1 Aniore Rajendra Merasa Frustasi

Aniore kembali menghela nafas ketika kobaran api mulai menelan habis barang-barang pemberian mantan-mantannya yang sengaja ia bakar. Kakinya terasa lemas dan akhirnya jatuh berlutut. Tangannya menyisir rambut yang turun menutupi muka.

Tiba-tiba pikirannya terlempar ke kejadian beberapa jam yang lalu. Kala itu, Ia sedang mengadakan pesta bersama teman-temannya di club. Mengabaikan telepon dari Leo, pacarnya, yang sudah berdering sebanyak enam kali.

Pukul 9.30, dering ketujuh, akhirnya Aniore menyerah dan mengangkat telepon. Hanya ada empat kata dari Leo ketika panggilan diangkat, "Gue ada di luar."

Sontak, Aniore meraih tas tangannya dan berlari keluar klub. Leo adalah salah satu dari minoritas laki-laki yang anti dengan club malam. Jadi, kedatangannya disini sudah cukup untuk dipertanyakan.

Tak jauh dari pintu masuk, Aniore melihat Leon yang sedang duduk di dalam mobilnya sembari memenjamkan mata. Tanpa pikir panjang, ia menarik langkah mendekat.

Tangannya mengetuk pelan atap mobil. Mata yang terpenjam itu langsung terbuka. Leon menoleh menatap Aniore dari ujung kaki ke ujung kepala. Jaket kulit hitam yang dipadukan dengan tanktop ketat berwarna sama, rok pendek latex berwarna emas, dengan higheels hitam setinggi 9cm benar-benar mencetak jelas seluruh lekukan tubuh Aniore.

Leon langsung mengalihkan tatapannya. Ia benar-benar terkejut dengan penampilan Aniore. Untuk ukuran seorang laki-laki yang tidak pernah pergi ke club, itu hal yang wajar. "Masuk," ucap Leo dengan gugup.

"Tapi pestanya belum selesai, gue belum mau pulang," tolak Aniore.

Tiba-tiba rahang Leon mengeras mendengar penolakan Aniore. "Masuk!" ujarnya dingin.

Mendengar nada suara Leon yang dingin, Aniore mau tak mau menuruti ucapan Leon. Ia memutari mobil dan membuka pintu kursi penumpang di samping Leon, kemudian menjatuhkan duduk disana.

Leon menyalakan mesin mobil dan langsung melaju ke jalan raya. Ia tidak berani melirik Aniore sedikitpun. Meskipun penampilan Aniore tidak begitu seksi, namun ia benar-benar tidak tahan melihatnya.

Detik demi detik berlalu, hening menyelimuti keduanya. Tidak ada satu pun kata keluar dari mulut mereka. Leo tetap fokus mengemudi sementara Aniore menatap toko-toko pinggir jalan yang gelap dari balik jendela mobil.

Leo menghentikan mobil ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Matanya melirik Aniore sesaat sebelum kemudian berkata, "Kita putus."

Aniore tersenyum. Tanpa repot-repot mengalihkan tatapannya ke arah Leon, di membalas, "Oke."

Sudut bibir tertarik membentuk senyum kecut. Leo diam-diam merutuki dirinya ketika mengingat berapa lama waktu yang dia habiskan demi mengatakan dua kata itu. Tapi seharusnya dia percaya, Aniore tidak akan terluka.

"Lo nggak mau tau alasannya?" tanya Leon. Ia masih berharap Aniore mungkin akan sedikit peduli tentang itu.

"Gak, gue tau, hanya ada dua alasan untuk dua kata itu," jawab Aniore enteng. Untuk apa ia perlu tau? "Pertama: Lo bosan, kedua: kita nggak cocok satu sama lain."

"Lo terlalu realistis," komentar Leon. "Sayangnya, jawaban Lo salah."

Aniore hanya ber-oh ria saat mendengar perkataan Leon. Sudah dikatakan dia tidak peduli, maka dia akan benar-benar mengabaikannya.

"Lo nggak tahu apa itu cinta, Niore."

