webnovel

Sebelum Hujan Turun

Berbagai manusia, datang dengan segala kepentingan dan urusannya. Sesekali menaruh cita, untuk disiramku, katanya. Ada yang menaruh sedih, hanya sekadar agar kuberi pulih. Ada yang menaruh luka, agar aku lebih kuat dalam beberapanya. Pun, ada yang menaruh lagu sedih, agar lebih kuat mengembara lirih. Tak jarang, ada pula yang menaruh lagu gembira, agar aku tak lupa ada orang-orang yang matanya masih peka dengan sekitarnya. Dan dari semua itu... cerita dititipkan. Namun, ada satu hal yang selalu datang tiba-tiba, ia yang datang karena yakin ada hujan pada diriku yang meluruh di ingatannya—dan jatuh pada layar ponselnya. "Kau tahu apa yang didoakan bayang-bayang pada Tuannya?" Tentang mimpi, luka masa lalu, dan apa-apa yang layak disebut "Aku adalah Kamu." Simak perjalanan Nurul Hayya menemukan diri dan yang hilang dari separuh hidupnya. Ya, ini terjadi sebelum hujan turun itu tiba. Hujan yang awalnya begitu disukainya, kemudian jadi momen begitu membencinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Simak selengkapnya di "Sebelum Hujan Turun"

Ana_Oshibana · Teen
Not enough ratings
1 Chs

Part 1 - Hujan Kecemasan

Banyak orang merindukan kepulangan. Namun, tak sedikit pula yang lebih merindukan makna kepergian. Salah satunya gadis beransel biru itu. Ia duduk menekuri ujung sepatunya. Sepatu putih dengan hiasan tiga kupu-kupu biru yang sedikit basah. Agaknya, hujan sukses membuat setiap jalanan penuh dengan genangan. Tak jarang pula meninggalkan berbagai kecemasan.

"Ah... gimana kalau Ibu tahu? Tambah mendung lagi. Maaf, Nika. Aku jadi pergi terburu," gumamnya.

Dari jarak beberapa meter, seorang gadis berlari tergopoh memanggul tas di atas kepalanya. Lalu berteriak, "Hayya!! Kenapa nggak nungguin sih!"

Ia memanyunkan bibirnya. Lalu duduk di bangku halte sebelah kiri Hayya. Tubuhnya yang sedikit gemuk cukup berkeringat dengan berlarian mengejar Hayya. Aroma khas tubuh bercampur gerimis kecil, sungguh mungkin hal itu yang membuat Hayya menutup hidungnya yang mungil itu.

"Kenapa diem aja sih! Aku tadi nungguin di gerbang tau! Eh malah duluan ke sini! Nyebelin!" kesalnya.

"Iya-iya, maaf. Aku tadi buru-buru pengin pulang!"

"Emang mau ngapain? Tadi temen sekelas nyariin kamu lho. Katanya nilai ulangan Biologimu paling bagus. Keren emang bestieku!" ucapnya seraya memeluk lengan Hayya dengan tersenyum lebar. Berlaku seolah akrab sekali.

"Apaan sih, Nik. Lepasin. Sakit tau!"

"Ih... gapapa kali. Masa dipegang lengannya aja sakit. Aku tuh seneng banget punya temen udah cantik, pinter, terkenal lagi. Deuh... siapa yang gak bangga kan?" cerocos Nika, teman sebangku Hayya.

"Lebay deh. Kamu juga bisa kok," ucap Hayya sambil mengipasi ujung sepatunya dengan kipas elektrik bermotif kucing biru di tangannya.

"Aku? Mana mungkin. Gak remedi aja udah bersyukur banget!" jawab Nika heran setelah melihat Hayya lebih sibuk menatap ujung sepatunya.

"Kenapa sih? Basah, ya? Gapapa kali. Nanti juga kering sendiri," celetuk Nika.

Hayya hanya melihat sekilas wajah Arunika. Teman sebangkunya itu memang selalu menyemangati dalam hal apapun. Meskipun beberapa sifatnya cukup menyebalkan. Namun, kalau ditanya siapa yang paling tahu dan dekat dengan Hayya, Arunika atau Nikalah orangnya.

