.

Tubuhnya melemas seketika dan ambruk di atasku, akupun tak tinggal diam dan melingkarkan kedua tanganku ke punggungnya, dengan tujuan untuk menahannya agar tetap seperti ini karena aku ingin menikmati sisa-sisa permainan kami dengan napas yang masih sama-sama memburu.

Entahlah aku seperti tidak ingin moment seperti ini cepat berlalu, hanya dengan melihat raut lelah dan gurat kepuasan yang di tunjukkan Mas Ryan menjadi kesenangan tersendiri bagiku.

"Terima kasih, Sayang." ucapnya lantas berbalik menarikku ke dalam pelukannya dengan kondisi yang masih saling menyatu satu sama lain.