webnovel

SANG PENGGODA CINTA

Usia matang, kehidupan mapan, dan harta melimpah tidak menjadikan Reynand Alex Pradipta seorang pria bahagia. Kisah cintanya enam bulan lalu kandas begitu saja karena kebaikan hatinya. Keadaan semakin parah saat ia tidak juga memiliki kekasih. Ia sulit berpaling dari cintanya pada mantan calon istrinya. Di sisi lain, ada Kayla yang sangat tergila-gila kepadanya. Reynand memanfaatkan hal itu untuk mengobati hatinya yang hancur. Dia pun mencoba membalas perasaan Kayla. Masalah tidak sampai situ. Demi membantu sahabatnya membayar hutang, Rey harus terjebak dalam sebuah konspirasi yang membuat ia hanya bisa menurut dan tidak bisa berbuat banyak. Seorang ayah menjodohkan ia untuk Kanzia-putri bungsunya dengan cara yang tidak biasa. Mulai banyak kerumitan yang terjadi. Mulai dari hatinya, keluarganya, dan keluarga calon istrinya. Bisakah ia menghadapi semuanya? Dan bagaimana dengan para wanita di sekelilingnya? Sang penggoda cinta? Siapa yang berhasil menjadi seorang penggoda kali ini?

Viviani · Urban
Not enough ratings
198 Chs

Mengharap Balasan Cinta

Pintu utama sebuah unit apartemen itu terbuka. Reynand melangkah masuk ke apartemen pribadinya. Ponselnya terus berdering, tapi ia tidak juga menghiraukannya. Membiarkan benda pipih itu melakukan tugasnya sebagai alat pemberitahu jika ada seseorang yang mencarinya. Kayla yang meneleponnya sejak tadi, tapi ia tidak berminat untuk menjawab.

Egonya yang tinggi mengalahkan segalanya. Reynand lebih suka melakukan sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya. Perasaannya bukanlah sebuah lelucon yang bisa dijadikan candaan antara Farhan dan Kayla. Apa ada yang salah dengan rasa cinta? Memangnya kenapa kalau ia masih juga belum move on dari Sheryl? Itu adalah hak asasi sebagai manusia untuk mencintai seorang wanita. Namun seharusnya ia sadar dan malu karena menjilat ludahnya sendiri. Ia dengan mudah merelakan tapi juga menyesali keputusan yang ia ambil setengah tahun yang lalu yang membuatnya tersiksa dan masih saja menyimpan cinta untuk istri adik tirinya sendiri.

Tidak sabar, akhirnya pria itu meraih ponselnya dari balik jas. Bukan nama Kayla yang tertera di layarnya, melainkan nama Farhan yang berada di sana. Pria itu berdecak sebelum akhirnya menjawab panggilan itu.

"Apa?! Masih ingin meledekku?! Belum puas?!" katanya menantang dengan suara sedikit lantang

"Astaga! Mengapa kau jadi emosi seperti ini, sih? Aku mengkhawatirkanmu, Rey? Maaf kalau kau merasa kesal atas candaan tadi. Sungguh, aku hanya mengkhawatirkan kesehatan mentalmu." Suara Farhan mencoba menenangkan Reynand.

Reynand yang mendengar sahutan itu bertambah kesal. Farhan sepertinya sudah menganggap ia gila hingga berani berkata seperti itu. "Kau pikir aku gila, huh?!"

"Tidak, Rey. Kau yang sering emosi seperti ini membuatku terkejut. Pengaruh wanita itu sangat kuat pada dirimu. Aku takut kau nekat."

"Aku tidak segila itu, Far!" seru Reynand.

"Baiklah. Sekarang kau ada di mana?"

"Apartemen." Sahutan singkat Reynand pun terdengar.

"Aku ke sana."

Setelah mengatakan hal itu, sambungan telepon itu pun terputus. Reynand melempar ponselnya ke atas sofa. Sebuah notifikasi pesan chat masuk. Pesan dari Kayla. Namun pria itu hanya melirik dan tidak tertarik untuk membukanya.

Reynand beranjak ke kamar mandinya. Mencuci mukanya yang lusuh. Dia menatap wajah menyedihkannya di cermin. Pria tampan yang lusuh dan tidak bahagia.

"Aku harus memastikan perasaanku. Aku akan datang ke pesta besok," gumam pria itu pelan lalu menyahut sebuah handuk kecil yang tergantung di dekatnya. Ia mengusap wajahnya dan memastikan buliran air sudah tidak ada di sana.

Bel pintu apartemennya berbunyi saat ia selesai mengganti pakaiannya menjadi pakaian kasual tanpa membasuh tubuhnya terlebih dulu. Ia tidak suka diganggu jika sedang mandi. Terlebih mengetahui Farhan yang akan datang ke apartemennya.

Reynand beringsut menuju pintu apartemennya. Sosok Farhan sudah berdiri di depannya saat pria itu membuka pintu, menyengih kepadanya.

"Re-Rey," katanya sembari mengangkat setengah tangannya, melambai.

