webnovel

savior of lov

Alaska gadis pendiam yang dikira bisu di sekolah nya. menjadi sasaran bullying sudah ia lakoni sejak lama, tanpa ada pembelaan sama sekali. ketiga pemuda yang seolah-olah adalah hero untuk nya datang berangsur angsur untuk menyelamatkan kehidupan sekolah nya yang jauh dari kata baik. mereka adalah Gara, fagan, dan El niat nya hanya membantu karena tidak tega. tapi, semakin lama semakin menjadi. mereka jatuh cinta pada Alaska who the winner? winner of the heart break? ~ Alaska with the prince ~

Matapenaku · Teen
Not enough ratings
18 Chs

Sesaknya menangis

--satu jam yang lalu. Sedikit berbincang bincang dengan Tami dan Wiro kemudian bersiap untuk pulang. Tami berterima kasih kepada pemuda itu ketika ia tahu kejadian sebenarnya yang membuat nya bisa sampai bertemu Alaska. 

"Terimakasih banyak ya, karena kamu sudah mau menolong adik kami. Maafkan kami juga kalau tadi Alaska sempat membuatmu repot!" Ujar Tami berdialog. Gara tersenyum hangat menanggapi kemudian dengan sedikit menunduk hendak pamit pulang.

"Kamu pulang sama siapa,?" Wanita itu mengedarkan pandangan ke segala penjuru namun tidak menemukan mobil gara. Berdasarkan cerita gara ia dan Alaska tadi menaiki mobil.

"Itu..., Aku pulang pakai mobil, kalau begitu aku pamit pulang dulu, semoga Alaska bisa cepat sembuh" gara kembali tersenyum. Sambil sesekali melirik pada Wiro yang sedari tadi menatap kurang suka padanya.

"Tunggu..!" 

Gara mendongak. Rheya muncul dari dalam sambil melipat tangan di dada. 

"Kamu pemuda yang kemarin di mini market kan..?, Sudah kenal lama sama adik saya?" Tanya Rheya pada pemuda itu.

"I--ya.." 

"Nih, makasih sudah mengantar Alaska pulang. Ini ambil balik jacket mu!" Rheya menyodorkan jacket hitam kepadanya yang langsung di terima oleh gara dengan canggung.

"Aku pulang dulu.." pamitnya kemudian berjalan menjauh dari teras rumah 

***

Ketika mereka hendak masuk kembali ke dalam rumah Wiro pamit untuk pulang karena urusannya membantu Tami sudah selesai. Kini Tami dan Rheya berdua duduk di sofa ruang tamu sambil membahas ulang tentang kejadian Alaska di antar pulang si gara.

Di depan gang, gara sudah bisa melihat dari kejauhan mobilnya perlahan mendekat. Gara masuk ke mobilnya lalu memerintahkan sang sopir untuk langsung jalan.

Gara terus menatap lekat jacket yang ada di pangkuan nya sambil membayang bayang kembali bagaimana seorang gadis berteriak teriak ketakutan dibawah perlindungannya tadi. Gara senyum senyum sendiri membayangkan saat alaska tiba tiba memeluknya erat karena mendengar suara petir menyambar di langit. Pria berkacamata di kemudi depan yang memperhatikan majikan nya lewat pantulan cermin pun menanyai soal Alaska.

"Apa karena gadis itu tuanku jadi senyum senyum sendiri, begini..?" Celetuk nya tetap fokus menyetir. Gara mengangkat pandangan lalu tersenyum smirk seakan mengiyakan perkataan dari sang sopir pribadi.

"Kalian berdua tidak apa apa kan tadi, setelah aku pergi?" Tanya sang sopir dengan raut wajah serius.

"Yeah...., Gadis itu ketakutan mendengar gemuruh di langit, dan aku berusaha membuatnya tenang... Tapi..." Gara tidak melanjutkan ucapannya. Memandang keluar jendela dimana bulir bulir hujan menghinggapi kaca. Gerimis di luar sana membuat gara seakan damai kembali.

"Tapi, jantung mu yang tak tenang" ucap sang sopir yang langsung membuat gara terkekeh geli. Untuk pertama kalinya sang sopir benar benar telak dengan dugaannya karena untuk pertama kalinya juga bagi gara merasakan yang namanya salah tingkah.

"Devan,Devan. Kau tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini, khawatir dan bahagia bercampur jadi satu disaat yang bersamaan" ucap nya menggeleng kepala lalu mengusap wajah kasar. 

"Setidaknya bagus untuk kesehatan tuan!" Celetuk Devan membuat gara tertegun sesaat memikirkan apa maksudnya

"Kau minta di tendang ya" tandas gara. Auranya berubah 180°

___

Seperti hari hari bisanya Rheya dan Tami tetap melakukan aktifitas rumah. Ia dan Tami membagi tugas untuk membersihkan rumah hari ini akibat hujan deras kemarin selokan belakang rumah penuh dengan air membanjiri Bagian dapur yang hanya berjarak 1 setengah meter dari selokan.

Selama Alaska sakit kedua kakaknya itu izin tidak masuk kerja dulu dengan beralasan sedang tidak enak badan. Sebenarnya bisa saja Rheya kembali bekerja sementara Tami dirumah menjaga Alaska namun ia urungkan niat demi membantu Tami. Lagi pula rumah juga butuh perawatan. Jadi, untuk hari ini mereka putuskan untuk libur.

"Al..!" Panggil Rheya ketika melihat Alaska hanya berdiri termenung di pintu.

Gadis dengan wajah kusut itu menoleh melihat kedua kakaknya sedang menggali tanah di samping rumah. 

"Kalian sedang apa" tanya nya berjalan mendekat

"Kami mau panen emas, sini bantuin!" Seru Tami terus fokus menggali tanah yang tidak berujung.

"Emang ada? Mana coba liat?" Gadis dungu itu memajukan kepalanya demi melihat lubang yang telah digali oleh Tami. Tidak ada apapun didalam lubang..

"Ya kali beneran ada. Makanya jangan menghayal terus jadi bininya Gara!" Ujar Tami menoyor kepala Alaska sampai gadis itu bergeser dari tempatnya berdiri. Alaska berpikir kakak yang satu ini sangat berbeda jauh dengan Rheya yang lebih lembut memperlakukan nya. Karena kalau Rheya se--keras Tami yang ada Alaska balik menghantam nya. Jadi, Rheya takut takut kalau mau mengerjai adiknya terlewat batas seperti Tami. 

