webnovel

ARVIN MAHAPRANA

Dua hari berlalu sudah, kini kondisi Alara semakin membaik walau pun masih lemas. Sebenarnya, Dokter Sinta menyuruhnya untuk bedrest total selama emlat hari. Namun, Alara begitu mengkhawatirkan kondisi Erina. Rasanya kurang puas jika tidak melihat dengan mata kepala sendiri keadaan Erina, Alhamdulillah kini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Meskipun dokter Sinta sudah melarang untuk turun dari ranjang, tidak kehilangan akal Alara mampu meyakinkan wanita ber jas putih itu untuk berkunjung ke kamar Erina.

Sekarang di sinilah Alara berada, kamar dimana wanita yang sudah sadar dari tidur panjangnya selama beberapa hari. "Ibu. Bagaimana kabar Ibu? Apakah Ibu sudah merasa lebih baik?" Wanita paruh baya itu hanya tersenyum melihat ada kekhawatiran yang mendalam pada netra gadis itu.

"Ibu tidak apa-apa sayang! Semua berkat kamu. Terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawa Ibu. Ibu tidak tahu, apa yang terjadi jika tidak ada dirimu! Mungkin, sekarang Ibu tidak akan bisa bertatapan mata dengan mu dan juga putra ibu," Tutur Erina tulus.

"Ibu! Ibu tidak perlu berterima kasih kepada Alara Bu! Lara tidak melakukan apa-apa untuk Ibu, jadi Ibu jangan berterima kasih ya," tekan Alara.

"Saya tahu dengan apa yang kamu lakukan. Sungguh! Bahkan jika seluruh hartaku, ku berikan padamu! Itu pun tidak akan sama nilainya dengan apa yang telah kamu korbankan. Terima kasih banyak Alara, terima kasih untuk semuanya. Mulai sekarang butik pusat akan aku berikan padamu." Alara hendak membuka mulutnya untuk protes, namun dengan cepat di potong oleh Erina.

"Tidak ada bantahan Alara sayang, dari dulu kamu lah karyawan terbaikku. Kamulah yang paling rajin, ulet dan yang terpenting adalah kejujuran serta kebaikan hatimu. Semua itu tidak ada apa-apanya, jadi aku mohon terima ya!" Gadis itu nampak berpikir lama. saat masih sibuk dengan isi kepalanya, tiba-tiba suara deritan pintu terdengar hingga kedua wanita beda generasi itu menoleh.

 "Assalamualaikum." Alara terpana menatap pria yang kini memasuki ruang inapnya Erina, pria yang sangat tampan. Dengan rahang yang kokoh, tubuh tinggi tegap, hidung mancung bak orang Arab serta bibir tipis, mata yang bersinar terang, alis tebal serta bulu mata yang lentik sungguh menghipnotis setiap mata memandang.

Alara meneguk salivanya membayangkan jika saja pria itu adalah kekasihnya atau mungkin bisa menjadi suaminya. Astaga Alara, tolong jangan terlalu tinggi ketika berkhayal nanti jatuh dan itu akan sangat menyakitkan. Ingat! Kamu berbeda jauh dengan pria itu, ibarat pangeran dengan seorang pelayan. Ya ampun, sungguh kenyataan yang pahit. Dia pangeran sedangkan kamu hanya pelayan di butik Erina.

Wanita tua itu tersenyum melihat bagaimana reaksi Alara kala melihat putra semata wayangnya datang.

"Ekhem." Gadis itu gelagapan lalu membuang pandangannya ke segala arah untuk menutupi kegugupannya.

"Arvin! Sini sayang, mama kenalkan dengan malaikat mama!" pria tersebut mendekat dengan senyuman yang begitu indah. Arvin memilih berdiri di sisi kiri Erina, karena sebelah kanan ibunya terdapat gadis menatap penuh kekaguman padanya.

"Sayang! Kenalkan! Dia Alara, gadis yang pernah mama ceritakan padamu beberapa saat lalu. Dialah yang menolong mama dengan...." Belum tuntas ucapannya keluar, sebuah tangan telah menghentikan lebih dahulu.

Erina melihat ke arah Alara yang tengah menggelengkan kepala, memintanya untuk tidak menceritakan yang terjadi. "Kenapa ma? Menolong mama dengan apa?" Seloroh Arvin penasaran.

"Tidak. Sekarang, ayo jabat tangannya!" Arvin mengarahkan tangannya di hadapan sang gadis. Sedikit ragu, akhirnya Alara menerima jabatan tangan Arvin.