"Emang gue peduli?"

"Lo pikir semua orang mau sama Lo?" potong Leon sarkas. "Lo nggak sadar selama ini kalo Lo hanya dimanfaatin, baik sebagai bunga sekolah atau Aniore Rajendra."

Aniore mengacak-acak rambutnya frustasi. Satu helaan nafas kasar terhembus. Matanya menatap lamat kobaran api di dalam tong sampah yang mulai padam.

Rasa kecewa perlahan mulai datang. Bagaimana mungkin ia baru menyadari semuanya ketika sudah terlambat? Aniore akui, ia tidak pernah serius dalam suatu hubungan. Daripada menghabiskan waktu bersama kekasih, Aniore lebih suka pergi bersama teman-temannya ke club malam. Menari, berbincang, hingga menghabiskan berbotol-botol alkohol.

Dan kini ia menyesal.

Sebuah ide tiba-tiba terlintas dalam benanknya. Ia tahu bagaimana cara mengakhiri kisah cinta membuang-buang waktu ini. Dua sahabatnya, Friscilia dan Agneta, pasti punya solusi.

Secepat kilat, dia bangkit berdiri dan berlari kecil masuk ke dalam rumah. Kakinya dengan lincah menaiki tangga, kemudian melesat masuk ke dalam kamar. Tangannya langsung menyambar handphone yang tergeletak di atas meja nakas. Jari-jari lentik dengan cekatan memulai panggilan video grup bersama Friscilia dan Agneta.

Beberapa detik kemudian, panggilan itu diangkat. Layar handphone langsung menampilkan wajah mengantuk Friscilia dan raut kesal Agneta.

"Aniore Rajendra, Lo memotong waktu tidur Gue," ujar Friscilia dengan suara tidak jelas, terdengar mengantuk.

"Ada masalah apa Lo? Tumben vidcall malam-malam." Satu alis Agneta terangkat naik ketika berkata. Dia tampak sibuk dengan sesuatu di dekatnya. "Malah Gue mau maskeran lagi," gumamnya kemudian.

"Gue perlu saran kalian berdua, sekarang," jawab Aniore dengan mata berapi-api dan tangan terkepal kuat.

Insting Friscilia tiba-tiba menajam, matanya menyipit menatap Aniore curiga. "Saran apaan? Jangan yang aneh-aneh ya, Niore." Friscilia memperingatkan.

"Bagaimana caranya mempertahankan suatu hubungan?"

Seketika, Friscilia dan Agneta terdiam memandang layar handphone. Segala keluhan dan aktivitas tertenti sedetik setelah pertanyaan itu diucapkan.

"Cuttonbud Gue mana ya? Kayaknya telinga Gue bermasalah deh," ujar Agneta sembari mengacak-acak barang-barang di dekatnya.

"Gue lagi mimpi, ayo bangun, Cilia." Friscilia menepuk-nepuk pipinya. Seakan-akan semuanya benar-benar mimpi.

Aniore hanya mampu menggelengkan kepalanya melihat tingkah absurd kedua temannya. "Jangan bercanda, Gue lagi serius," ucap Aniore datar.

"Oke." Kemudian Agneta menegakkan tubuh. Sebuah dehaman terdengar sebelum berkata, "Kenapa Lo tiba-tiba tanya pertanyaan gak biasa ini? Ada masalah? Mau cerita?"

"Ya... masalah kecil aja," jawab Aniore sembari menggaruk tekuknya yang tidak gatal. Lalu sebuah cengiran kecil terdengar.

"Masalah apaan?" tanya Friscilia penasaran. Dia semakin mendekatkan diri ke layar handphone.

"Gue putus sama Leo."

"Jadi?" desak Agneta menunggu jawaban selanjutnya.

"Leo bilang, Gue gak tahu apa itu cinta dan dicintai hanya karena status Gue sebagai bunga sekolah dan putri keluarga Rajendra."