Rheya mengikat rambutnya jadi satu lalu memeluk Alaska dari belakang. Sebenarnya Alaska risih namun kalau pelukan hangat itu dari orang orang tersayang nya ia dapat maka seharusnya itu yang ia harapkan.

Rheya menaruh dagu di pundak Alaska lalu tersenyum sambil memejam mata.

"Adik ku yang manis, jangan sakit sakit lagi ya seperti kemarin. Aku benar benar khawatir jika terjadi apa apa padamu!" Rheya tiba tiba lesu. Raut wajahnya tergambar jelas kekhawatiran. Alaska jadi tidak tega.

"Untung saja ada gara, yang selalu setia menjadi sasaran empuk pukulan mu!" Ujar Tami tersenyum lebar. Alaska mengernyit heran sejak tadi Tami terus membahas tentang gara sementara kemarin ia tidak bercerita sama sekali soal gara kepada mereka.

"Apa ini?!!" Tami menepuk jidat Alaska yang mengkerut tanda sedang bingung.

"Gara siapa?" Tanya nya

"Gara yang kemarin, yang mengantarmu pulang kerumah!" Jelas Tami

"Kok kalian tau?"

"Heuhhh cerita nya panjang dek."

"Pendekkan!" 

Tami menatap adiknya geram. Malas untuk bercerita ia malah lebih senang menghajar Alaska. Jika Alaska tidak berlari untuk bersembunyi dibalik Rheya maka Tami akan terus terusan mengerjainya.

"Sudah, sudah, sudah!! Berhenti!" 

Tami dan Alaska berhenti saling berlari dan mengerjai. Meskipun Rheya terkesan lembut namun sebagai kakak tertua ia juga punya sifat tegas yang harus di turuti kedua adiknya.

"Main ga ngajak ngajak! Ikutan dong!" Rheya beralih mencolek pinggang Alaska sampai gadis itu terkejut dan jatuh. Tami dan Rheya malah menertawakan nya sehingga Alaska bangun untuk menghajar kedua kakaknya yang sudah berani menertawakan nya.

"Awas ya kalian..!" Alaska berlari keliling rumah untuk mengejar Rheya dan Tami yang sedang mengolok olok nya membawa nama Gara.

Aksi lari larian mereka terus berlanjut sampai tidak sadar gelak tawa mereka menggelegar disetiap sudut pagar rumah. Senja sudah menunjukkan tampangnya. Langit oranye itu menjadi obat pendamai hati ketiga kakak beradik yang sedang bahagia.

-_-_-

" Alaska "

Gadis itu menoleh pada Tami. 

"Yakin sudah enakan? Yakin mau masuk sekolah hari ini?" Tanya Tami dengan sorot keraguan menyadari Alaska belum sepenuhnya pulih dari sakit. Tami menempelkan punggung tangannya di kening Alaska dengan cemberut.

"Aku yakin. Jangan terlalu khawatir begitu! Aku sudah besar, bisa mengurus diri sendiri" ucap Alaska tersenyum tipis untuk membuat Tami tenang. Dan Rheya yang sudah siap dengan helm bergegas menuju motornya.

"Al, kalau begitu ayo berangkat" ucap Rheya. Alaska pun menghampirinya setelah mengikat tali sepatu dengan benar. Tami bangkit mengikuti keduanya.

"Hati hati di jalan ya" ucap Tami terlebih pada Rheya mengingatkan nya karena wanita itu jika membawa motor hampir mengalahkan markues yang pembalap motor itu.

Di perjalanan menuju sekolahan Alaska, Rheya banyak bertanya tentang kehidupan sekolah adiknya itu. Dan Alaska tidak banyak menjawab karena ia tidak ingin Rheya tahu lebih banyak lagi baginya itu tidak penting jangan sampai Rheya menjadi khawatir berlebihan padanya. Meskipun ia tahu kehidupan sekolah nya jauh dari kata baik.

"Al, kalau pulang sekolah nanti telepon aku, ya! Biar aku jemput" teriak Rheya agar yang di bonceng nya dapat mendengar kata katanya. Alaska mengangguk tak menjawab hal itu membuat Rheya terus berteriak meminta Alaska untuk menjawab. 

"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri!" Balas Alaska sedikit berteriak.

"Jangan bodoh! Kau belum sehat betul, bisa bisa pingsan di jalan nanti" 

"Aku baik baik saja, jangan khawatir berlebih" tandas Alaska.

"Dasar keras kepala" rutuk Rheya. Kendaraan roda duanya sudah berhenti tepat di depan gerbang sekolah SMA itu. Alaska pun turun lalu menyalami tangan Rheya sebelum Rheya kembali untuk bekerja.

Tak memperhatikan jalan Alaska malah menubruk seorang siswa di depan sana. Sebenarnya bukan sepenuhnya salah Alaska karena siswa itupun berdiri di tempat yang salah. 

"Kau?" Siswa itu berbicara seolah pernah mengenali Alaska. Sambil menunjuk dengan jari nya siswa dengan tahi lalat di bawah mata itu menatapnya lekat.

"Apa kita pernah kenal?" Tanya Alaska.

"Tidak, salah orang" ucap siswa itu lagi. Alaska pun melengos pergi menuju barisan kelasnya. Disana ia memilih untuk berbaris paling belakang meskipun ia hadir duluan dari yang lain. Sebab, tidak punya teman membuatnya harus diam mematung sambil menunggu namanya di sebut.

"Ellery Alaska fidelya!" Teriak seseorang yang bertugas mengabsen nama didepan barisan kelas. Ia tampak malas untuk mengabsen nama itu, meskipun ia telah melihat Alaska hadir namun karena ia adalah satu dari pembully yang tidak suka pada Alaska pun tidak jadi mengabsennya. 

"Biarkan saja, biar dia di hukum sekalian sama guru!" Ucap nya dengan senyum meledek. 

"Ehh, bukannya hari ini guru ada rapat? Bagaimana kalau kita isi jam kosong dengan mengerjai Alaska?" Usul salah satu dari mereka dengan antusias.

