webnovel

Sebuah Lara untuk Zara

Sebuah lara yang tak ada habisnya, mungkin memang sudah jadi takdir untuk selalu menemani Zara. Tak ada yang benar-benar menerimanya, baik keluarga atau dalam lingkup pertemanan. Terlahir dengan kulit kusam, dan jerawatan, sepertinya dianggap terlalu memalukan oleh kedua orang tuanya. Mama artis, Papa pun juga begitu. Intinya, keduanya terkenal. Tak urung identitas Zara sudah ditutup rapat sejak ia kecil. Zara kira ... kisah percintaannya lebih baik. Nyatanya semua tak sesuai harapan. Zayn Arielo tak bisa ia gapai karena alasan ... dirinya si gadis buruk rupa. Ya, ia kira sampai kapan pun, gadis buruk rupa sepertinya tak cocok bersanding dengan sang pangeran tampan seperti Zayn. Sepertinya, sampai kapan pun, bahagia tak akan pernah ada dalam sejarah hidupnya.

Intanworld · Teen
Not enough ratings
207 Chs

Hukuman

Zayn lagi, Zayn lagi. Zara ingin kesal, tapi tak bisa. Walau lelaki itu pernah mematahkan sebagian hatinya, akhir-akhir ini ... dia yang seolah jadi pahlawannya. Semuanya, pasti Zayn.

"Makasih, Kak Zayn," ujar Zara untuk kesekian kalinya juga.

Zayn mengulas senyum tipis, tangannya terangkat, mengusap puncak kepala Zara dengan pelan. Kini keduanya berhasil melewati pagar dinding sekolah. Tentunya di halaman belakang sekolah yang jarang sekali dikunjungi guru.

"Sama-sama, lain kali kalau terlambat kabarin gue ya?"

Dahi Zara mengernyit bingung, ia menatap Zayn dengan pandangan bertanya, "Buat apa memangnya?" tanyanya.

Zayn menyengir lebar, manis sekali, apalagi lesung pipinya, "Biar bisa gue bantuin manjat lagi."

Tawa Zara mengudara, lepas tanpa beban. Untuk sekian lama, ia akhirnya bisa merasakan ini juga. Sebelumnya, hanya Kai yang mampu membuatnya tertawa lepas. Padahal Zayn hanya berujar demikian yang tak ada lucunya sama sekali.

"Aku bisa sendiri," ujar Zara setelah menyelesaikan tawa.

Zayn mengedikkan bahu, "Nggak nyampe kalau nggak ada pundak gue, lo kan pendek."

Zara berdecak sebal, "Mentang-mentang tinggi," cibirnya.

Zayn geleng-geleng kepala. Sementara Zara kembali berterima kasih setelahnya dan berniat melangkah pergi. Namun, langkahnya terhenti tatkala Zayn tiba-tiba menariknya untuk bersembunyi.

"Kaya ada suara di sini tadi, ya, Pak?" tanya seorang siswa berseragam putih abu-abu.

Sosok lelaki paruh baya di sebelahnya mengangguk pelan, "Iya, cari aja, palingan sembunyi," balasnya.

Hatcim!

Ck, sialan sekali memang. Zara pakai bersin segala. Zayn sendiri yang berada di belakang Zara sudah mengumpat sembari buru-buru membekap mulut Zara agar tak bersuara.

"Diem, dong!" ujar Zayn kesal, kalau gini kan ia jadi kena imbasnya juga.

Zara menunduk dalam, rautnya tampak dipenuhi rasa bersalah, "Maaf, Kak," lirihnya pelan.

Zayn menghela napas, ingin marah tapi tak bisa. Entah karena apa.

"Kalian ngapain?! Mau berbuat mesum di sekolah, hah?"

Keduanya terlonjak kaget tentunya. Apalagi guru paling killer di sekolah ini tiba-tiba mengacungkan penggaris panjang ke depan Zara. Gadis itu langsung meloncat ke samping saking kagetnya.

"Kalian ngapain peluk-pelukan di sini?" Kali ini sosok siswa tadi alias ketua osis yang sama galaknya ikut bersuara.

Zayn mendengus. Siapa juga yang pelukan? Ia hanya membekap mulut Zara dengan tangannya. Berlebihan sekali guru killer satu ini.

"Ikut kami!"

Dengan langkah terpaksa dan muka masam, Zara dan Zayn berjalan di belakang keduanya. Sudah pasti kena hukuman, memangnya mau apalagi?

"Kalian dihukum lari keliling lapangan 5 kali."

Berbanding dengan Zayn yang santai-santai saja, Zara meneguk ludahnya sendiri. 5 kali baginya itu seperti 100 kali. Susah, sudah Zara duga pasti ia tak kuat. Mau bagaimana pun juga, dari dulu dirinya tak ahli jika masalah olahraga begini.

"Kami pantau dari tepi lapangan, jangan berhenti berlari kalau belum 5 kali!" Dua lelaki itu beranjak ke tepi lapangan.

Zara menarik napas panjang, Zayn sudah berlari di depan sana. Sementara dirinya ... dengan langkah yang terbilang pelan berlari di belakang Zayn. Apes, padahal tadi ia sama sekali belum sarapan.