Tanpa menyahut, pria yang masih kesal seperti wanita yang sedang datang bulan itu segera membalik badannya. Ia tidak mempersilakan Farhan untuk masuk, tapi Farhan yang merasa bersalah langsung mengekor langkah Reynand.

Reynand berjalan ke arah dapur. Mengambil dua buah kaleng minuman soda dan menaruhnya di atas meja ruang tengah apartemen. Pria itu kemudian menjatuhkan bokongnya duduk di atas sofa empuk berwarna abu-abu dan membuka salah satu kaleng itu, lalu meminumnya. Cairan segar berwarna coklat tua itu berhasil membasahi tenggorokannya yang sejak tadi mengering. Setelahnya, ia mengambil remote televisi dan menghidupkan layar datar berukuran lima puluh lima inchi di depannya.

"Ada apa ke sini?" ucapnya tanpa menoleh ke arah Farhan yang langsung duduk di salah satu sofa kecil di dekatnya.

"Rey, aku rasa kau keterlaluan meninggalkan Kayla sendirian saja di acara besar seperti itu. Dia adalah publik figur yang menjadi pusat perhatian semua orang. Berita gaunnya yang melorot saja sudah cukup membuatnya malu, dan sekrang kau menambahnya dengan meninggalkan ia sendirian saja di sana. Apa kata orang yang melihatnya nanti?" sahut Farhan yang kasihan dengan nasib aktris itu. Pria itu kemudian ikut meraih kaleng sodanya dan meminumnya.

"Dia wanita yang pintar mengarang cerita. Biarkan saja, Far!" timpal Reynand tidak peduli. Pandangannya tidak juga beralih dari layar televisi. Perlahan pria itu menyesap sodanya lagi sembari menatap layar dengan air muka serius.

"Jangan seperti itu, Rey. Aku rasa dia sudah berubah. Dia tidak akan menjelek-jelekkanmu seperti dulu menjelek-jelekkanmu dan Sheryl. Aku rasa sekarang Kayla sangat tulus kepadamu."

"Jangan harap! Sudah kukatakan berkali-kali kalau hubungan kami tidak seperti yang orang-orang pikirkan. Kami hanya saling memanfaatkan, Far," elak Reynand yang langsung menoleh menatap dingin Farhan.

"Yah, itu hanya pendapatku. Terserah kau saja bagaimana menanggapinya."

Farhan terdiam mendengar penuturan sahabatnya. Tangannya bertopang dagu menatap cemas Reynand yang sedang dalam kondisi tidak seperti biasanya.

"Sheryl dan Baruna akan pulang besok," ujar Reynand tiba-tiba seakan tahu apa yang dicemaskan sang sahabat.

"Pulang?" Kening Farhan tiba-tiba mengkerut.

"Iya dan besok aku akan bertatap muka dengan mereka. Padahal selama enam bulan terakhir aku bersusah payah untuk menghindar dan dengan mudahnya ibuku memintaku hadir di acara pesta penyambutan pengantin baru itu esok hari," sahut Reynand seraya menelan ludah.

"Bawa Kayla! Setidaknya mereka harus tahu kalau kau sudah bahagia dengan wanita lain." Farhan memberikan ide.

"Aku sangsi mereka percaya. Kayla adalah cerita lama. Sheryl dan Baruna tahu kalau aku tidak memiliki perasaan apa-apa kepadanya." Reynand menggelengkan kepala.

"Tapi cinta bisa berubah, bukan?" sahut Farhan.

"Aku harap seperti itu. Hanya saja rasanya aku tidak ingin melibatkan Kayla terlalu jauh. Semakin jauh, dia akan semakin sulit pergi dan menemukan cinta sejatinya."

"Rey, aku rasa kau benar-benar mulai peduli kepadanya."

"Tidak bisa kupungkiri, walau hubungan kami berlandaskan saling memanfaatkan, dia adalah kawan yang baik. Seorang kawan yang bisa meluangkan waktunya untukku di sela-sela jadwalnya yang padat." Reynand balas menatap Farhan. Ia benar-benar serius dengan perkataannya.

"Kayla tidak akan pernah pergi dari sekitarmu, karena aku tahu balasan cintanya adalah hal yang terus ia harapkan."

Reynand yang mendengar ucapan itu hanya terdiam. Ia tidak bisa memungkirinya. Mata wanita itu tidak bisa berbohong. Reynand sangat tahu hal itu.

Pria itu melirik ponselnya yang tergeletak di sampingnya. Reynand mengambilnya dan mulai membaca pesan chat yang dikirimkan Kayla.

[Maaf bila aku menyinggung perasaanmu, Rey. Aku dan Farhan sungguh tidak bermaksud demikian. Kuharap mood-mu membaik esok hari agar tidak ada kesalahpahaman dalam hubungan ini.]

Farhan yang masih berada di dekat Reynand memperhatikan air muka sahabatnya. Ia lalu bertanya, "Siapa?"

"Kayla."

Reynand memperlihatkan pesan chat di ponselnya hingga Farhan dapat lebih jelas membaca pesan itu. Sedetik kemudian menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan hubungan aneh yang terjadi di antara mereka.