"Waah ide bagus tuh, hari ini kita puas puasin kerjai si bisu sampai mampus. Sebagai kesenangan dihari ulang tahun Loli" tambah si gendut badut tak kalah antusias. Alaska merasa dirinya tidak akan aman sebentar lagi. Alangkah baiknya ia kabur sekarang juga. 

"Sudah lama kan, loli tidak pernah ikut untuk mengerjai orang? Pasti dia akan lebih senang jika sasaran kita kali ini adalah Alaska! Yang tidak berontak sama sekali!" Imbuh yang lain.

"Kau benar... Hahaha" tawa mereka seperti iblis. Apalagi si gendut badut yang tidak punya hati sama sekali.

Kabur..! Kabur...! 

Kenapa harus kabur? Alaska jangan takut! Tidak, sekuat apapun hatinya berteriak menahan gejolak rasa dalam diri Alaska untuk kabur, semua tetap tidak dapat di hentikan. Alaska harus kabur untuk menghindari mereka. Kemana saja yang penting tidak bertemu mereka. Apa salahnya di mata mereka? Sehingga tanpa alasan Alaska harus menjadi sasaran empuk pembullyan oleh mereka yang tidak punya hati. Melapor? Tidak bisa, mereka akan melakukan yang lebih dari ini. Alaska tidak tahan!

"Hoyy!.." mendengar suara nya saja Alaska bergidik namun tubuhnya tidak bereaksi apa apa. Wajahnya datar seolah sudah kebal dengan serangan serangan yang datang bertubi-tubi. 

"Hey, lihat tatapan itu... Apakah dia menantang kita?" Tanya si gendut badut pada teman temannya.

"Kalau iya, bukannya akan lebih menyenangkan kalau dia sedikit berontak??" Timpal yang lain. Alaska tetap tidak bereaksi apa apa. Justru tatapan dan raut wajahnya kini kelihatan begitu songong dan menantang balik para pembully, entahlah ada apa dengan Alaska.

Para pembully berjalan mendekat dan Alaska masih berdiri ditempat nya. Apakah kali ini mereka akan menghajar Alaska di depan semua orang?

"Apa maksudmu?.. kau menantang ku?" Si gendut badut berdiri didepan Alaska dengan wajah menjengkelkan. 

"Bawa dia!" Titah si gendut badut pada teman temannya. Tanpa penolakan Alaska di tuntun ke kelas untuk di eksekusi.

Brak!

Tubuh Alaska terdorong menabrak meja kursi yang ada di dalam kelas. Dengan cepat Alaska bangun dan berdiri seolah tidak terjadi apa apa.

Si gendut badut tertawa gembira melihat wajah Alaska yang berkeringat.

"Ciahhahahahha..!!! Ahahahahha! Lucu sekali dia" tawa si gendut badut menggelegar di penjuru kelas. Teman teman nya menatap angkuh pada Alaska seraya tersenyum menyeringai. 

"Lama lama aku kesal sendiri dengan kesombongan mu itu!" Ujarnya pada Alaska. Tangan nya menangkup dagu Alaska kuat lalu mencengkeramnya seolah hampir pecah tengkorak didalamnya. Alaska hanya dapat mengikuti setiap gerakan si gendut badut tanpa penolakan. Sebenarnya ia takut untuk melawan secara lawannya sendiri seseorang berbadan besar belum lagi dengan teman temannya yang banyak itu.

"Hari ini kau sangat cantik,Alaska! Cocok kalau kau dijual dengan harga mahal pada pria kaya!" 

"Saking cantiknya, jangan jangan dia memang sudah dijual pada pria kaya? Secara kan tubuhnya lumayan seksi kalau di lihat lihat!" 

"Hey Alaska, bagi bagi dong uang yang kau dapat dari hasil menjual diri!"

"Hahaha... Dasar jalang!" 

Maki demi maki yang mereka lontarkan masuk ke telinga kanan keluar lewat telinga kiri Alaska. Ia mencoba untuk melupakan semuanya. Namun semakin ia mencobanya maka mereka akan semakin menjadi jadi. Apakah mereka ingin aku melayani saja?

"Jangan menangis! Heyy, aku bahkan belum menyakiti mu! Jangan kan menyentuh mu, punya niat melakukan nya saja pun tidak!" 

Seketika kedua mata alaska berembun. Tak dapat ia tahan tahan lagi meskipun ia mencoba untuk kuat. Hinaan itu tidak membuat nya sakit hati. Tapi.... Air matanya malah ingin keluar.

"Jangan menangis, kubilang!!!" Tangan besar itu menjambak rambut Alaska kuat hingga tubuh kurus itu terombang ambing dalam genggaman si gendut badut. Air matanya luruh tanpa di suruh. 

Alaska merutuk dalam hati akan nasib buruk ini. Wajahnya memerah bersamaan dengan dadanya terasa sesak. Tangisnya hampir pecah ketika beberapa helai rambutnya tercabut dari kepala. Sakit sekali...

"Dasar lemah! Cengeng!" Makinya kemudian melempar tangannya sehingga tubuh Alaska terdorong kuat menabrak meja kursi yang ada disana. 

Menangis tanpa suara itu seberapa sesak...sesak sekali sampai ingin rasanya menarik nafas dalam-dalam.

"Hey kalian jangan cuma berdiri saja! Cepat pegang dia..!" Perintah nya pada teman temannya yang langsung di laksanakan lalu memegang kedua tangan alaska agar tidak dapat bergerak.

Seringai mengerikan nya mampu membuat tulang Alaska remuk seketika. Entah apa yang ingin dia lakukan sekarang.

Si gendut mengeluarkan sesuatu dari dalam saku seragamnya. Benda yang sering di pakai kaum wanita di bibir mereka. Si gendut membuka nya lalu mengoles nya pada setiap inci wajah alaska. Bahkan tidak segan segan ingin mencolok matanya dengan benda itu. 

Alaska menangis tak bersuara, menahan sesak dalam dada. Entah apa yang akan kedua kakaknya lakukan jika mereka tahu akan hal ini? 

"Naaah, kalau beginikan makin cantik jadinya! Aku suka" ucap si gendut setelah memoles benda berwarna merah itu ke wajah Alaska. Si gendut bahkan punya ide lain untuk menyakiti Alaska. 

