webnovel

Kelahiran Si Kembar

Malam hari bulan ke kedua tahun 1999.

"Harus saya apa-kan bayi ini, Nyonya?" Petir menggelegar dibarengi tangisan bayi laki-laki di lorong rumah sakit.

"Kamu lenyapkann dia!" Kilat-kilat bersahutan menampakkan kota nan gelap malam itu.

"Tapi, Nyonya. Bukankah dia cucu Anda?" tanya seorang laki-laki ber-tuxedo hitam berdasi senada.

"Saya hanya butuh satu penerus saja." Wanita paruh baya berpakaian rapi itu lantas berjalan menyusuri lorong. Suara sepatu berhak tiga senti berwarna coklat memecah kesunyian. Di belakangnya, ada dua orang berpakaian sama dengan laki-laki yang tengah menggendong bayi. Perawakannya besar dan nyaris tanpa senyum. Mereka mengikuti langkah tuannya pergi dari tempat itu.

Hujan turun sangat deras. Lelaki penggendong bayi berjalan cepat menuju lahan parkir tepat di sebelah halaman rumah sakit. Dengan sigap, ia letakkan bayi itu di kursi depan tepat di sebelah kursi pengemudi.

Keringat bercampur bulir hujan mengalir dari pelipis lelaki itu. Ia sibuk melihat ke sana kemari. Memastikan tidak ada satu pun orang yang melihatnya membawa bayi tersebut.

Tiba-tiba, suara tembakan terdengar tatkala mesin mobil ia hidupkan. Dengan cepat ia melesat keluar dari sana. Melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan rumah sakit. Setelah berkendara cukup jauh dan dirasa sudah aman, lelaki itu memelankan mobil sambil memandangi bayi yang tengah tertidur itu.

Rasa iba yang teramat sangat membuat ia tak tega menghabisii bayi tanpa dosa itu. Sementara itu ia juga tak bisa mengkhianati tuannya. Diantara pikiran yang berkecamuk, lelaki itu memutuskan untuk menepi. Diusapnya pipi mungil si bayi. Begitu halus dan lembut. Namun, bagaimana nasib keluarganya jika ia masih mempertahankan bayi laki-laki itu?

Ponselnya berdering di saku celana. Dengan tangan bergetar, si lelaki menarik antena kecil pada ponsel dan menjawab sebuah panggilan. "Apa kamu ingin membangkang?" tanya seorang wanita diseberang.

"Ti-tidak, Nyonya. Saya tidak bermaksud membangkang."

"Lalu? Apa maksud semua ini? Mengapa kamu lari dari rekanmu yang lain?"

"Saya akan lenyapkan dengan tangan saya sendiri," ucap si lelaki dengan lantang dan jelas.

"Baik. Kalau tidak, Ibu dan Adikmu yang akan membayarnya."

Tangannya bergetar hebat diiringi air mata yang jatuh setelah mematikan panggilan. Lelaki itu terisak sendiri di atas kemudi. Sempat ia benturkan kepalanya beberapa kali di atas setir, namun ia lantas berhenti saat melihat bayi itu menggeliat. Ia menguap membuat perasaan si lelaki menjadi lebih baik. Si lelaki bahkan sempat tertawa ketika melihat bayi mungil itu bersin.

Kini ia memutuskan untuk tetap mempertahankan bayi itu apapun keadaannya. Dengan cepat, ia kembali mengambil ponsel dan menelepon.

"Lun, cepat bawa Ibu ke apartemen kakak."

"Kakak kenapa? Ada apa? Kenapa kakak gemetar?" tanya sang adik dari seberang telepon.

"Tidak usah banyak tanya, Lun. Cepat bawa Ibu ke apartemen kakak yang baru dibeli minggu lalu."

"Iya, Kak. Aku lagi nyiapin baju. Memangnya ada apa?"

"Sudah cepat. Kakak tunggu di sana."

Setelah mematikan panggilan, si lelaki kembali berkendara menuju apartemen miliknya. Apartemen itu baru dibelinya sepekan lalu. Ia merasa, Tuannya tidak akan tau tempat barunya itu.

Tiga puluh menit lamanya dia berkendara, akhirnya sampai di sebuah bangunan berlantai dua puluh. Dengan tenang si lelaki mengambil bayi dari kursi depan dan berjalan santai. Ia masih berjaga-jaga bila seandainya ada yang tengah mengintai dirinya.