"Aku mesti pulang lebih cepet. Dahhh!" ucap Hayya setelah Bus arah rumahnya, sudah hampir mendekat.

"Iya. Jangan cemberut. Nanti cantiknya luntur, lho. Figthing, Hayya!" ucap Nika dengan penuh semangat.

Bus yang ditunggu Hayya akhirnya sampai. Ia pun segera menaikinya. Gadis bermata bulat itu mencari kursi dekat jendela. Berharap angin yang menerpa akan membuat ujung sepatunya lebih cepat mengering sempurna.

Hayya biarkan jendela Bus terbuka seluruhnya. Ia majukan kaki kanannya. Sepatu di kaki kanannya memang yang paling basah. Ia tak sengaja menginjak genangan air saat pulang sambil berlarian menuju halte.

Hayya melepas ransel birunya. Ia taruh di depan tubuhnya. Didekap dengan tangannya yang terluka. Meskipun belum berhijab, Hayya memakai seragam sekolah panjang. Lengkap dengan kemeja panjangnya.

Perlahan, tangan yang mendekap ranselnya, mengendap-endap di ujung kemejanya. Seakan ragu ingin membuka kancing lengannya. Matanya melihat ke kanan dan kiri. Tak ada yang ia kenal, selain diri sendiri.

"Aman." Ucapnya lirih.

Hayya membuka kancing lengan kemeja OSISnya. Ia gulung kecil untuk melihat bagian tertentu. Entah apa yang ingin ia pastikan.

"Aw!!"

"Kenapa, Mbak?" tanya seorang Ibu yang duduk di sebelah Hayya.

"Eh, gapapa, Bu. Tadi cuma kepentok." Ucap Hayya berbohong.

"Oh... kirain kenapa. Iya, busnya emang cepet. Hati-hati ya, Mbak. Mbaknya SMA ya?"

"Iya." Hayya menjawab singkat. Matanya melihat ujung lengan kiri yang ia sembunyikan dengan ranselnya.

"Oh... pantesan. Anak saya juga SMA, Mbak. Tapi belum pulang. Padahal lagi hujan gini tuh menurut saya cepet pulang gitu kayak Mbaknya. Anak saya mah nggak," tutur seorang Ibu bermata sayu itu.

"Dia sukanya jalan-jalan sama temen-temennya. Meskipun hujan begini, pasti malah sukanya hujan-hujanan. Kadang malah pulang basah semua. Saya yang tadinya kesal, tapi gatau kenapa malah ketawa," lanjut Ibu itu.

Refleks, mata Hayya langsung teringat ujung sepatunya yang basah. Namun, mendengar Ibu di sebelahnya masih bercerita, ia kembali mendengarkannya.

"Entahlah... sepertinya naluri keibuan memang tak pernah berbohong. Bagaimanapun itu anak yang saya sayangi, Mbak. Mungkin, seumuran Mbaknya." Ucapnya sambil menengok dan tersenyum ke Hayya.

"He he... beruntung yah, dia punya Ibu yang penyayang," jawab Hayya menanggapi.

"Semua Ibu pasti sangat menyayangi anaknya. Mau senakal apapun dia. Saya sangat mendoakannya agar tumbuh jadi anak yang shalihah dan cantik seperti Mbaknya," ucap Ibu bermata sayu itu.

Hayya hanya tersenyum sekilas. Namun, matanya ia coba tetap arahkan melihatnya.

"Eh, ya. Saya hampir sampai. Duluan ya. Semangat belajarnya. Hati-hati. Ada Ibumu juga yang di rumah pasti sudah menanti." Lanjut Ibu bermata sayu itu.

Tak lama kemudian, Bus berhenti. Ibu yang tadinta duduk di sebelah Hayya beranjak berdiri. "Duluan ya, Mbak."

Hayya kembali tersenyum menanggapi. Matanya ia arahkan kembali ke lengan kiri. Ia lipat ujung lengan kemeja putihnya.