Alaska menggeleng kuat ketika melihat si gendut ingin membuka seragamnya. Keterlaluan, tapi mau bagaimana lagi, si gendut sudah melancarkan aksinya.

"Kyahahahah! Cantik sekali!" Si gendut bertepuk tangan ketika seragam Alaska berhasil di tanggalkan. Menyisakan kaos dalam yang di pakai Alaska. 

Kesal dengan tangisan Alaska, si gendut pun menampar gadis itu kuat kuat. Wajah itu kini memerah dengan darah segar di ujung bibirnya. Perih dan panas menjalar di permukaan kulit. Tak sampai di situ wanita bertubuh gempal itu mencengkeram dagu Alaska lalu memaksa gadis itu untuk menatapnya.

"Kau tahu, kenapa aku melakukan ini kepadamu?" Tanyanya dengan mata melotot kepada Alaska.

"Ini belum seberapa, aku bahkan bisa membuatmu mati sekarang juga!" Ucap nya menggelegar di seluruh ruangan. Kata kata itu akan selalu di ingat ingat Alaska sampai nanti. Bagaimana dia berteriak lantang di telinga nya sampai gendang telinga ini pecah. Sakit!, 

Plak! Plak! Plak!

Tiga kali tamparan sekaligus mengakhiri penyiksaan untuk saat ini. bayangkan saja bagaimana nasib wajah Alaska yang babak belur. Yang ia rasakan saat ini adalah sakit dan panas! Sekelompok pembully itu pergi dari sana meninggalkan Alaska dengan segala keterpurukan nya.

Alaska meringkuk di lantai menangis dan berteriak. Jarinya menyentuh luka di sudut bibir. Perlahan ia ambil seragam nya yang tergeletak di lantai lalu memakai nya. 

Jangan menangis Al, tahan,...

"Hisk...hiks.." 

Alaska mulai merintih dalam hati, ia meminta untuk nya dunia yang gelap. Agar ia mendapatkan ketenangan meski hanya sesaat. Setidaknya diberikan waktu oleh tuhan untuk menetralkan perasaannya. Terlalu sakit untuk di kenang, lebih baik mati.

****

"Hey kau"

 Alaska tak menoleh ketika seseorang mungkin memanggilnya. Ia masih sibuk menghapus lipstik yang menodai kulit wajahnya. Dengan pelan tapi pasti Alaska membersihkan luka di sudut bibirnya. Untung saja tidak terlalu parah. Wajahnya hanya memerah terasa seperti bengkak.

"Habis di bully, ya?" 

Alaska terdiam, tidak melanjutkan aktifitasnya. Tidak berapa lama ia kembali melanjutkan untuk membersihkan mukanya dengan tissue.

Alaska terduduk di bangku taman seorang diri dan tanpa sadar seseorang malah ikut duduk di sampingnya. Dia adalah siswa yang sama yang ia tabrak tadi pagi. 

"Pantas saja di bully, kau tidak banyak bicara" simpul fagan.

Alaska mendongak menatap fagan di sampingnya. Remaja itu juga babak belur, terdapat bekas luka di keningnya dan juga sudut bibirnya juga luka. 

"Hmm...kau pasti sangat kesakitan" 

Bicara sendiri, Alaska menghiraukan nya. Bodo amat, urus saja masalahmu sendiri.

"Kayla terlalu keras ya padamu? Karena aku kasihan aku akan membantumu membalaskan- "

Alaska mengehentikan fagan yang hendak bangun. Alaska tidak ingin dia ikut campur dalam masalah ini. Tidak ada yang memberi tahu. Tapi, fagan tahu nama si gendut.

"Mau menghentikan ku? Tidak perlu, Kayla itu adik tiriku.. biar aku yang urus!" Fagan tetap bangkit lalu berjalan dengan tangan didalam saku. Alaska tak lagi menghentikan nya dan ia juga baru tahu kalau Kayla si gendut badut itu adik tirinya remaja itu.

"Alaska!" 

Kini yang datang adalah gara. Sungguh ia terkejut mendapati Alaska dalam keadaan tidak baik baik saja. Dia terluka.

"Kau tidak apa apa? Itu apa!" Gara ingin menyentuh lukanya namun segera di cekal oleh Alaska. Gadis itu tidak dapat bicara karena rahangnya mungkin telah bengkok sehingga ia kesulitan bicara walaupun ia ingin.

"Kenapa bisa begini? Apa kau di bully?" 

Alaska menggeleng. 

"Lalu karena apa?" 

Alaska menggeleng lagi. 

Dan gara pun ikut diam walau ia sebenarnya khawatir. Tangan nya terangkat untuk memeriksa suhu tubuh Alaska dan benar saja dugaannya bahwa alaska masih demam.

"Kenapa kau datang sekolah? Kau masih sakit, biar ku antar pulang ya" 

Alaska menggeleng. Ingin rasanya ia menangis, baru kali ini ia merasa sulit untuk bicara layaknya orang bisu. Ketika ingin membuka mulut, ia merasakan sakit di dagunya yang tadi di cengkram oleh Kayla.

Gara melihat kedua mata alaska bengkak seperti habis menangis. Kecurigaan nya pada fagan semakin tinggi karena tadi ia sempat melihat fagan habis duduk bersama Alaska.

"Apa fagan yang melakukan ini?" 

Alaska menggeleng

"Alaska maaf, tapi...." Gara langsung menggendongnya lalu membawanya ke UKS ingin memberontak tapi sudah tak cukup tenaga. Biarkan gara melakukan nya, Alaska juga butuh kehangatan.

Loli baru saja keluar dari kelasnya, dan langsung di serbu oleh Kayla dan teman-teman nya.

"Loli!!" Panggil mereka. Loli mengerutkan kening melihat mereka.

"Apa?"

"Selamat ulang tahun ya, semoga panjang umur! Kami doakan yang terbaik untukmu!" Sembur Kayla sok baik di depan loli.

"Ohh, terimakasih" loli menanggapinya dengan pura pura senang pula. Setelahnya dia langsung mengabaikan Kayla dan teman temannya sebab ia harus mengajak Meera kekantin sekarang juga untuk merayakan ultahnya di sekolah.