Malam begitu sunyi, nyaris tidak ada orang yang terlihat di sana. Hanya ada seorang pemulung yang kebetulan melintas di tepi jalan seberang apartemen.

Sambil menatap bayi mungil yang mulai terbangun, si lelaki bergegas menaiki lift menuju apartemen miliknya. Ia berjalan dengan sedikit terburu-buru karena si bayi mulai menangis. Mungkin si lelaki sedikit khawatir.

"Lun, Luna. Ini kakak." Si lelaki mengetuk pintu apartemen.

Tak lama berselang, pintu pun terbuka. Keadaan di dalam masih gelap. Luna, si adik lelaki itu tidak menyahut walau beberapa kali ia memanggilnya.

"Luna. Mana, Ibu? Lun?" Keadaan mulai aneh, si lelaki berjalan dengan hati-hati untuk menghidupkan lampu karena keadaan di sana gelap sekali.

Betapa terkejutnya saat lampu menyala ada begitu banyak orang di sana. Jantung si lelaki berdetak sangat kencang saat wanita berambut separuh putih tengah duduk di sebuah kursi. Di sekelilingnya ada begitu banyak pengawal berwajah seram berbadan tinggi besar.

"Lino Wijaya atau harus saya sebut, D One."

Lino lelaki penggendong bayi itu bergetar hebat. Nyonya besar yang ia takuti kini tengah duduk dihadapannya.

Hal yang membuat ia semakin takut adalah sang adik dan ibunya tengah diikat di sebuah kursi dengan mulut tersumpal lakban hitam.

Bibir Lino bergetar. Ia mendekap bayi mungil di tangannya.

"Serahkan bayi itu!" Pinta wanita tua.

"S-saya mo-mohon, Nyonya. Biarkan saya membawa bayi ini. T-tidakkah, Nyonya merasa kasihan sedikit saja terhadap cucu, Nyonya sendiri?"

"Tutup mulutmu!" Si wanita bangkit dan berjalan dua langkah ke depan, ke arah Lino.

"Saya, Amara Laksono pemegang perusahaan terbesar di negara ini hanya menginginkan satu penerus saja apa kamu tau alasannya?" Wanita bernama Amara itu berjalan mendekat ke arah Lino.

"Di masa mendatang para pemegang saham akan mengadakan rapat direksi, untuk pemilihan Presdir baru kalau mereka tau saya memiliki cucu lelaki kembar," tuturnya.

"Dengan berbagai cara, mereka berusaha menyingkirkan keluargaku. Ayahku, Aman Laksono sang pendiri perusahaan berpesan agar keluarganyalah yang akan menjadi pemegang utama tambuk kekuasaan perusahaan. Dengan darah dan keringat, saya berusaha mempertahan perusahaan di tengah krisis moneter tahun lalu, tapi apa daya. Saham anjlok dan butuh suntikan dana. Merekalah, orang-orang bertopeng yang bisa menolong saya waktu itu. Kini mereka semua mengincar posisi Presdir yang diduduki Arman Laksono anak lelakiku satu-satunya. Sialnya ia memiliki anak kembar yang salah satunya harus aku lenyapkann."

"Tidak harus seperti itu, Nyonya."

"DIAM!" sergah Amara.

"Apa kamu ingin mengajari saya tentang belas kasih? Apa kamu ingin mengajari saya tentang cinta dan sayang? Apa kamu tak tahu, betapa saya peduli terhadap mereka karena saya beranggapan mereka telah menolong saya, tapi tidak! TIDAK! Mereka justru berusaha dengan berbagai cara untuk bisa menjatuhkan saya dan keluarga saya. Tidak ada rasa kasihan sedikitpun di dalam politik. Camkan itu baik-baik. D One."

Amara membalik badan dan memberi kode kepada pengawalnya agar segera mengambil bayi itu. Dalam sekejap, bayi lelaki itu telah berpindah tempat.

"Adik dan Ibumu akan aman, kalau kau mau bekerja sama." Mereka lantas berjalan keluar apartemen.

Lino yang masih dalam keadaan takut, segera berlari ke arah Ibu dan Adiknya. Ia berusaha membuka tali yang terikat di badan mereka dan membuka lakban. Tiba-tiba suara tembakan mengejutkan Lino hingga ia harus tersungkur di lantai dengan bersimbah darahh.

"Kakak, Kakak, Kakak bangun, Kak. Kakak." Suara Luna menghilang dari pendengaran Lino diiringi mata yang menutup sedikit demi sedikit.

Bersambung....