Kedua mata membulat hingga bola mata tampak ingin keluar dari rongganya. Raut terkejut tercetak jelas di wajah Friscilia, sama halnya dengan Agneta. "Serius Leo bilang kayak gitu?" Friscilia bertanya untuk memastikan.

"Ya, seperti yang Lo dengar," balas Aniore seraya mengedikan bahu. Ia sebenarnya tidak terlalu peduli dengan perkataan itu, hanya saja itu membuatnya sadar akan kesalahan yang dilakukannya. Dan ia ingin memperbaiki kesalahannya

"Wah, baru pertama kali Gue lihat Lo kena mental kayak gini," ujar Agneta kemudian tertawa kecil. "Biasanya Lo bakal langsung cari target baru begitu diputusin. Sekarang kok galau?"

Aniore memutar bola mata malas. "Gue gak galau, cuman menyadari kesalahan," sahutnya sebal. "Ada saran gak?"

"Bertahan dalam satu hubungan? Ya, kita harus berkomitmen dong," balas Friscilia.

"Bagaimana caranya berkomitmen dalam satu hubungan?"

"Ya... gimana ya?" Otak Friscilia tiba-tiba menemui jalan buntu. Bagaimana caranya berkomitmen dalam satu hubungan? Ya, mana dia tahu, pacar saja tidak punya. Friscilia bukanlah seorang pakar cinta.

"Gak tahu ah, pusing. Gimana Gue tahu, pacar aja nggak punya," ujar Friscilia sembari mengacak-acak rambutnya. "Lagian Lo kayak habis disambet petir aja, tiba-tiba tanya kayak gitu."

"Bilang aja gak tahu!" sungut Aniore.

"Gimana kalau minta tolong aja sama St Valentine sekolah kita?" Baru saja Aniore akan menghela nafas kasar, Agneta tiba-tiba memberi saran.

"St Valentine sekolah? Maksud Lo Alexander Velas?" tebak Aniore.

Agneta mengangguk.

"No!"

Satu jawaban itu membuat Agneta mengernyitkan dahi, bingung. "Why? Alex pasti punya banyak saran buat Lo."

Friscilia tertawa sebelum kemudian berkata, "Lo lupa? Niore kan punya skandal sama Alex."

"Skandal? Apa ada ya?" Agneta mencoba mengjngat-ingat. "Ah! Yang waktu masa orientasi sekolah itu ya?" tebak Agneta ketika mengingat suatu kenangan.

Friscilia mengangguk mantap. "Benar sekali."

"Karena itu doang?"

"Ya, seperti yang Lo tau." Friscilia mengedikan bahu dan melemparkan tatapan jahil pada Aniore.

"Lupain aja kalau begitu," ujar Agneta acuh tak acuh.

"Masalahnya si Ketos itu mau gak kasih Gue saran?!" Aniore mengerang frustasi. Untuk kesekian kalinya, ia kembali mengacak-acak rambutnya. "Gue rasa sih gak akan."

Agneta berdecak dan memutar bola malas melihat kelakuan teman manjanya yang satu ini. "Alex selalu terbuka untuk kasih saran cinta sama orang lain, sekalipun orang itu adalah rivalnya, tanpa terkecuali." Jari telunjuk mengacung didominasi dagu terangkat angkuh. "Gue yakin Lo akan mendapat saran cinta terbaik dari dia."

"Gue tetap nolak!" Aniore mengangkat tangannya dan membentuk huruf x. Ia benar-benar tidak akan mengikuti saran yang satu ini.

"Kalau begitu terserah, cari cara lain sendiri," sungut Agneta kesal.

Setelah berbincang-bincang sejenak dibumbui dengan sedikit perdebatan, panggilan video itu akhirnya terputus. Aniore menghempaskan tubuh di kasurnya dan menghela nafas kasar. Matanya memandang langit-langit kamar yang temaram.

Apa Gue minta saran sama Alex aja ya? Pikirnya. Sedetik kemudian ia menggeleng-geleng kepala menepis pikiran itu, Tidak! Lo gak boleh minta saran dari dia, Niore, tidak boleh! Jaga harga diri Lo.

avataravatar