"Oh... ternyata sudah lumayan kering lukanya. Syukurlah. Tapi kenapa masih agak sakit?" lirih Hayya.

"Apanya yang sakit, Mbak?" sebuah suara agak berat mengagetkan Hayya. Ia refleks mengangkat lengan kirinya dengan cepat. Alhasil, malah tertimpa badan Bus.

"Aw!!"

"Hati-hati. Kenapa? Apanya yang sakit?" Suara itu. Suara khas seorang laki-laki yang beranjak dewasa. Hayya masih belum melihat dari siapa suara itu diucapkan.

"Mbak? Hallo. Apanya yang sakit?" Laki-laki itu memiringkan wajahnya. Melihat wajah Hayya dari samping. Namun, Hayya masih menundukkan kepalanya.

"Maaf kalau saya mengagetkan. Tadi lihat bangku ini kosong. Jadi saya duduk di sini. Tapi pas duduk, gak sengaja mendengar Mbaknya bilang sakit. Makanya saya tanya. Maaf, ya," tuturnya lembut.

"Gapapa." Ucap Hayya singkat.

Hayya menegakkan kembali kepalanya perlahan. Namun, ia hadapkan ke arah jendela. Ia mengambil kipas elektrik di tasnya. Ujung sepatunya tak kunjung kering sempurna.

Laki-laki itu ternyata masih memerhatikan gerak Hayya.

"Sepatunya basah, ya?" sapanya kembali.

"Uhm." Jawab Hayya singkat.

"Sepatunya bagus. Unik." Ucap laki-laki itu.

Hayya tak menjawab satu kata pun.

"Sepertinya baterai di kipasnya sudah melemah. Anginnya ndak kencang. Mau pinjem punya saya? Kebetulan tadi punya adik tak bawa." Laki-laki itu menyodorkan sebuah kipas elektrik bermotif kucing biru.

"Ndak usah." Hayya kembali menjawab sekilas.

Laki-laki itu malah menyalakan kipas elektriknya. Mendekatkan ke ujung sepatu Hayya.

"Kalau begini, akan lebih cepat kering." Ucapnya ramah.

Hayya terdiam. Ia baru mulai berani menatap suara khas itu. Ternyata, sama-sama berseragam putih abu-abu.

"Sepertinya kita dari satu sekolah. Kenal aku nggak?"

Hayya kembali menatap wajah pemilik suara khas yang lembut itu. Kulitnya sawo matang dengan alis hitam dan bola mata yang bulat sempurna.

"Ehm... sepertinya tidak. Atau mungkin aku lupa," ucap Hayya gugup.

"Nah... sepertinya sepatunya sudah kering." Tangan laki-laki itu hendak menyentuh ujung sepatu Hayya. Hayya refleks menarik kakinya.

"Maaf, jangan."

"Oh... iya. Maaf cuma mau mastiin sudah kering atau belum. Keliatannya cemas banget soalnya," tutur laki-laki dengan kipas bermotif kucing biru di tangannya itu.

"Oh ya. Kipas kita sama ternyata." Lanjutnya seakan mengajak Hayya masuk dalam obrolannya.

Hayya tak menjawab. Tak berapa lama kemudian, ia bernjak.

"Maaf, permisi. Saya mau turun."

"Oh iya. Sudah sampai?"

Hayya mengangguk. Laki-laki itu memersilahkannya. Hayya melangkah cepat dari tempat duduknya. Melihat mendung yang kian gelap, wajahnya kian terlihat gugup dan bersegera keluar dari Bus.

"Hey!! Kipasnya ketinggalan!" Laki-laki itu memanggilnya. Namun, Hayya sudah jauh berjalan dan turun dari Bus.

"Oh... gadis SMA yang aneh. Kenapa dengan ujung sepatunya yang basah ia bisa secemas itu? Atau ada hal lain yang dia cemaskan?" gumam laki-laki yang kini memegang dua kipas elektrik berbentuk kepala kucing warna biru itu.