"Alara."

"Arvin, Arvin Mahaprana."

Sentuhan singkat, namun mampu membuat gadis berwajah pucat itu tersenyum-senyum sendiri. Alangkah bahagianya dirinya dan baru kali ini ada pria tampan yang mau menjabat tangannya atau lebih tepatnya, dia baru sekali bersalaman dengan lawan jenis. Biasanya, dia hanya mengatupkan tangan karena merasa bukan muhrim. Tetapi, entah dorongan apa membuat dia ingin sekali menyentuh kulit itu.

"Senang berkenalan dengan anda, terima kasih karena selalu menemani mama saya di rumah sakit. Maaf, jadi merepotkan anda akibat kedatangan saya yang terlambat." Masih dengan senyum lembut. Tanpa dia sadari, hal demikian malah membuat gadis berjilbab instan didepannya terpesona.

"I...iya, sudah menjadi tugas saya menjaga Bu Erina tuan. Saya tidak sendirian kok, masih ada beberapa teman saya juga," terangnnya karena tidak ingin membuat orang salah paham.

"Apa pun itu, saya ucapkan banyak terima kasih atas segalanya." Alara hanya bisa mengangguk karena bingung ingin berbicara apa lagi. Sadar sedari tadi dia mengagumi pria di depannya, Alara langsung menundukkan kepala dan banyak beristigfar.

"Astagfirullahaladziim, ya Allah. Maafkan Alara ya Allah karena telah mengagumi manusia begitu besar. Ampuni Alara ya Allah. Tapi Allah! Kenapa Engkau hadapkan hamba dengan makhluk ciptaanmu yang nyaris sempurna sebagai manusia, membuat hamba merasa berdosa karena tidak bisa menjaga pandangan mata hamba sendiri."

Arvin bisa merasakan jika gadis itu merasa kurang nyaman dengan adanya dia, mungkin kedua wanita itu ingin ngobrol menghabiskan waktu bersama. Tidak ingin jadi penengah antara keduanya Arvin memilih kembali keluar ruangan.

"Ma, maaf. Aku harus kembali kekantin karena Ansel menunggu Arvin di kantin rumah sakit ini, ada pekerjaan yang harus kami bahas. Arvin tinggal dulu ya ma!" Lalu, ekor matanya melirik gadis yang masih setia menunduk. "Mari mbak Alara, saya titip mama saya lagi ya!" Merasa namanya di panggil, Alara pun menengadah ke atas dan menampilkan senyum terbaiknya.

"Kamu suka sama Arvin?" Tanya Erina setelah kepergian putranya.

"Ti...tidak bu, kenapa ibu berpikiran seperti itu?" jawabnya gugup.

"Bolehkah aku meminta sesuatu padamu, Alara?"

"Katakan saja bu, saya akan mengabulkannya selama saya mampu." Erina mengangkat kedua sudut bibirnya senang.

"Berjanjilah untuk mengabulkan permintaanku ini, ku mohon?"

"Ibu jangan seperti ini," mohon Alara.

"Berjanjilah nak, sudah sejak lama saya merencanakan ini, aku mohon kamu harus berjanji untuk menerimanya." Tidak tega melihat sorot mata Erina yang menyaratkan akan harapan penuh padanya, Alara pun berjanji untuk memenuhi permintaan Erina apa pun itu.

"Iya Bu, saya berjanji."

"Tolong menikahlah dengan putraku!" pinta bu Erina, tentu membuat Alara seperti diguncang kasar sama seseorang. "Ku mohon rawat dan jaga dia! Ibu merasa kamu adalah wanita yang cocok untuknya, hanya kamu yang Ibu inginkan bukan yang lain. Ibu mohon, kamu mau ya?" Alara terdiam cukup lama sebelum bibirnya mengeluarkan kalimat "Ya"

"Terima kasih banyak sayang, terima kasih. Ibu sangat menyayangimu." Erina memeluk erat calon menantunya penuh haru.

"Tapi bu, bagaimana dengan putra ibu? Apakah dia mau menerima Alara sebagai istrinya?"

"Kamu tenang saja sayang, ibu yakin dia pasti menyetujui keinginan ibunya ini." Alara berusaha tersenyum meski pun terpaksa. Dalam hati yang paling dalam Alara takut jika dirinya tidak diterima oleh Arvin.

Next chapter