"Apa kami boleh ikut?" Aju Dira.

"Sayangnya namamu tidak tercantum di undangan ku" ucap loli tersenyum miring. Setelahnya ia melenggang pergi untuk mencari Meera.

"Kurang ajar si loli itu! Lihat saja nanti, dia terlalu sombong biar ku hajar dia sampai mampus!" Gumam Kayla mengepal tangan nya kuat kuat. 

-- Rheya memasuki ruangannya, di sana sudah ada Lio yang sedang menunggu nya dengan suntuk. Begitu rheya membuka pintu dan masuk, Lio tersentak bangun dan lekas berdiri dengan senyuman. 

"Rheya, sudah datang?" Tanya Lio. Rheya meletakkan tas nya diatas meja lalu membalas senyuman Lio yang manis.

"Seperti yang kau lihat," kata Rheya lalu terduduk di kursinya menatap pada Lio yang juga tengah menatap nya.

"Dari mana saja kau sejak pagi? Mengapa baru jam sekarang kau muncul. Hah?" Tanya Lio kini wajahnya menekuk.

"Apa sih, aku tidak kemana mana sejak pagi kau saja yang tidak melihat ku ada di kantor! Kau sendiri kemana saja tadi pagi!!" Sentak Rheya. Pria tampan itu terkekeh kecil

"Serius ingin tahu aku kemana tadi pagi?" Tanya Lio dengan nada menggoda. Rheya mendengus nafas kasar, lalu mengangguk malas.

"Aku sedang ada proyek dengan Kimberly, kami tidak berada di kantor karena kami harus turun langsung ke lapangan!" Jelas Lio. Rheya memajukan bibir bawahnya dengan wajah kasat kusut. Terserah saja Lio mau ngomong apa. Rheya hampir lupa akan sesuatu. Sesegera mungkin ia sambar tasnya lalu mengambil ponsel. Setelah menemukan nomor yang ia cari di layar ponselnya, Rheya langsung menghubungi nomor itu.

"Hallo??" 

Lio terduduk di sofa ruangan itu sambil menatap intens pada Rheya yang sedang melangsungkan panggilan telepon dengan seseorang. 

"Yeah, baiklah, aku tunggu!" Rheya berucap sambil tersenyum membuat Lio harus menahan rasa penasaran nya yang bergejolak.

"Kau benar benar sudah berubah! Aku harap kau tidak se-pelupa dulu, jadi cepat datang ya!" Rheya bahkan terlihat bahagia berbicara dengan seseorang di seberang telepon. Kira kira dia sedang bicara santai dengan siapa ya.

Rheya mematikan telepon sepihak lalu dengan masih senyam senyum melirik kearah Lio yang sedang cemberut.

"Kau kenapa? Jelek banget si" celetuk Rheya dengan wajah sinis pada Lio. Pria dengan kemeja putih itu terlihat resah sejak Rheya asik sendiri dengan telepon nya dan mengacuhkan dirinya yang sedang ada disana.

"Kau cemburu ya, aku bicara dengan orang lain? Halahh, cemburu, cemburu apaan!" Rheya komat Kamit berceramah sampai telinga Lio panas. Ia ingin Rheya peka bukannya malah mencermahinya soal etika dan apa segala macam. 

"Siapa yang kau telepon saat masih ada aku disini?" Ketus Lio dingin.

"Teman ku" 

"Siapa?"

"Hanya teman lama!" 

"Ya, siapa namanya!"

"Dih, gitu banget si ngomongnya! Ga usah ngegas juga!" Timpal Rheya. 

Cklek!

Pintu terbuka menampilkan seorang pria jangkung dengan wajah bulenya. Dia sangat tampan mampu membuat wajah Rheya berseri seri. Sementara wajah Lio jadi kusut melihat pria lain yang ingin berhadapan dengan Rheya. 

"Arjuna!!" Pekik Rheya pada pria yang sedang tersenyum itu. Sumpah! Senyumannya candu, bikin betah lama lama terus menatapnya.

Pria berjaz abu abu pernik itu mendekat kearah meja lalu menerima pelukan hangat dari rheya. Pria lainnya menatap tajam dengan mata membola. Dalam hati Lio berkata. Selama ini Rheya bahkan tidak pernah memeluknya. Nasib,nasib.

"Arjuna, ini kau?" Rheya berucap dengan tangan menutup mulut saking tidak percayanya dengan perubahan sang teman lama. Arjuna benar benar hebat sampai bisa menjadi seorang detektif terkenal seperti sekarang ini. Dulu waktu masih di panti asuhan, cuma Rheya dan Arjuna yang sudah bisa dibilang cukup dewasa dari pada adik adiknya yang lain. Mereka banyak menghabiskan waktu berdua dan belajar, mereka tidak bisa sekolah saat itu karena keterbatasan uang. Meski begitu, Rheya dan Arjuna tidak putus asa untuk terus belajar sampai bisa menjadi orang seperti sekarang ini. Rheya menjadi wanita kantoran yang bijak dan Arjuna menjadi seorang detektif terkenal dan juga tampan. 

"Rheya, kau sangat cantik! Tidak ada yang berubah dari sejak kita kecil!" Ujar Arjuna melepas diri dari pelukan keduanya. 

"Kau juga, sob!" Rheya tersenyum bahagia begitu juga dengan Arjuna.

"Apa kabarmu? Tampan?" Rheya menggodanya.

"Tentu baik,"

____

Pagi ini hari Kamis, pagi ini juga sekolah mengadakan bersih bersih lingkungan sekolah. Di harapkan siswa siswinya untuk mengenakan pakaian olahraga. Seorang guru memimpin kelompok mereka, kelompok yang berisikan Alaska dan Kayla digabung jadi satu. Alaska memilih berdiri di barisan paling belakang agar tidak bertemu langsung dengan Kayla. Kayla terus menatapnya dengan seringai menyeramkan, menunggu waktu yang tepat untuk mengerjai Alaska lagi. Alaska ketakutan di tempat nya berdiri, ia tak bergerak dan tidak berani menatap wajah Kayla. Di kejauhan, fagan berdiri memerhatikan adiknya Kayla dengan Alaska bergantian. Dirinya mendengus melihat kelakuan si adik tiri nya itu.