Puncaknya, tatkala rasa kunang, pusing, perut mual menjadi satu. Tak bisa dideskripsikan lagi bagaimana rasanya.

"Kak, aku--"

Zayn menoleh, langkahnya terhenti. Dan dengan gerakan cepat lelaki itu berlari menuju Zara yang sudah ambruk di tanah.

"Zara!"

Terakhir yang gadis itu dengar sebelum kesadarannya menghilang adalah suara teriakan Zayn.

Setelahnya, gelap, Zara tak lihat atau mendengar apa-apa lagi.

***

"Zara, kamu nggak apa-apa?"

Belum menjawab, mata Zara mengerjap, mungkin matanya masih dalam tahap penyesuaian karena baru terpejam cukup lama.

Gadis itu menatap satu per satu dua orang yang berdiri bersisian di depannya. Sedikit tak menyangka ada salah satunya.

"Kak Zayn ... Kak Agra?" gumam Zara bertanya.

Gadis itu berusaha bangkit dari duduknya, dan Zayn langsung turun tangan untuk membantu. Sementara Agra sendiri tetap diam di tempatnya. Tak berniat bersuara, hanya ada tatapan datar yang ada.

"Lo nggak papa?" tanya Zayn dengan tampang khawatirnya.

Zara terdiam sebentar, sebelum akhirnya menggeleng pelan. Ia menoleh ke arah Agra, termenung sebentar sebelum kemudian mengulas senyum lebar.

"Kak Agra ngapain di sini?" Ada banyak sekali harapan di balik pertanyaan yang Zara lontarkan.

"Tadi dia yang-"

Ucapan Zayn terhenti tatkala Agra melayangkan tatapan tajamnya.

Lantas lelaki jangkung berstatus kakak kandung Zara itu mengangkat satu alisnya, lantas berdecih sinis setelahnya, "Gue? yang pasti sih bukan untuk nungguin lo," jawabnya.

Bahu Zara merosot turun, senyumnya tadi langsung hilang. Harusnya ia sadar diri, kalau Agra tak akan pernah seperti apa yang ia mimpikan. Misal seperti hal mengkhawatirkannya.

"Terus ngapain Kak Agra di sini?" Zara kembali mengajukan kalimat tanya.

Agra mendengus terlebih dahulu, "Gue disuruh Zayn tadi."

Dahi Zayn berkerut, "Loh? Tadi kan--"

"Jangan harap gue khawatir sama sampah kaya lo," Agra menjeda kalimatnya sebentar, "Karena itu nggak akan terjadi."

Zara menunduk dalam sebentar lalu mengulas senyum tipis, "Iya, aku tahu, karena aku bukan Kak Citra."

"Ck, drama!"

Zayn menatap Agra kesal, "Santai dong!" ujarnya ngegas.

Agra tak berniat menjawab atau sekedar mengucapkan satu patah kata, ia pergi begitu saja. Meninggalkan Zayn dan Zara yang dilanda keheningan. Hanya sebentar, karena setelahnya Zara kembali bersuara untuk sekedar bertanya jam berapa.

"Jam sebelas, Ra, lo pingsannya lama banget," cibir Zayn.

Zara mengusap tengkuknya dengan gelagat merasa tak enak, "Kak Zayn dari tadi nungguin aku?" tanyanya.

Zayn terdiam, sebelum akhirnya mengangguk pelan, "Gue nungguin lo dari tadi," jawabnya.

"Eh, makas--"

Ucapan Zara terhenti saat dering ponsel Zayn yang diletakkan di nakas berbunyi. Zara sempat melihatnya. Nama Citra tertera di sana. Tapi, Zayn seolah menyadarinya dan buru-buru pamit untuk segera pergi dari sana. Zara memakluminya. Bagaimana pun juga, waktu itu--Zayn berkata lebih mencintai Citra yang memang mempesona.

"Ck, kenapa aku cemburu, sih?" gumam Zara pelan.

Aneh memang, rasanya ada yang mengganjal saat melihat nama Kakaknya tadi. Zara seolah tak suka, padahal dirinya bukan siapa-siapa. Ia tahu, ia sadar, rasa cintanya pada Zayn masih besar. Apalagi jika mengingat perlakuan Zayn akhir-akhir ini. Lelaki itu seolah memberinya harapan, yang bahkan Zara sendiri ragu untuk menggapainya.

Zayn seolah memberinya kesempatan untuk berjuang. Sialnya, dinding yang Zara bangun tinggi-tinggi hampir runtuh. Dan pelakunya tentu Zayn sendiri.

"Haus," gumam Zara.

Ia mengambil tas sekolahnya, kemudian turun dari brankar. Gadis itu melangkah pelan, karena jujur tubuhnya lemas.

Ia berjalan keluar, namun, langkah kakinya terpaku tatkala melihat Zayn ada tepat di depan pintu uks. Dengan buru-buru, Zara memilih untuk bersembunyi di balik pintu. Entahlah, ia hanya penasaran apa percakapan Zayn dengan Kakaknya.

"Iya-iya, gue ke sana. Lo tungguin, gue masih meranin tokoh pangeran baik hati."

Dahi Zara berkerut. Tunggu, apa maksudnya?