webnovel

BAB 4 : KEMBALI TERLUKA

Langit biru yang luas membentang indah, kicauan nyanyian burung mulai terdengar merdu ditelinga. Embun pagi yang turun semalaman membuat udara semakin segar, pagi ini sangat cerah. Secerah senyuman Danita yang tergambar indah diwajahnya.

Danita memasang dasi abu-abu dilehernya sambil bersenandung pelan, setelah selesai gadis itu merapikan rambutnya dengan mengikat lalu menjadikannya cepol. Mengoleskan sedikit lip balm agar bibirnya tidak kering. Danita tersenyum lebar menatap pantulan dirinya didepan cermin.

Kamu kuat Danita! Batinnya bersemangat.

Beberapa detik kemudian terdengar ketukan pintu, Danita berlari kecil dan segera membukanya. "Non, tuan udah berangkat," Kata Mbok Karsih juga dengan senyuman berseri-seri.

"Ayah tadi sarapan?" Tanyanya.

Mbok Karsih mengangguk, "Tadi bawa bekal juga, buat makan siang katanya."

"Ha? Sungguh? Yes!" Danita girang bukan main, pasalnya sup ayam menu sarapan pagi ini adalah hasil masakannya tadi subuh dengan mbok Karsih. Keduanya melakukan gerakan high five dengan lucunya, astaga Danita ingin melompat karena saking senangnya.

"Non Nita jadi?" Tanya Mbok Karsih kemudian diikuti anggukan oleh Danita.

"Jadi, dong!" Ia melirik jam tangannya, "masih ada satu jam, Danita udah kangen banget sama Mama!"

"Ya udah, mbok tunggu dibawah ya."

"Oke, Mbok!" Setelah mengatakan itu, Danita kembali memeriksa barang bawaannya untuk pergi ke sekolah. Setelah dirasa cukup, gadis itu buru-buru menyambar cardigan rajut berwarna maroon yang tergantung di lemari dan turun menyusuri anak tangga.

"Mbok, Danita nggak sarapan disini, deh. Nanti kesiangan. Nita sarapan sama mama aja."

"Apa enggak keburu lapar?"

Danita menggeleng setelah meminum susu vanilanya, "Enggak kok, tadi waktu masak udah icip-icip kan?" Balasnya terkekeh.

Mendengar jawaban Danita, mbok karsih hanya menggelengkan kepalanya. Syukurlah suasana hati gadis itu baik hari ini.

"Ya udah, ini udah mbok banyakin makanannya. Non Nita jangan lupa sarapan juga loh, ya!"

"Siap, Bos!!"

"Nanti pulangnya jangan malam-malam, Non."

Danita melenggang pergi setelah memberi anggukan.

***

"Ma, hari ini Nita seneng banget! Tadi pagi, Ayah makan dan bawa bekal sup ayam yang Danita buat!" Gadis itu sangat antusias menceritakan sebab keceriaannya tadi pagi hingga kini pada Mama. Meskipun Mama tak menanggapi dan hanya ocehannya yang mendominasi, ia tetap bercerita panjang lebar. Tak peduli, meskipun Mama tak pernah menanggapi. Ia merasa lebih lega jika mengatakan pada Mama tentang hari-hari yang telah dilalui.

"Emm... Danita nggak tau, sih itu supnya bakalan enak atau enggak kalo untuk makan nanti siang. Tapi seenggaknya Ayah udah sarapan tadi!" sembari menyuapkan nasi lengkap dengan lauk sup ayam yang dibawanya dari rumah, Mamanya hanya membalas ocehannya dengan tatapan kosong.

Duduk berdua di bangku kayu berwarna coklat yang berada di taman belakang rumah sakit jiwa, begitu juga pasien lainnya yang sedang lalu lalang tanpa tujuan, tertawa tanpa sebab, atau sedang kedatangan kerabatnya. Suasana RSJ Cinta Kasih sangat tenteram dan damai pagi ini.

"Ma, doain Danita ya biar Ayah mau nerima Danita lagi. Semoga," kata gadis itu tersenyum kikuk.

Wanita itu menoleh kearah Danita, tangannya menjalar pada pipi anak gadis semata wayangnya. Tanpa kata-kata yang terucap, Ia masih bisa merasakan sakit yang Danita terima. Batinnya berkecamuk melihat Danita tak berdosa terus menerima perih tiada berkesudahan.

"Ma--- maafin... Ma-ma..." Wanita paruh baya itu tergagap, kemudian satu bulir air mata menetes dipipinya.