"Ternyata ini yang kau lakukan selama tidak terpantau olehku" cibir fagan memfokuskan matanya pada Kayla yang sedang melirik Alaska.

Pemuda itu mendekat lalu berdiri di samping Alaska sambil menatap tajam si Kayla di depan sana. 

"Ngapain kak fagan ada disana?! Melihat aku pula!" Gerutu Kayla melihat sang kakak tiri tengah melihat padanya. Kayla beralih menatap Alaska lalu mengerling sebelah mata sebagai kode agar Alaska sendiri yang menjauh dari fagan. Namun fagan malah menarik lengan Alaska yang hendak menjauh lalu di genggamnya erat. 

"Sial, Kak fagan seolah tahu rencana ku untuk mengerjai Alaska! Bagaimana ini?" Gumam Kayla kemudian membuang muka tidak lagi melihat kearah dua remaja yang saling menautkan tangan mereka. Kayla tak ingin ia ketahuan berbuat jahat oleh fagan, ia masih takut dan menyegani kakak tirinya yang terkenal berandal. Waktu SMP, fagan pernah memukuli Kayla habis habisan didepan kedua orangtuanya dengan alasan ingin mengajari adiknya beladiri. Sampai sampai dirinya di gantung di plafon oleh fagan. Alaska menurut saja pada fagan sampai pemuda itu sendiri yang melepas genggaman erat itu. 

"Kau" fagan berhenti melangkah ketika merasa dirinya terpanggil. 

Setau fagan dari teman temannya, Alaska adalah gadis bisu yang tentunya tidak bisa bicara. Tapi kali ini ia dengar langsung bagaimana Alaska menyebutkan kata.

"Aku?" Fagan menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan Alaska sedang bicara kepada nya. Alaska mengangguk.

"Iya, kau. Siapa lagi?" Kata Alaska. 

"Ada apa?" Fagan mendekat, 

"Terimakasih ya!" Ucap Alaska pada fagan. Pemuda itu hanya mengangguk kemudian berkata " jangan takut pada siapapun. Kalau kau ditindas kau juga berhak menindas balik!" Kata fagan. 

"Ya!" Alaska mengangguk cepat. Kemudian fagan pun pergi dari sana.

Ketika Kayla berbalik Alaska menundukkan pandangan kembali takut.

___

Dua orang gadis populer di sekolah berjalan mendekat. Dia adalah loli Tiffany dan temannya Meera clesya. Keduanya selalu lengket kemana mana, mereka begitu sejak SMP. Loli adalah cewek populer disekolah, tubuhnya tinggi semampai dan juga langsing, ia memiliki paras bak bule sama halnya dengan sang kakak yang sangat tampan sampai sampai jadi primadona. Tak salah jika sekolah selalu ingin menjadikan loli sebagai model disekolah. Bukan cuma cantik loli juga pintar otaknya. Disampingnya ada Meera yang memiliki wajah cantik dan berseri. Mereka sama sama cantik dan menawan. 

"Ternyata kau yang bernama Alaska itu? Cantik juga ya!" Tidak tahu nada bicara loli seperti sedang memuji tapi terkesan aneh.

"Apa kau benar benar bisu?" Tanya nya seraya bergerak lebih dekat lagi. Loli menelisik dengan mata memicing. Berharap dugaannya salah.

"Kenalin, namaku loli. Dan ini Meera!" Ujarnya tersenyum pada Alaska sambil menunjuk dirinya dan juga Meera bergantian. Alaska menerima uluran tangan loli lalu menjabatnya tanpa ragu. Lalu...

"Alaska, senang mengenal kalian" ucap Alaska lepas. Alaska merutuk dalam hati, untuk apa ia berkata demikian jika pada akhirnya loli dan Meera hanya menjadikan nya bulanan seperti yang Kayla lakukan.

"Uhh waww! Kau bisa bicara? Ahaha itu bagus, benarkan dugaanku kalau kau memang bisa bicara" ucap loli terlihat senang. 

"Ngomong ngomong apa kau mau ikut kami ke kantin? Kita makan siang bareng!" 

Alaska menatap lekat manik mata loli berharap tidak ada muslihat disana. Kini gantian Meera yang duduk di samping kanannya lalu merangkul pundak nya lembut.

"Jangan khawatir, kami tidak mau menyakiti mu kok, ayo ikut ke kantin bersama" ajaknya pada Alaska. Tak iya juga tak menolak, kini Alaska di boyong kedua remaja yang katanya populer itu kedalam kantin yang cukup ramai pengunjung.

"Hey hey minggir minggir! Beri jalan!" Ujar loli mengibas tangan di udara sambil mendorong tubuh Alaska untuk maju kedepan mencari meja untuk nya duduk. 

"Naaah, kita duduk disini!" Si loli masih saja tersenyum. Meera pun begitu.

Jantung Alaska berdegup kencang. Ia takut kalau kedua orang itu akan menyakiti nya di sini. Namun mereka malah berbuat lain hal.

"Mulai sekarang, kau harus ikut kemanapun kami pergi! Sambil membawa ini!" Loli menaruh dua tas ransel miliknya dan Meera di pangkuan Alaska. Benar kan dugaannya, loli dan Meera sama seperti yang lain.

"Kami selalu keberatan dengan membawa benda itu, jadi kamu mau kan dengan senang hati menggendong tas itu?" Tanya loli. Tanpa sadar Alaska mengangguk setuju membuat loli langsung memeluk tubuhnya erat. "Heummm makasih!" Pekiknya.

Mereka makan siang bersama. Loli dan Meera berlaku sangat lembut kepadanya meski dengan maksud yang lain. Tidak banyak bicara Alaska hanya mengikuti setiap yang dua orang itu lakukan. Selesai makan mereka tidak kembali ke kelas dan lebih memilih nongkrong di kantin sampai jenuh. 

"Alaska, mengapa kau di kenal bisu? Apa karena kau irit bicara?" Celetuk loli.

"Emm, aku..." 

"Mulai sekarang banyak bicara ya! Kalau dengan kami kau harus ikut berbaur jangan seperti manekin berjalan saja! Ingat?" 

"Baiklah" 

Beberapa pengunjung kantin bergeser dari duduknya memberi jalan kepada sekelompok pemuda yang akan lewat. Loli dan Meera melihat kearah datangnya mereka lalu tersenyum manis menyambut kedatangan anak anak itu.

Alaska menatap satu mahluk ciptaan tuhan yang memimpin jalan teman temannya itu. Matanya hampir tidak mengedip ketika melihat si primadona sekolah. Ternyata di sekolah nya ada juga manusia se tampan dan secool dia. Puji Alaska dalam hati.

Mereka mendekati meja yang di duduki loli,Meera dan Alaska. Pemuda yang ternyata namanya adalah El itu adalah kakak kandung loli. Loli sangat akrab dengan kakak laki lakinya sampai sampai tak merasa malu memeluk dan bergelayut manja pada El. Sang empu hanya diam dengan raut wajah datar ketika loli bergelantungan di lehernya.

"Eh iya, kak! Kenalin ini teman baruku namanya Alaska!" Tunjuk loli pada Alaska membuat gadis itu termangu.

El tidak peduli terhadap nya, hanya sekedar melihat saja pun tidak. Mana mungkin El mau buang buang waktu hanya untuk dikenalkan padanya. Alaska tidak berarti apa apa.

"Alaska, ini kakak ku namanya El Karan! Panggil saja El!" Ucap loli antusias. 

Alaska mengangguk kecil dengan senyum tipis. Kemudian gantian Meera yang mendekati El secara mesra. Meera menggandeng tangan cowok itu dengan senyum yang terus merekah. El tak masalah ketika Meera bahkan menggesek kulit nya pada kulit El. Keduanya memilih duduk di bangku dan meja yang lain yang masih kosong lalu bermesraan disana.

"Jangan heran! Mereka itu lagi kasmaran soalnya baru beberapa hari ini resmi pacaran!" Sinis loli di sertai tawa mengejek. Alaska manggut manggut mengerti.

Tatapannya tidak dapat teralihkan dari El, meski ia tahu El sudah punya kekasih tetap saja ia menyimpan kekaguman terhadap cowok itu.

"Alaska! Kau.... Suka pada kakak ku ya?" Teror loli sedikit berbisik. Takut terdengar oleh sahabatnya Meera.

"Emm, kenapa kau berpikir begitu" Alaska canggung berbicara dengan loli. Baginya belum terbiasa.

"Soalnya dari tadi ku ajak ngobrol kau hanya fokus pada El dan Meera Aja!" Kesal loli seperti anak kecil. Gadis bertubuh tinggi itu merengek pada Alaska yang notabene nya merupakan orang yang baru ia kenal.

"M-maaf!" Lirih Alaska menunduk. Loli yang jenuh karena Meera masih asik berpacaran dengan El pun mengajak Alaska untuk pindah meja. Ia tidak ingin terganggu oleh orang yang sedang berpacaran. Alaska dan loli terduduk di meja kosong dekat pintu kantin lalu mengobrol di sana.

"Alaska dengar!" Loli menepuk lengan Alaska membuat gadis itu tersadar akan lamunan nya.

"Mikirin apa, sampai sebegitu nya?" Kini kening loli berkerut. Pantas saja dia dijauhi orang macam Alaska ini tidak punya niat sama sekali untuk berteman rupanya.

"Tidak, maaf ya jadi mengacuhkan mu" 

"Tidak apa apa, deh... Sekarang kau harus mendengar cerita ku" loli memperbaiki posisi duduknya lalu menarik lengan Alaska dan memegang nya.

_*_*

Usai nongkrong di kantin, Alaska kembali di boyong oleh loli dan Meera ke kelasnya. Kelas mereka berbeda dengan kelas Alaska walaupun masih satu angkatan. Sengaja loli melakukan itu agar Alaska mau membawa barang barang keduanya ke kelas.

"Oke, terimakasih Alaska, Babay" loli dan Meera masuk ke kelas meninggalkan Alaska sendirian di koridor kelas. Cewek itu lekas kembali ke kelas dengan langkah pelan tak ingin dengan cepat sampai ke sana. Berharap di kelas sedang tidak ada Kayla atau perundung lainnya. 

Dia terus menunduk sambil memikirkan kejadian tadi, sebelum sebelum nya ia bahkan tidak pernah di tegur dan dianggap sebagai teman. Semuanya terlalu banyak pilih, terlalu gengsi atau memang tidak terniat untuk berteman dengan nya.

"Al.." 

Alaska melihat gara berjalan mendekat ke arahnya. Cowok yang sebelumnya masih bersandar pada dinding koridor itu memanggil Alaska dengan sebutan Al.

"Habis dari mana.." tanya gara. 

"Bukan urusanmu" Alaska menggigit bibir. Cowok di depannya malah menatapnya tajam.

"Kau... Ingin kembali ke kelas ya..?" Nada bicaranya berubah canggung.

"Ya" singkat Alaska.

"Baiklah" cowok itu bergeser agar Alaska dapat lewat. Saat alaska sudah pergi, gara mulai memanggilnya kembali.

"Apa?" Alaska menoleh dengan wajah datarnya

"Nanti kita bicara, ya. Aku tunggu pulang sekolah!" Kata gara dengan senyuman. Alaska tak menjawab melainkan melengos pergi begitu saja. Dada gara ser ser dengan reaksi Alaska. Tapi tidak mengapa, semua butuh waktu.

Gregetan cowok jangkung berkulit putih itu meninju ninju telapak tangan nya seraya mendesis.

Alaska berbelok hendak menuju kelasnya. Di depan sana ia melihat El sedang berbicara serius dengan Meera. Bukannya tadi Meera berada di kelasnya bersama loli? Entahlah...

El sangat tampan, dia tinggi dan mungkin berotot juga. Pantas saja banyak yang bilang El ini sang primadona, tampangnya saja begitu. Siapa yang tidak tertarik coba dengan yang modelan dia. Siapa yang tidak kepincut dan kecantol pada nya. Itulah pemikiran Alaska saat itu. Dirinya berpikir dua kali jika mengaku sedang menyukai El pada pandangan pertama. Secara fisik saja Alaska sadar dirinya tidak sebanding dengan Meera yang populer dan pandai bergaul. Meera begitu cocok berada di samping El. Mereka sangat cocok menjadi sepasang kekasih. 