Danita tersenyum kemudian memeluk mamanya, bukan karena apa-apa. Kata-kata mama yang keluar dari mulut mamanya hanya didengar dengan hitungan jari. Semenjak kejadian delapan tahun lalu mamanya terdiam bisu.

Danita menggeleng, "Mama nggak salah! Danita tidak pernah membenci mama begitu juga Ayah. Terima kasih telah menjadi ibu untuk Danita."

***

Ting! Ting!

Bandul jam besar di samping sofa itu mengayun secara otomatis. Ketika waktu sudah beranjak jam 03:00 pagi hari. Malik mengusap peluhnya, dan lagi-lagi ia kembali begadang karena terjadi keadaan darurat pada pasien yang mengidap gagal jantung.

Pria itu menanggalkan jas putihnya kemudian pergi menyerka wajahnya pada kran wastafel disisi meja ranjang yang ada di ruangannya.

Pulang atau tidur disini.

Pilihan tidak penting yang lumayan sulit. Jika Malik memilih untuk tidur sini pasti Ibu akan bertanya esok pagi, dan jika pria itu pulang malam ini pastilah percuma. Karena jam 07:00 ia harus kembali lagi.

Tok! Tok!

"Lo nggak pulang?"

Suata Gitsya mengagetkan lamunannya, gadis itu nampaknya ingin bersiap akan pulang karena ia tengah menggendong tas kerjanya.

Malik menggeleng, "Kayanya gue nginep sini."

Gitsya mengangguk paham. Malik lumayan sering melakukan hal ini.

"Mau gue anter?"

"Enggak usah, istirahat saja. Besok pagi Lo ada jadwal."

"Ya sudah, hati-hati."

Setelah Gitsya meninggalkan ruangan, Malik menyenderkan bahunya. Fiuh... Sungguh hari yang sangat melelahkan. Pria itu membuka laci meja kerjanya. Kemudian mengambil buku bersampul kulit berwarna coklat.

Tersimpan fotonya bersama Sarah disana. Sudah lama, lima tahun lalu foto itu membuat Malik merasa jika dunianya begitu sempurna sebelum Sarah menghancurkan semua harapannya.

Malik tersenyum memandangi foto usang itu, ia sedang tersenyum memeluk Sarah disana. Terlihat bahagia.

Andai kamu tidak mengecewakan aku, Sarah. Batinnya berkata. Harapannya hancur berkeping-keping. Sarah telah berhasil menyapu habis semua mimpi yang dimiliki Malik.

Malik sedikit terhenyak dari lamunannya ketika tiba ponselnya bergetar.

Satu panggilan masuk dari Ibu.

"Hallo, Bu."

"Tidak pulang lagi?"

Malik menghembuskan nafasnya, "sepertinya tidak," balasnya.

"Ibu merasa sama saja, mau kamu di Amerika atau Indonesia. Ibu tetep tidak bisa ketemu kamu tiap hari."

Malik melirik jam tangannya, "Ibu tidak tidur?"

"Ibu nungguin kamu, sampai ketiduran di sofa. Takut kalau ibu enggak dengar kalau kamu ketuk pintu."

"Tidak perlu sampai seperti itu, Bu. Lebih baik ibu tidur."

"Jadi, kamu tidak pulang?"

"Malik ada jadwal operasi besok pagi, bukannya lebih baik Malik tidur disini?"

"Setidaknya kamu bisa sarapan disini bareng ibu, Malik! Meskipun ibu cuma bisa liat kamu pagi saja! Memangnya kamu siapa sampai ibu sangat sulit menemuimu? Apa tidak ada dokter lain selain kamu?"

Malik terkekeh, ibunya kembali mengomel. "Iya-iya, Malik pulang. Ibu tidur saja. Pintu tidak perlu dikunci."

Sambungan telepon terputus secara sepihak. Nampaknya ibu sedang merajuk, Malik menggelengkan kepalanya melihat tingkah ibu yang begitu manja padanya. Mengingat memang pria itu anak semata wayang di Keluarga Adiguna.

Malik bergegas sambil menenteng jas putihnya serta tas kerjanya. Pria itu berjalan santai melewati koridor dengan bersiul.

Tiba-tiba...

Ia terpaksa menghentikan langkahnya saat berdiri sosok gadis didepannya dengan lengan penuh darah dan menggenggam sebuah cutter di tangannya.

"Danita," kata pria itu.

Bersambung....