Belum selesai mengagumi sosok El dan Meera, Alaska malah tidak sengaja melihat sesosok tubuh tak bernyawa yang tergeletak di lantai berlumuran darah. Belum selesai dengan kekagetan nya yang luar biasa di atas lantai 5 gedung perpustakaan di susul oleh satu orang siswi yang sepertinya juga berasal dari kelas yang sama Dengan nya tengah berdiri di ujung sambil merentangkan kedua tangan nya. Melihat itu Alaska gemetaran, ingin berteriak namun suaranya tercekat di tenggorokan. Matanya hanya membola kala siswi itu dengan linangan air mata terdorong dan jatuh menggeletak diatas tubuh temannya yang sudah mati duluan.

Keriuhan terdengar diantara kelas kelas yang mungkin juga menyadari atau bahkan melihat kejadian itu. Mereka berhamburan keluar kelas sambil histeris. Sementara Alaska.... Alaska... Menurunkan tangan nya lalu menyimpan ponsel itu lagi kedalam saku celana olahraga nya. Tampak bibir nya tersenyum menyeringai. Setan dalam tubuh Alaska telah bangkit saatnya balas dendam.

***

Disaat semua orang menangis histeris melihat kejadian meninggal nya dua orang siswi yang berasal dari jurusan MIA 3. Alaska malah terduduk di pinggiran taman sambil tersenyum penuh misteri. Dia tidak menyadari bahwa orang orang yang melihatnya jadi bingung dan bertanya tanya. Apakah cewek yang sedang duduk di taman itu sudah gila? Tanya mereka dalam hati.

El dan Meera yang juga tidak berada jauh dari TKP ada di sana, di tempat di mana semua orang sedang mengerumuni dua mayat berjenis kelamin perempuan. 

El terus memperhatikan gerak gerik Alaska yang mencurigakan, ketidaksukaan nya terhadap Alaska muncul tiba tiba sejak saat itu. Harusnya orang bertanya-tanya mengapa di saat menegangkan seperti ini ada satu cewek yang malah sedang senyum senyum seperti tidak terjadi apa apa. Apakah El curiga..? Oh tentu...

"Hiks...hiks... Karina..!!! Dara!!!" Teriak seorang siswi yang adalah sahabat karib kedua mayat tersebut. Orang orang disana menahan nya dan memeganginya yang berontak. Nara berteriak histeris seperti orang kesurupan, dia baru saja kehilangan dua orang sahabat yang paling dia sayangi. Sekolah telah memanggil polisi untuk mensiasati kasus ini, bersamaan dengan tim forensik dan para detektif pilihan. Mereka sibuk mengamankan siswa siswi yang semakin banyak berkerumun, bahkan setelah kedua mayat tersebut sudah dimasukkan kedalam kantong jenazah untuk dibawa kerumah sakit dan di autopsi. Sekolah di bubarkan setelah polisi memeriksa guru dan murid yang mungkin saja adalah pelaku/ saksi peristiwa ini. Berdasarkan kesaksian siswa siswi mereka mengatakan bahwa kedua siswi itu menjatuhkan diri dari atas gedung lantai 5. Karena merasa tidak ada yang janggal, polisi membuat dugaan sementara bahwa kejadian hari ini adalah kasus BUNUH DIRI.

"K-karina, dara! Mereka tidak mungkin bunuh diri, pak!!!" Nara menarik narik polisi yang sedang mengamankan TKP. Cewek itu dengan brutalnya melewati garis pembatas lalu menarik salah satu anggota detektif disana. 

"Nara, hentikan! Biar polisi dan detektif yang tangani kasus ini..!" Pak Bowo membawa Nara kembali. Cewek itu bertekuk melihat darah darah yang bercecer di lantai. Ia yakin kedua sahabat nya itu tidak bunuh diri melainkan di bunuh seseorang. 

"Pak..! Sahabat ku tidak mungkin bunuh diri, pak! Aku tahu mereka, mereka tidak punya masalah sampai harus bunuh diri..!! Pak aku yakin ada yang sengaja membunuh mereka!!!" Nara mengais di kaki pak Bowo. Pria tua berjanggut itu hanya menatap iba pada Nara. 

Gara juga ada di sana, tepat nya baru saja datang setelah melihat kerumunan di depan gedung perpustakaan. Gara tak lain dan tak bukan hanya ingin mencari Alaska, ia ingin memastikan cewek itu baik baik saja. 

Setelah sibuk tolah toleh akhirnya gara menemukan Alaska sedang duduk di taman seorang diri saat semua orang sedang tegang dengan kasus Karina dara.

Gara sedikit berlari melewati Meera dan El yang masih berdiri di tempatnya sejak tadi. Sampai di taman gara melihat Alaska sedang tersenyum miring kearah bunga bunga yang sudah layu di pojok taman. 

"Alaska!?" 

"Alaska, hey!" Gara berlutut di kaki alaska mengguncangkan tubuhnya pelan agar Alaska segera sadar dari lamunannya. 

"Gara.." lirih Alaska menatap laki laki itu dengan raut wajah berubah berseri seri. 

Kedua alis gara bertaut.

"Kau baik baik saja? Baguslah kalau kau tidak berada di sana" entah gara bicara apa Alaska tak menggubris. Pikiran nya hanya sedang penuh dengan bayang bayang peristiwa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri tadi. Sungguh menyenangkan meski sedikit tegang. 

"Gara, kau tau.. aku baru merasakan hal ini, kegelisahan ku lenyap begitu saja entah aku dapat energi dari mana!" Ucap Alaska dengan senyum tanpa arti di bibirnya. Gara tak mengerti namun ia juga coba untuk tersenyum. 

"Apa maksudmu?" Tanya gara. 

"Lihat ini" Alaska mengeluarkan ponselnya dari dalam saku lalu menunjukkan nya pada gara. Hanya itu saja, lalu kembali ia masukkan kedalam saku nya sambil cengar cengir. 

"Alaska..." Gara tak bisa berkata kata, hanya berucap lirih karena bingung dengan maksud perkataan alaska. Mungkin gadis itu sedang bahagia sekarang entah karena apa, tapi kebahagiaan nya terukir sedikit aneh di wajahnya.

----